Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 30 April 2010

Sinergitas Movies dengan Mentalitas Bangsa Indonesia

Oleh:
Ariny Rahmawati
Universitas Gadjah Mada

Film merupakan salah satu media efektif penyampai pesan karena film dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi. Dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Saat ini, kebanyakan film Indonesia menempatkan film hanya sebagai movies. Artinya, mayoritas film di Indonesia hanya sebagai barang dagangan. Pembuatan film hanya dititikberatkan pada permintaan konsumen, bukan atas kepentingan pendidikan atau sinematografinya. Oleh karena itu, muncul film-film Indonesia dalam genre populer. Genre horror bernuansa seks menduduki peringkat tertinggi. Hal ini terlihat dari jumlah produksi film horror yang mencapai angka lebih dari 100 pada kisaran tahun 2006 sampai 2009.

Selintas Perkembangan Industri Perfilman Indonesia
Industri perfilman Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Usianya tidak bisa dikatakan muda. Film pertama kali yang diproduksi di Indonesia adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Film ini disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp, dua orang yang berkebangsaan Belanda. Kendati seperti itu, film ini dimainkan oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Java NV di Bandung. Peluncuran film ini dilakukan pada tanggal 31 Desember 1926 di teater Elite dan Majestic. Setelah itu, sekitar puluhan ribu film diproduksi di Indonesia.
Dunia perfilman Indonesia sempat menjadi raja di negeri sendiri sekitar tahun 1970-an sampai 1980-an. Pada saat itu, film Indonesia sempat merajai bioskop-bioskop lokal. Film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan Si Boy, Blok M, dan sebagainya. Pun beberapa bintang film yang terkenal kala itu adalah Onky Alexander, Meriam Belina, Nike Ardilla, dan Paramitha Rusady. Selain itu, sineas-sineas yang berhasil menghasilkan film-film berkualitas pada masa itu, yakni Arifin C. Noer, Benjamin Sueb, Bing Slamet, Teguh Karya, Eros Djarot, dan lain-lain. Mereka berhasil menyuguhkan karya seni secara total dan tidak hanya aji mumpung belaka.
Setelah masa kejayaan itu, para produser mulai mengeksploitasi para konsumen. Karena satu dan lain hal, kualitas perfilman Indonesia semakin menurun pada tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan dominasi tema-tema khusus orang dewasa pada hampir semua film Indonesia. Film-film horror, seks, atau horror bernuansa seks mulai muncul memenuhi bioskop-bioskop lokal. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Akibatnya, film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi film Indonesia di negeri sendiri.

Setelah masa-masa itu, pada kisaran abad baru, muncul film berjudul Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, bintang cilik berbakat. Drama musikal tersebut diproduksi oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. Pada kenyataannya, film tersebut mampu menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Secara komersil, film ini mampu menguasai bioskop-bioskop lokal Indonesia. Setelah itu, muncul film-film lain dengan genre berbeda namun telah sukses secara komersil, yakni Jelangkung, Ada Apa dengan Cinta, Biarkan Bintang Menari, Di sini Ada Setan, dan sebagainya.

Sementara itu, film-film berkualitas dan nonkomersil juga mampu memenangkan penghargaan nasional dan internasional. Film-film tersebut diproduksi oleh sineas-sineas berkualitas, diantaranya adalah Christine Hakim dan Deddy Mizwar. Film-film nonkomersil tersebut, diantaranya berjudul Pasir Berbisik, Daun di atas Bantal, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Marsinah, dan lain-lain. Selain itu, pada masa ini, Festival Film Indonesia kembali digelar setelah vakum selama 12 tahun.

Sepanjang perjalanan dunia perfilman Indonesia, saat ini, kembali diguncang film-film bernada seks dan horror. Pada tahun 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia mencekal film berjudul Suster Keramas, Hantu Puncak Datang Bulan, dan film-film lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan karena film-film tersebut dianggap mampu mengusik perasaan susila masyarakat. Sayangnya, meskipun telah dicekal, film tersebut tetap tayang dengan judul yang berbeda. Di sinilah dunia perfilman Indonesia kembali mengalami degradasi substansi.

Sejarah penetapan Hari Film Nasional jatuh pada 30 Maret, diambil dari hari pertama proses pengambilan gambar Darah dan Doa, sekaligus film pertama yang diproduseri Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Usmar Ismail, adalah tokoh penting yang diberi kehormatan menyandang semua kebesaran ini. Ia adalah sutradara sekaligus ketua dari badan yang dibentuk di tahun1950 ini. Kelak, Usmar juga menyandang gelar Bapak Film Nasional dengan sebuah gedung film dan pusat data yang dinamai sesuai dengan namanya.

Bukan sebuah kebetulan, ketika seorang Suzanna, legenda hidup dalam sejarah film horor Indonesia ternyata mengawali karirnya dibawah arahan Usmar. Asrama Dara (1958), film yang memberinya peran kecil itu ternyata membawa Suzanna pada jenjang yang terus menanjak hingga 50 tahun kemudian, 2008, sekaligus membuktikan ketajaman intuisi Usmar sebagai maestro.tuisi Usmar sebagai maestro.

Jika pada tahun ini fokus peringatan jatuh pada Suzanna, tentu tak dimaksudkan untuk terjebak pada kultus bintang. Sebagai legenda hidup, tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari dari sosok dan konsistensi seorang Suzanna dalam dunia film. Peringatan Hari Film Nasional kali ini juga berupaya untuk membaca fenomena Suzanna melalui diskusi dan pemutaran beberapa filmnya yang legendaris, mengingat ikonoklastik Suzanna dalam posisi film horor dunia.

Kecenderungan Genre Horror pada Film-film Indonesia
Dalam perkembangannya, ada beberapa jenis film horor. Pada masa awal perkembangannya di Barat, film-film horor mengambil ilham dari tokoh-tokoh dalam sastra klasik Barat seperti Dracula, Wolfman, Frankenstein, Dr. Jekyll & Mr. Hyde, The Mummy, The Phantom of The Opera, dan lain sebagainya. Setelah Perang Dunia II, berkembang tiga jenis (sub genre) film horor yang dominan di Amerika, yaitu horror-of-personality, horror-of-Armageddon, dan horror-of-the-demonic (Derry : 1977).

Wicaksono Adi dan Nurruddin Asyhadie pun turut membahas jenis horror dalam perkembangan film-film Indonesia. Dalam tulisannya berjudul Paramarupa Film Horor Kita (Majalah F, no. 3, Februari-Maret 2006), ada ketegangan film horor berjenis demonic horror dan pyschological horror. Film horor berjenis demonic horror adalah film horor dengan tokoh-tokoh setanwi, atau supernatural. Sedangkan film horor berjenis pyschological horror adalah film horor yang bersumber dari persoalan kejiwaan.

Kedua jenis film horor tersebut turut menyumbangkan warna dalam genre film horor di Indonesia. Film horor pertama di Indonesia yang menggunakan jenis demonic horror adalah film berjudul Tengkorak Hidoep yang diproduksi pada tahun 1941 oleh Tan Tjoei Hok. Sedangkan film horor pertama Indonesia yang menggunakan jenis pyschological horror adalah film berjudul Lisa yang diproduksi oleh M. Shariefudin pada tahun 1971. Kedua film ini menjadi tonggak munculnya genre horor di Indonesia hingga saat ini.

Berdasarkan pemaparan pada poin I dan II di atas, disebutkan bahwa genre horor sempat mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia. Genre horor menjadi yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Kiranya, perlu sebuah telaah sebab mengapa film horor Indonesia kian diproduksi secara terus-menerus. Dalam hal ini, perlu dikaji tujuan mayoritas para sineas Indonesia memperoduksi film-film tersebut.

Sebagaimana disebutkan dalam pengantar, mayoritas film Indonesia diproduksi untuk kepentingan finansial. Hal tersebut mengakibatkan para sutradara dan penulis naskah memproduksi film sejauh permintaan kebanyakan konsumen saja, bukan atas tujuan pendidikan atau kritik sosial. Intinya, film Indonesia diproduksi sebagai hiburan belaka. Terbukti dengan munculnya puluhan film horor di Indonesia. Memang, hal tersebut wajar karena sineas-sineas Indonesia ingin memberikan suasana hiburan bagi masyarakat Indonesia. Namun, dominasi film horor tersebut juga membuat para penikmat film Indonesia menjadi jenuh. Akibatnya, film Indonesia tergeser oleh film Hollywood atau film luar lainnya.

Sejauh pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa kualitas kebanyakan film Indonesia perlu dipertanyakan. Ironisnya, film-film horor yang jelas-jelas tidak punya substansi itu menggunakan stimulan seks dalam menjaring penonton. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Majelis Ulama Indonesia pun berkali-kali mencekal film-film berbau perusak moral. Namun, film-film sejenis kian diproduksi hingga kini.

Film Indonesia dan Bangsa Indonesia
Yudi Prakasa, pengamat film dari Institut Kesenian Jakarta, berpendapat mengenai kualitas dan kuantitas produk dunia perfilman Indonesia. Ia mengatakan bahwa kemunculan film-film Indonesia berkualitas rendah seperti yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari sebuah siklus yang selalu berulang. Dunia perfilman Indonesia senantiasa bergerak naik dan turun, mengalami masa keemasan di satu saat dan terpuruk di saat lainnya.

Yudi bukannya tidak menyadari bahwa penonton sekarang telah menjadi lebih arif dalam menilai sebuah film. Akan tetapi, menurut Yudi, para produser telah mengantisipasi bertambah pintarnya para penonton. Pengamat film ini menggunakan teori psikologi Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs) dalam menjelaskan pandangannya. Teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow ini menyatakan bahwa ketika manusia memenuhi kebutuhan dasarnya, ia akan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang ditunjukkan diagram dibawah ini.



Singkatnya, menurut Yudi, produser pada masa 1990-an memproduksi film-film yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti yang ditunjukkan Hirarki Maslow pada bagian diagram yang berwarna merah, era 1990-an diwarnai film-film bertema seks. Selain itu, saat ini, film Indonesia telah berada satu tingkat di atas merah. Sekarang para produser membuat film-film dengan tema horor yang intinya mengusik rasa keamanan yang diperlukan manusia.

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa dalam hal kualitas, masyarakat Indonesia masih berada dalam taraf rendah. Hal ini tentu saja menyangkut kepribadian bangsa Indonesia. Dalam batasan-batasan yang ketat, film akan berdampak positif bagi para pemirsanya. Namun, film akan menjadi masalah ketika isi yang terkandung atau pesan yang diusung film tersebut keluar dari batas dan norma dan etika.

Keadaan masyarakat pada suatu bangsa sangat tergantung pada jenis tontonan kesehariannya. Ketika meyaksikan film produksi India yang bernilai positif pada muatan budayanya, dapat ditemukan bahwa memang demikianlah keadaan masyarakat India yang begitu mengahargai dan mencintai kebudayaannya. Sementara film keseharian bangsa Indonesia didominasi muatan-muatan yang berbau takhayul dan horor belaka. Hal ini menjadi sebab lemahnya cita menuju kemajuan teknologi dan kemajuan bangsa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa antara film dan kecerdasan para pemirsanya (baca : masyarakat) jelas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Film mempengaruhi kepribadian bangsa.

Akhirnya, baik tidaknya film yang beredar di negeri ini sangat bergantung pada kebijakan badan perfilman Indonesia yang mengatur tentang batasan-batasan norma dan adab film-film di pasaran. Namun, bangsa Indonesia harus tetap berusaha kritis dan memfilterasi berbagai tayangan ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjerembab pada keterpurukan akhlak akibat pengaruh negatif dari berbagai program tersebut, terutama para generasi penerus bangsa Indonesia.

Film sebagai salah satu media komunikasi di Indonesia berperan penting dalam pola pikir dan kepribadian masyarakat Indonesia. Film Indonesia didominasi oleh genre horor sebagai akibat dari pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung dicampuri oleh hal-hal berbau mistis dan takhayul. Oleh karena itu, bangsa Indonesia, terutama para generasi muda, dituntut kritis terhadap berbagai tayangan yang ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjun pada keterpurukan akhlak yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari berbagai program tersebut.

Maraknya produksi film dokumenter ataupun film indie di kalangan pelajar dan mahasiswa mengindikasikan adanya perhatian terhadap sepak terjang dunia perfilman Indonesia. Meskipun begitu, meningkatnya produksi film-film berkualitas tidak serta-merta meningkatkan taste mentalitas bangsa Indonesia. Hal tersebut hanya salah satu penunjang yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan demokrasi dan monarki yang sedang gembor-gembor dibicarakan. Oleh karena itu, meningkatkan yang kecil tidak menutup kemungkinan akan meningkat pula hal-hal lain yang dianggap vital bukan? Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Semoga.

*) Tulisan ini (katanya) masuk dalam nominasi 99 Tulisan Terbaik pada Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa Bagi Bangsa dan Negara di UGM 20 Desember 2010

2 komentar: