Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 30 April 2010

ANALISIS GAYA BAHASA DAN BAHASA KIASAN PUISI TENTANG LINGKUNGAN ALAM KARYA SITOR SITUMORANG DAN D. ZAMAWI IMRON

ANALISIS GAYA BAHASA DAN BAHASA KIASAN
PUISI TENTANG LINGKUNGAN ALAM
KARYA SITOR SITUMORANG DAN D. ZAMAWI IMRON

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM


I. Pengantar
Sebagaimana pendapat Samuel Taylor Coleridge mengenai definisi puisi, puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah. Serupa dengan pernyataan tersebut, Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo pun berpendapat bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa susunan kata dalam puisi semestinya mengandung beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur kosakata, diksi, denotasi-konotasi, bahasa kiasan, citraan, gaya bahasa, dan faktor kebahasaan. Beberapa unsur tersebut berperan penting dalam penyusunan kata-kata dalam bait-bait sajak sehingga karya sastra yang dihasilkan dapat lebih bernilai dan menimbulkan pengalaman baru bagi penikmatnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai unsur-unsur di atas dalam karya sastra. Dalam hal ini, analisis yang dilakukan mengenai gaya bahasa dan bahasa kiasan dalam puisi. Terdapat tiga puisi yang dianalisis, yakni Topografi Danau Toba dan Tamasya Danau Toba karya Sitor Situmorang serta Tembang Alam karya D. Zamawi Imron.

II. Landasan Teori
2.1 Gaya Bahasa
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo, dijelaskan cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain itu menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca, begitu kata Slametmuljana.
Gaya bahasa meliputi tautologi, pleonasme, enumerasi, paralelisme, retorik retisense, hiperbola, paradoks, dan kiasmus. Berikut ini pemaparannya.
2.1.1 Tautologi
Gaya bahasa yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
2.1.2 Pleonasme (keterangan berulang)
Gaya bahasa yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.
2.1.3 Enumerasi
Gaya bahasa yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar. Dengan demikian, juga menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
2.1.4 Paralelisme (pensejajaran)
Gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
2.1.5 Retorik Retisense
Gaya bahasa yang mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan ayang tak terungkapkan. Penyair romantik banyak mempergunakan gaya bahasa ini.
2.1.6 Hiperbola
Gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.
2.1.7 Paradoks
Gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau rasakan.
2.1.8 Kiasmus
Gaya bahasa yang menyatakan sesuatu diulang, dan alah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.

2.2 Bahasa Kiasan
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo, adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah :
2.2.1 perbandingan (simile)
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding.
2.2.2 metafora
bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya.
2.2.3 perumpamaan epos (epic simile)
perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut.
2.2.4 personifikasi
kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti menusia.
2.2.5 metonimi
bahasa kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970:21)
2.2.6 sinekdoki
bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22)
2.2.7 allegori
cerita kiasan ataupun lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain.

III. Analisis Gaya Bahasa dan Bahasa Kiasan
Berdasarkan landasan teori di atas, terdapat 3 (tiga) buah sajak yang dianalisis, yaitu Topografi Danau Toba dan Tamasya Danau Toba karya Sitor Situmorang serta Tembang Alam karya D. Zamawi Imron. Berikut ini penjabarannya.

3.1 Topografi Danau Toba

Dari pantai Haranggaol
kutatap pulau
danau biru membuai perahu
nelayan Bandar Saribu
dengan lagu kasih
adat Simalungun
di tanah Purba

dari seberang ke seberang
sawang gunung
mendekap teluk
mendekap lembah
hati bunda pertiwi
air biru kedamaian
di tengah riuh dunia
hatiku yang memeluk
langitnya Ayah
di atas sawah ladang
kaumku

hari ini aku sampai di Bakara
bermalam di rumah asal
seketiduran dengan roh batu gunung
mendengarkan silsilah bintang-bintang
di tulang-belulang leluhur
terkujur di tubuh malam
lembah-lembah kecintaan
sarat beban perlambang
air kehidupan
tempat kasih berkecimpung
bersama ikan-ikan
bersama manusia pendatang
dari balik tanjung

(Sumber : Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.1.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata di tengah riuh dunia. Kata ‘riuh’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Terlebih lagi ketika kata tersebut disandingkan dengan kata ‘dunia’, menjadi ‘riuh dunia’. Penggunaan frasa ‘riuh dunia’ mengesankan bahwa dunia benar-benar ramai (dalam konteks suara). Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.
3.1.2 Paralelisme
Gaya bahasa paralelisme terkandung dalam kata-kata mendekap teluk, mendekap lembah. Kata kerja ‘mendekap’ yang dilakukan berulang memberikan kesan tujuan yang sama namun diikuti kata yang berbeda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut mengandung gaya bahasa paralelisme.
3.1.3 Paradoks
Gaya bahasa paradoks terlihat pada kata-kata lembah-lembah kecintaan sarat beban perlambang. Dari sini, dapat diketahui bahwa ada sesuatu yang berlawanan, yakni ‘lembah kecintaan’ dan ‘beban perlambang’. Dalam hal ini, sesuatu yang penuh dengan kecintaan tetapi sarat dengan perlambangan beban-beban. Maka, dapat dikatakan kata-kata tersebut mengandung gaya bahasa paradoks.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.1.4 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata danau biru membuai perahu. Kata kerja ‘membuai’ dilekatkan pada subjek ‘danau biru’. Hal ini mengisyaratkan ada benda mati yang seolah-olah hidup. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni danau biru bisa membuai perahu.
Selain itu, bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata sawang gunung mendekap teluk,mendekap lembah. Kata kerja ‘mendekap’ dilekatkan pada subjek sawang gunung (ruang antara gunung) yang merupakan benda tak bernyawa. Terdapat pula aspek pemanusiaan dalam kata-kata tersebut.
Bahasa kiasan personifikasi juga ditunjukkan dalam baris kata hatiku yang memeluk. Dalam hal ini, kata benda tak bernyawa ‘hatiku’ melekat pada kata kerja ‘memeluk’. Sementara kata kerja tersebut biasa dilakukan oleh manusia, dan hanya manusia yang bisa melakukan pekerjaan ‘memeluk’. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa barisan kata itu mengandung bahasa kiasan personifikasi.
Di samping itu, terdapat pula kata-kata seketiduran dengan roh batu gunung yang mengandung personifikasi pula. Dalam hal ini, menggambarkan bahwa roh batu gunung turut tertidur bersama penulis. Ada kesan penginsanan yang tersirat. Terlepas dari ‘roh batu gunung’ itu bernyawa atau tidak, tetap saja tergambar bahwa ‘roh batu gunung’ sejatinya adalah bukan sesuatu yang bisa melakukan pekerjaan ‘tidur’. Maka, dapat pula dikatakan bahwa larik tersebut mengandung unsur personifikasi.
Personifikasi juga melekat pada kata-kata terkujur di tubuh malam. Dalam hal ini, kata benda ‘tubuh malam’ mengesankan bahwa malam mempunyai tubuh laiknya benda/fisik yang bernyawa. Padahal, sejatinya malam bukanlah benda/fisik. Sejatinya, kata ‘tubuh’ hanya sebagai istilah keseluruhan perwujudan malam. Jadi, dapat juga dikatakan bahwa ‘tubuh malam’ mengandung unsur bahasa kiasan personifikasi.
Disamping itu, personifikasi juga hadir dalam kata-kata hati bunda pertiwi. Dalam hal ini dijelaskan bahwa ‘bunda pertiwi’ yang merupakan metafor dari ‘negeri’ mempunyai ‘hati’ layaknya manusia. Oleh karena itu, ada penginsanan yang terjadi dalam kata-kata tersebut.
3.1.5 Metafora
Bahasa kiasan metafora terdapat pada susunan frasa bunda pertiwi. Dalam hal ini, ada perbandingan ‘bunda pertiwi’ dengan asal maknanya, yakni ‘negeri’. Jadi, ‘bunda pertiwi’ yang dimaksud adalah nusantara atau negara Indonesia.
Selain itu, bahasa kiasan metafora juga tersirat dalam kata-kata air biru kedamaian. ‘Air biru kedamaian’ tersebut bermakna laut yang damai dan tenang.
Metafora juga tampak pada frasa tubuh malam. Dalam hal ini, ‘tubuh malam’ merupakan istilah perumpamaan dari wujud sepanjang malam.
Bahasa kiasan metafora juga tampak pada frasa air kehidupan. Dalam hal ini, ‘air kehidupan’ bermakna sumber kehidupan yang berasal dari air. Ada perbandingan di sana. Oleh karenanya, kata-kata tersebut mengandung metafora.


3.2 Tamasya Danau Toba

seribu gunung
seperti kawanan gajah
menyerbu air danau
lalu beku—
kejadian lapisan bumi
30.000 lalu
—kata ilmu—
ketika perut bumi
memuntahkan ke langit
batu berapi lahar mendidih
jadi gunung-gunung gundul

ribuan tahun lewat
—rumput tumbuh
air menggenang
jadilah danau
di kawah raksasa—
sebelum hutan tumbuh
sebelum puak pengembara
tiba dari benua utara
membuka ladang
kemudian sawah pertama
dilembahlembah subur
menghadap danau
warna hijau biru
seperti pohon hutan
kini kelabu batu
di tengah kuning padang
hutan sisa
terancam punah
(Sumber : Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.2.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata seribu gunung. Kata ‘seribu’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Terlebih lagi ketika kata tersebut disandingkan dengan kata ‘gunung’, menjadi ‘seribu gunung’. Penggunaan frasa ‘seribu gunung’ mengesankan bahwa gunung yang digambarkan benar-benar banyak sekali. Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.
Selain itu, gaya bahasa hiperbola juga melekat pada kata-kata di kawah raksasa. Penggunaan kata ‘raksasa’ mengesankan sesuatu yang sangat besar. Ada aspek yang terkesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan, yakni pada kata ‘raksasa’. Kawah pun sudah menggambarkan sesuatu yang lebar dan besar, terlebih lagi jika deitambah dengan kata ‘raksasa’. Hal ini menjadikan kesan yang dilebih-lebihkan dari kenyataan. Maka, dapat dikatakan kata-kata tersebut mengandung unsur gaya bahasa hiperbola.
Gaya bahasa hiperbola juga melekat pada kata ketika perut bumi memuntahkan ke langit. Penggunaan kata ‘memuntahkan’ tersebut terkesan berlebihan. Terlebih lagi ketika kata ‘memuntahkan’ dilekatkan pada kata keterangan ‘ke langit’. Hal itu mengisyaratkan bahwa ledakan terjadi sangat hebat sampai mencapai langit. Terlihat bahwa pembuatan larik itu disertai dengan pemberian aksen hiperbola.
Disamping itu, gaya bahasa hiperbola juga terkadung dalam kata-kata kawanan gajah menyerbu air danau. Penggunaan kata ‘menyerbu’ mengandung makna yang dilebih-lebihkan dari kenyataan, seakan menyerang air danau dengan sangat terburu-buru dan dahsyat. Jadi, dapat dikatakan, larik tersebut mengandung unsur gaya bahasa hiperbola.
3.2.2 Paradoks
Gaya bahasa paradoks tampak pada kata-kata kini kelabu batu di tengah kuning padang. Ada perlawanan diantara keduanya, yakni kelabu di tengah yang kuning. Hal tersebut bermakna bahwa ada kegersangan diantara yang subur dan sejahtera.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.2.3 Simile
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata seribu gunung seperti kawanan gajah menyerbu air danau. Penggunaan kata ‘seperti’ menunjukkan secara eksplisit mengenai perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, ‘seribu gunung’ dibandingkan dengan ‘kawanan gajah’. Hal itu terjadi karena gunung dianggap laiknya gajah yang berbadan besar daripada binatang-binatang yang lain. Begitu pula dengan gunung yang lebih besar daripada benda-benda alam lainnya. Maka, dapat dikatakan bahwa baris kata-kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile (perbandingan).
Selain itu, bahasa kiasan simile juga terkandung dalam kata-kata warna hijau biru seperti pohon hutan. Lagi-lagi, penggunaan kata ‘seperti’ mengisyaratkan adanya perbandingan, yakni yang ditunjukkan pada danau yang berwarna ‘hijau biru’ dibandingkan dengan ‘pohon hutan’. Dari sini dapat ditangkap bahwa warna hijau biru tersebut disamakan dengan warna pohon-pohon hutan. Jadi, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata dalam larik tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile.
3.2.4 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata ketika perut bumi memuntahkan ke langit. Kata kerja ‘memuntahkan’ dilekatkan pada subjek ‘perut bumi’. Hal ini mengisyaratkan bahwa perut bumi dapat melakukan pekerjaan ‘memuntahkan’ laiknya yang bernyawa. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni perut bumi bisa memuntahkan sesuatu. Memang bisa, namun kata kerja memuntahkan ini kerap kali digunakan dalam subjek yang bernyawa sehingga ada kesan pekerjaan yang sifatnya manusiawi dalam penggunaan kata tersebut.
Di samping itu, ada pula kata-kata lain yang mengandung bahasa kiasan personifikasi, yakni kemudian sawah pertama dilembah-lembah subur menghadap danau. Penggunaan kata kerja ‘menghadap’ yang dilekatkan pada subjek ‘sawah pertama di lembah-lembah subur’ mengisyaratkan bahwa sawah tersebut bisa melakukan pekerjaan yang seringkali dilakukan oleh yang bernyawa, yakni menghadap. Ada sedikit kesan penginsanan di dalamnya. Maka, dapat dikatakan bahwa barisan kata tersebut mengandung personifikasi.

3.3 Tembang Alam

aku ingin menyanyi agar awan itu pun
hinggap di pohon-pohon
sementara burung-burung kutilang
menabur mimpiku ke ladang-ladang

matahari tak perlu dikhawatirkan
seperti apa yang dijanjikan bulan
sehabis geram membakar rerumputan
ia pun pasti tenggelam.

awan hanya lewat, tapi tak hinggap
salamnya saja yang hangat lengkuas
burung-burung kembali beterbangan
sambil menirukan hatiku yang berkicau

1976
(Sumber : Imron, D. Zamawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta : Grasindo)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.3.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata sehabis geram membakar rerumputan. Kata ‘membakar’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Sejatinya, kata tersebut diperuntukkan matahari yang dengan panasnya yang mengenai rerumputan. Penggunaan kata ‘membakar’ mengesankan bahwa panas matahari yang digambarkan menyorot pada rerumputan benar-benar panas sekali. Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.3.2 Simile
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata matahari tak perlu dikhawatirkan seperti apa yang dijanjikan bulan. Penggunaan kata ‘seperti’ menunjukkan secara eksplisit mengenai perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, ‘apa yang dijanjikan bulan’ dibandingkan dengan ‘pengkhawatiran akan matahari’. Maka, dapat dikatakan bahwa baris kata-kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile (perbandingan).
3.3.3 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata awan itu pun hinggap di pohon-pohon. Kata kerja ‘hinggap’ dilekatkan pada subjek ‘awan’. Hal ini mengisyaratkan bahwa awan dapat melakukan pekerjaan ‘hinggap’ laiknya yang bernyawa. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni awan bisa hinggap di pohon-pohon. Kata kerja memuntahkan ini kerap kali digunakan dalam subjek yang bernyawa sehingga ada kesan pekerjaan yang sifatnya manusiawi dalam penggunaan kata tersebut.
Selain itu, ada pula kata-kata apa yang dijanjikan bulan. Dalam hal ini, kata-kata tersebut mengandung makna bahwa bulan dapat berjanji. Ada apek penginsanan di sini. Oleh sebab itu, barisan kata itu mengandung bahasa kiasan personifikasi.
Bahasa kiasan personifikasi juga tampak pada kata-kata burung-burung kutilang menabur mimpiku ke ladang-ladang. Dalam hal ini, burung kutilang digambarkan bisa melakukan hal berikir dan bertindak, yakni ‘menabur mimpi’. Oleh karena itu, barisan kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan personifikasi.
Di samping itu, ada pula kata-kata awan hanya lewat, tapi tak hinggap. Di sini, tersirat bahwa awan dapat melakukan pekerjaan laiknya yang bernyawa. Awan digambarkan dapat lewat dan hinggap layaknya sesuatu yang bernyawa. Maka, kata-kata dalam larik tersebut mengandung personifikasi.
Personifikasi juga muncul dalam kata-kata hatiku yang berkicau. Dalam hal ini, digambarkan bahwa hati yang merupakan benda mati dapat berkicau atau berbicara layaknya benda hidup. Memang bisa, namun bukan hati yang dalam artian fisik, hati yang tergambar dalam sajak ini seolah-olah dalam konteks fisik sehingga dapat dikatakan bahwa kata-kata ini mengandung bahasa kiasan personifikasi.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis mengenai gaya bahasa dan bahasa kiasan, dapat disimpulkan bahwa sajak Sitor Situmorang yang berjudul Topografi Danau Toba mengandung gaya bahasa hiperbola, paralelisme, paradoks, dan bahasa kiasan personifikasi, metafora. Sedangkan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Tamasya Danau Toba mengandung gaya bahasa hiperbola, paradoks, dan bahasa kiasan simile, personifikasi. Selain itu, pada sajak karya D. Zamawi Imron mengandung gaya bahasa hiperbola, dan bahasa kiasan simile, personifikasi. Mengenai data di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga sajak itu didominasi oleh gaya bahasa hiperbola dan bahasa kiasan simile dan personifikasi. Oleh karena itu, ketiga sajak tersebut memang mengandung unsur gaya bahasa dan bahasa kiasan dalam setiap susunan kata-katanya.(©26Apr10)

V. Daftar Pustaka

Imron, D. Zamawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta : Grasindo.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama.

1 komentar: