Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 09 April 2010

Kontribusi Filsafat bagi Kemajuan Berpikir

Sebuah patung termahsyur hasil karya pemahat Aguste Rodin (1840-1917) dikenal sebagai lambang kemanusiaan seorang manusia, mendeskripsikan seorang manusia yang sedang tekun berpikir. Itulah Homo Sapiens, makhuk yang berpikir. Merupakan sebuah refleksi sebagai seorang manusia, sejak dilahirkan sampai masuk ke liang lahat tak pernah sekalipun berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut peri kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikiran manusia, dari soal paling remeh hingga soal paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai persoalan surga dan neraka di akhirat nanti. Oleh karena itu, hakikat seorang manusia dicirikan oleh aktivitas berpikir, karena berpikir seorang manusia dapat menjadi manusia.
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan yang merupakan produk dari kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Akhirnya, muncul masalah-masalah pokok : Apakah yang ingin diketahui? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kehidupan?
Dari sinilah kemudian muncul istilah filsafat. Istilah filsafat mengandung banyak pengertian, namun untuk tujuan pembahasan ini, filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tidak satupun hal, sekecil apapun yang terlepas dari pngamatan kefilsafatan. Tidak ada suatu pernyataaan, bagaimanapun sederhananya yang diterima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama. Filasafat menyatakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir dari awal sampai akhir, seperti yang dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan. Oleh karena itu, kekritisan seorang manusia akan dituntut maju, dalam hal ini, tak terkecuali oleh seorang jurnalis.
Lalu, apa makna kefilsafatan bagi seorang jurnalis? Apa kontribusi filsafat terhadap profesionalitas seorang jurnalis?
Merujuk pada empat kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang jurnalis*, meskipun sudah tentu bahwa kualitas yang diperlukan pada diri seorang jurnalis bersifat implisit dan relatif. Empat kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang jurnalis tersebut meliputi pengalaman, perasaan ingin tahu, daya khayal dan pengetahuan. Perasaan ingin tahu menduduki tempat penting dalam bahasan kali ini. Wapres Indonesia pertama, Moh. Hatta, pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya bahwa ilmu pengetahuan dimulai dari adanya perasaan ingin tahu. Perasaan ingin tahu seorang jurnalis pun memicu timbulnya pertanyaan “Mengapa? Bagaimana? Kata siapa? Benar atau tidak benar?” dalam diri jurnalis ketika menghadapi suatu peristiwa atau keadaan.
Perasaan ingin tahu seorang jurnalis menyebabkan jurnalis Amerika, William Nelson, masuk ke sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh pada tahun 2003, sehingga membuat kalang kabut Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang ingin mengamankan warga negaranya itu dari kesalahpahaman pihak keamanan di daerah itu. Perasaan ingin tahu seorang jurnalis inilah yang akan memicu proses berpikir. Kemerdekaan berpikir seorang jurnalis menjadi sebuah cerminan dari kefilsafatan dalam konteks profesionalismenya. Tentunya, kemerdekaan berpikir yang dimaksud merupakan kebebasan berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir secara radikal dan menyeluruh namun tetap mempertimbangkan etika-etika, norma-norma kehidupan maupun nilai dan tujuan masyarakat sehingga hak-hak individu masih tetap terjaga. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang dipicu oleh perasaan ingin tahunya itu, seorang jurnalis pun akan mendapat lebih banyak informasi tentang sebuah peritiwa tersebut. Seorang jurnalis dianggap selalu dapat membuang hal-hal yang tidak penting dari berita yang ditulis, tetapi seorang jurnalis tidak akan menemukan substansi yang gagal didapatkan jika kurang memiliki rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu menjadi cikal bakal adanya proses berpikir dengan kemerdekaan yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu akan memicu timbulnya aktivitas berpikir manusia yang kemudian melahirkan persoalan-persoalan baru atas apa yang menjadi jawaban sebelumnya. Di sinilah kekritisan dalam berpikir tersebut timbul menjadi akar dari pencapaian berbagai informasi yang secara kualitatif dapat dipertanggung jawabkan demi menjaga hak-hak individu sampai ke hal yang paling asasi. Profesionalisme seorang jurnalis menjadi semakin utuh ketika dalam aktivitas penghimpunan berita disertai dengan aktivitas berpikir radikal dan menyeluruh melalui kekritisan-kekritisan yang muncul yang secara kualitatif dalam dipertanggungjawabkan kedalamannya, keobjektifannya dan keakuratannya. Oleh karena itu, analisis peristiwa, pertanyaan dan jawaban menjadi sangat penting dalam pembangunan pers Indonesia sejati yang bebas namun bertanggung jawab sosial.


*) Hikmat Kusumaningrat, dkk, “Jurnalistik : Teori dan Praktik”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.


Ariny Rahmawati
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar