Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 30 April 2010

Industri Kekaryaan : Industrialisasi Bahasa dan Sastra Indonesia

Industri Kekaryaan : Industrialisasi Bahasa dan Sastra Indonesia
(dalam Seminar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM dan Universitas Nasional (UNAS) di Gedung Purbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, 30 November 2009 )

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM

I. Pendahuluan

Dewasa ini, dalam perkembangannya, bahasa dan sastra telah masuk ke berbagai aspek kehidupan, misalnya, media massa yang kemudian menjadi semacam ketergantungan. Alhasil, aktivitas sehari-hari tak urung dilingkupi oleh hal-hal tersebut.
Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi mengingat salah satu fungsinya yang sangat besar adalah memepengaruhi bahkan memperdaya lawan bicaranya—penutur, dalam ilmu tindak tutur komunikasi. Media massa, baik cetak maupun elektronik yang dalam prakteknya tak terlepas dari penggunaan bahasa dan cara pemilihan diksinya merupakan sarana bahasa dan sastra Indonesia untuk menjadi lebih komersil. Penulis boleh menyebutnya sebagai industrialisasi bahasa yang dumulai pada abad ke-19. Hal ini terlihat jelas pada media massa cetak di Indonesia dan media massa lainnya.
Industrialisasi bahasa dan sastra Indonesia menjadi sebuah kajian penting dalam pokok bahasan kali ini. Industrialisasi di sector manapun agaknya menjadi sejenis fenomena massif yang dapat dirasakan oleh segenap umat manusia di dunia. Oleh karena itu, sudah tak asing lagi ketika topic industrialisasi diangkat ke permukaan mengingat begitu maraknya teknologi industri di setiap penjuru. Industrialisasi menuntut untuk dikaji lebih dalam demi kemajuan berpikir di masa depan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Nasional (UNAS) Jakarta mengadakan sebuah temu jurusan yang membahas seputar industrialisasi bahasa dan semacamnya pada 30 November 2009 di Gedung Purbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta. Seminar ini mengahadirkan dua pemakalah dari UGM yaitu Achmad Fawaid dan Pekik Nursasongko. Keduanya adalah mahasiswa S1 Sastra Indonesia UGM Yogyakarta. Sedangkan dua pemakalah dari UNAS yakni Gema Fajar Rakhmawan dan Mukorobin. Keduanya adalah mahasiswa S1 Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UNAS Jakarta.

II. Mewacanakan Industri(alisasi) Bahasa1

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Mewacanakan Industri(alisasi) Bahasa : Dari Media Massa hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahasan yang disampaikan ini bertujuan melihat bagaimana dua pandangan (modernis dan pomodernis radikal) berdialektika secara inhern dalam persoalan industrialisasi bahasa, sekaligua mencoba melakukan kritik terhadap gagasan industrialisasi bahasa yang dirasa penulisnya cukup meragukan. Mengenai penjelasan dan simpulan terkait sub bahasan ini akan dipaparkan sebagai berikut.

Terkait dengan bahasa sebagai wacana ini, Michel Foucault pernah menyatakan : language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a articular group while excluding other. Foucault berusaha menyadarka dunia bahwa bahasa sebenarnya tak pernah netral, selalu terikat, dikontrol, dan dikonstruksi oleh pihak-pihak tertentu (dalam hal ini penguasa) demi tujuan pribadi dan kelompoknya. Kondisi yang digambarkan Foucault tersebut tampaknya nyaris sama dengan apa yang terjadi dalam bahasa Indonesia saat ini.

Media cetak dan penerbitan—untuk menyebut beberapa saja—menjadi dua “lembaga industri” yang berkuasa dalam mengkonstruksi wacana kekuasaan melalui proses industrialisasi bahasa. Seperti yang nanti akan terlihat, mereka berhasil mengkonstruksi pola-diksi individu melaui strategi marketing-media-nya. Di belakang kedua lembaga ini, ada penguasa-penguasa lain yang turut berkuasa, yakni mencakup para politisi, penguasa, pebisnis, orang kaya, atau pihak-pihak tertentu yang memiliki modal untuk mengontrol lembaga industri bahasa itu. Foucault menyebut golongan penguasa ini sebagai man of desire.

Kerena kedua lembaga ini, sadar atau tidak hanya menguasai bahasa sebagai alat untuk melanggengkan tujuan-tujuan tertentu, tetapi juga telah menjadikan bahasa sebagai komoditas untuk disalurkan dan dijual kepada masyarakat pembaca, maka—seperti kata Benedict Anderson dalam Imagined Community (1983)—kapitalisme percetakan sudah pasti ada.

Namun, industrialisasi bahasa dan sastra yang dimaksud juga mengakibatkan carut-marutnya jagat bahasa dan sastra Indonesia. Dari sini muncul pergeseran pola-komunikasi media massa yang mulai menggunakan bahasa-bahasa bombastis yang berbau asing, bahasa-bahasa emosional, bahasa-bahasa yang tidak logis, bahasa-bahasa metafora-politis, bahasa-bahasa erotis,dsb. Masyarakat pun akhirnya juga turut menggunakan bahasa-bahasa itu sebagai sesuatu yang secara for granted diterima apa adanya. Kemudian, bahasa kesusastraan pun juga turut lebur dalam hangar-bingar industrialisasi. Ada satu kasus yang cukup menarik, yakni “novel latah”. Kasus novel ini memperjelas bahwa selera pasar tetap menjadi pertimbangan utama jika si lembaga penerbitan tidak ingin gulung tikar.

Namun, ada pula dua sisi dari industrialisasi bahasa, yakni antara hegemoni dan anti-hegemoni. Industrialisasi anti-hegemoni jelas ditemui pada surat kabar pergerakan kemerdekaan saat lalu. Sikap independensi ditunjukkan disini. Di sisi lain, indutrialisasi dengan hegemoni kekuasaan yang ermodal kini sudah banyak sekali terjadi sehingga menimbulkan berita yang “dibuat” bukan berita yang “diliput”.
Bahasa buanlah hak prerogative penyusun kamus. Bahasa hidup di tengah-tengah kita. Jika yang diindustrialisasikan adalah bahasa sebagai lambang atau identitas suatu bangsa, gagasan tentang industrialisasi bahasa (Indonesia) sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu, yaitu ketika Purwadarminta untuk pertama kalinya berhasil menyusun dan menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia pada tahun 1952. Penerbitan kamus umum ini tentu saja tidak hanya menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia berusaha dinasionalisasikan dan dibakukan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana industri penerbitan pada waktu itu (Balai Pustaka) turut terlibat dalam mendukung pembakuan tersebut melalui usaha penyebaran sekaligus penjualan “bahasa Indonesia” dalam bentuk kamus.

Namun, terlepas dari ini semua, masih diragukan dengan sebuah kritik ontologis yakni apakah memang industrialisasi bahasa semacam ini yang dimaksudkan.

III. Hedonisme Novel Pop Pesantren2

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Hedonisme Novel Pop Pesantren : Ketika Orang-orag Pesantren Berkutat dengan Sastra sebagai Industri.
Berdasarkan pemaparan pemakalah pada sub bab kali ini, dapat disimpulkan bahwa kelahiran novel pop pesantren sebagai genre baru dalam sastra Indonesia disebabkan juga oleh system industri. Kejelian penerbit dalam membidik selera konsumen merupakan inti dari proses kelahiran tersebut. Akibat pemenuhan selera konsumen tersebut, novel pop pesantren pun sarat akan wacana hedonis yang juga muncul pasca booming novel-novel pop tahun 2000-an.

Pada empat novel pop yang diteliti, yakni Santri Semelekete (karya Marifatun Baroroh, 2005), Santri Tomboy (karya Sachee M. Diroini), Diary Hitam Putih (karya Restu RA,2007), Santri Baru Gedhe (karya Zaki Zarung, 2000), sebagian besar menggunakan karakter tokoh sebagai alat penyampaian budaya hedonis. Pola pikir tokoh dalam novel-novel pop pesantren dikonstruksi telah menyatu dengan hedonisme. Terlepas dari ada tidaknya pengarang novel-novel tersebut meletakkan hedonisme pada novelnya, pada kenyataannya itulah ang diinginkan pasar sebagai hasil dari kejelian penerbit.

IV. Industri Kekaryaan3

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Industri Kekaryaan;Pengaruh Tampilan dalam Sebuah Karya Sastra : “Semangat Desain Postmodern dalam Sastra Populer pada Segmen Remaja”.

Berdasarkan pemaparan pemakalah, dapat disimpulkan bahwa postmodernisme menggantikan modernisme sebagai gaya internasipnal terkini. Dalam bidang desain, secara formal telah menjelaskan tentang penolakan atas kemurnian modernisme kolot yang menolak cita rasa popular. Seperti juga art deco. Postmodernisme mencampuradukkan sejarah seni dan teknologi baru dengan kecenderungan dekoratif untuk meraih penampilan komersial yang dapat diterima oleh masyarakat.

Selain itu, pengaruh elemen-elemen dan berbagai atribut yang terkandung pada desain
postmodern di atas kiranya memberikan pengaruh yang besar pada perkembangan sastra popular—khususnya pada remaja. Keunikan dan daya tarik visual pada sebuah cover itulah dunia industri mendukung peerbitan novel-novel semacam ini.

V. Produk Bahasa dan Sastra4

Perlu diketahui bahwa sub judul dalam bahasan kali ini adalah Produk Bahasa dan Sastra : Sebuah Telaah Fenomena Iklan pada Media Massa.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak kita sadari bahwa tata permainan bahasa telah memasuki kehidupan kita. Misalnya yang telah diterapkan dalam bahasa media massa untuk mempengaruhi bahkan memerdaya pembacanya. Dalam pihak ini, bahasa dan sastra juga dijunjung tinggi sebagai produk yang mempunyai daya jual di kalangan masyarakat luas, sebuah ‘aturan’ agar para individu mampu mengemas bahasa menjadi komoditas.

Berdasarkan pemaparan pemakalah pada bahasan ini, betapa bahasa dan sastra Indonesia sebenarnya sangat memungkinkan untuk merambah pada bidang-bidang industri kreatif. Selain pada media massa cetak dan iklan, hadirnya media mutakhir seperti internet dapat juga dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjadikan bahasa sebagai produk bernilai jual. Walaupun pada kesehariannya masyarakat telah berbahasa dan mengungkapkannya dengan sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi tidak semua orang berbahasa bahwa ia sedang bermain dengan tata permainan bahasa. Implikasinya, dibalik bahasa ada manajemen, pemilihan, perangkaian dan pemaknaan yang harus diperhtikan oleh penutur agar pembicaranya tetap dalam konteks dan tepat sasaran.


VI. Simpulan

Berdasarkan pemaparan oleh pemakalah yang dituliskan di atas, dapat disimpulkan :

6.1 Ada berbagai pandangan mengenai postmodernisme dengan modernisme terkait masalah selera populis dan industrialisasi bahasa dan sastra Indonesia. Oleh karena itu, pemaparan hanya bersifat deskriptif dan belum menemukan pembenaran-pembenaran hakiki mengenai bahasan ini.

6.2 Ada banyak efek yang ditimbulkan oleh maraknya pandangan postmodernisme mengenai selera populis dalam berbahasa dan bersastra (Indonesia) kaitannya dengan industrialisasi bahasa dan sastra. Diantaranya adalah menuntut pengkajian ontologis secara mendalam mengenai hakikat industrialisasi bahasa dan sastra, pengkajian fenomena iklan media massa, tentang pengaruh tampilan dalam karya sastra popular, dan pengkajian fenomena hedonisme novel pop pesantren akhir-akhir ini. (©10Des09)

-------------------------------------------------------------------------------------
1 Materi yang disampaikan oleh Achmad Fawaid, mahasiswa Sastra Indonesia ’07 UGM Yogyakarta.
2 Materi yang disampaikan oleh Pekik Nursasongko, mahasiswa Sastra Indonesia ’06 UGM Yogyakarta
3 Materi yang disampaikan oleh Gema Fajar Rakhmawan, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Nasional Jakarta.
4 Materi yang disampaikan oleh Mukorobin, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Nasional Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar