Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Senin, 17 November 2008

mY heaRt cOme BaCk….


I wait….

Always wait…

Wait for a long time…

Wait for a sacrifaction…

Wait for a heart that I miss…

Hope it can be mine…

And the next, I can give my heart….

The only one for my missing heart…

But, this evening…

When the sun disappeared,

I saw the moon who get my soul…

Makes me feel calm down…

I took the light, but I can’t see it again…

The next, I want to close my eyes…

Hope it can lost my sadness

‘coz I can’t find my missing piece…

Suddenly, there was a light come for me…

I can’t see it coz it blinking…

Then, I close my eyes back…

And I realize that it was my missing heart….

I cant stop my tears,

I cant stop my love…

This is my moment …

I'd like to stop the clock make time stand still…

Listening his words and whispering something

My heart feel come back…

My moment unforgettable 4ever and ever

I miss U…

I miss U my missing piece…

@ri@n for @ri@n

Jumat, 14 November 2008

Review...


Dasar cinta mendalam hanya milikNya. Aku tak sampai setitik kotoran kuku bila dibandingkan dengan beragung-agung kuasaNya. Aku juga sangat ringan tak punya kuasa dan kekuatan laiknya anai-anai yang beterbangan terombang ambing tak berdaya…
Aku hanya hamba hina yang tak tahu berterima kasih…
dengan bekal cinta yang terbata-bata dan sangat minim, aku masih bisa merajai semesta…
karena cintaNya dan hanya karena cintaNya yang aku tak pernah sanggup mengukurnya, aku hanya akan hancur dengan segala logika,obsesi dan ambisiku….

Aku hanya bisa mengeja sepatah demi sepatah cinta, secuil demi secuil kasih dan seucap demi seucap alunan takbir yang mengalun lembut serta melalui pengabdianku kepada sepansang matahari, hanya dan hanyalah untuk menyusun mozaik cinta yang terbaik dengan segala ikhtiyar dan tawakkalku menuju dasar cintaNya…

A piece of ....

Malamku kali ini kembali sunyi. Sang bulan terlihat tersenyum sembari menunjukkan cahayanya yang sengaja mengejekku karena hampir tujuh bulan ini aku sendiri dan sendiri, kesepian dalam hening malam merindukan seseorang yang ruangnya di hatiku belum tergantikan. Ku tengadahkan wajahku seraya menikmati pekatnya malam, sejurus kemudian aku terpejam dalam dingin malam menusuk tulang. Matahari itu muncul dalam lamunanku. Bulan itu melambaikan tangannya untukku.Aku bergumam dalam kerinduanku bersama malam.

Matahariku,

Aku sedang memejamkan mata

Kemudian...

Kaukah itu?

Terlihat mengacak rambutku, tertawa lepas dan memandangku dengan sorot mata teduh melindungi

Aku menarik bibirku, berikan senyum tulusku

Lalu, kau menarik tanganku

Membawaku bersama mimpimu

Menggenggam tanganku seerat ikatan hati,

Aku merasakan tenang dan tenteram

Aku serasa ingin malam ini turun hujan,

Karena hujan itu indah, hujan itu tenang, hujan itu gemuruh hati, hujan itu air mata...

Hujan turun berarti bahwa sedihku, resahku, tangisku, rinduku lenyap dan pecah

Dengar aku Matahariku...

Peluk aku, dekap aku, jaga aku..

Karena aku telah mati di rengkuhmu..

Sedetik kemudian aku terlelap dalam mimpi dan harapan yang menggantung dalam nadi.

***

Pagi ini aku kembali menyusuri koridor sekolah bersiap duduk berlama-lama hanya untuk ilmu. Lima langkah menuju kelas, pandanganku selalu tertuju pada bangku pojok kanan. Ya, disitulah harapanku. Agaknya pagi ini aku berangkat agak pagi karena kelas masih sepi dan matahariku belum juga datang. Aku meletakkan tasku di bangku pojok kiri. Undian kali ini aku kebagian duduk di pojok belakang. Aku mulai membuka koran yang sengaja kubawa karena kemarin aku belum sempat membacanya.

”Eh, da koran baru ya non?” tegur Deny.

“Yups... kemaren lum sempet baca!“ jawabku.

”Pinjem donk.... sebentar ajah!” sahut Deny seraya menunjukkan muka sok imut.

Bibirku manyun beberapa senti namun luluh tiga detik selanjutnya. Kusodorkan koran tersebut dan secepat kilat Deny membawanya ke bangkunya.

Aku terdiam dan tanpa sengaja melayangkan pandangku ke bangku pojok di seberang bangkuku. Ya, bangku yang setiap pagi harus menerima nasibnya untuk kulirik dan kulirik selalu. Aku menyandarkan punggung ke dinding, kali ini tidak melirik tapi memandang. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Seseorang berjaket coklat dengan kacamata bertengger di kedua matanya nampak beberapa langkah lagi memasuki kelas. Aku segera mengalihkan pandangku ke objek lain, yaitu koran di tangan Deny. Karena aku, tidak ingin dia memergoki aku sedang memperhatikannya.

”Den, udah belum?” tanyaku sembari menunjuk koran.

”Ahh... bentar donk!” jawab Deny ketus.

”Uggh... Dasar!”

Deny hanya menoleh dan memasang senyum gak jelas, sama seperti tadi. Kukira dia emang obsesi untuk jadi imut. He.

***

Jam pelajaran Bu Iffah, Matematika, aku sengaja keluar karena aku selamat dari cengekeraman iblis remidi yang sekarang melanda delapan orang anak di kelasku. Puji syukur!.

Aku duduk di bangku panjang di depan kelas dan mulai melanjutkan membaca koran. Dismapingku ada Eka, Tiwi dan Safi.

”Aduh, aku pusing banget Rin!” kata Eka sambil memegangi kepalanya.

”Aku juga sih sebenernya, tapi abiz kena pesona Obama, jadi agak berkurang deh” jawabku seraya menunjukkan koran yang memuat foto Obama, presiden Amerika terpilih ke-44.

”Eh...Obama yah!” sahut Tiwi sambil melongokkan kepalanya ke koran yang kubaca.

”Iya...kemaren ndak sempet baca.”

”Nih...biar nggak nganggur.” ujarku sambil menyodorkan bagian koran lain ke Tiwi.

”He...he...” ringis Tiwi.

Kemudian aku dikejutkan oleh seorang yang lewat dan menyapa Tiwi. Dia ternyata penghuni bangku yang kupandangi tadi pagi.

”Hey... Wi. Ikut aku yuk!” ajak dia.

”Kemana?” tanya Tiwi.

”Ke perpus.”jawabnya.

”Tapi masih baca.”

”Ayo’... ga papa!.Bacanya di perpus aja.”

“Tapi ini punya Arin...”jawab Tiwi. Seseorang itu kemudian melengos dan meninggalkan kita berempat.

”Eh, ke perpus yuk!” ajak Elis ke Eka. Tapi, malah Tiwi yang bersemangat.

”Yuk!!!” sejurus kemudian ia meninggalkan koran itu begitu saja dan berjalan bersama Elis menuju perpus. Aku yang saat itu pura-pura tenggelam dalam bacaan koran mencoba menghapus luka gores. Seseorang itu lagi-lagi tak menggubrisku sedikit pun.

Tapi akhirnya ada hasrat yang menuntunku untuk mengikuti ke perpus. Kemudian aku dan Eka segera menyusul mereka. Pemandangan pertama di perpus adalah seseorang itu, koran dan Tiwi. Beradu dalam satu melodi siang bolong. Aku yang tak rela, segera menenangkan hati dengan pura-pura tenggelam dalam koran. Lagi. Kali ini hatiku berkaca-kaca. Entah kenapa aku tak mau melewatkan sedetik pun untuk tidak memandang dia. Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, aku memergoki dia yang juga sedang mengolah pandang kepadaku. Lukaku sejenak sirna dan berbunga.

***

Sore ini, mendung merundung bumi. Aku mengayuh sepeda Phoenix hitamku menyusuri jalanan kota sambil menikmati mendung yang menggantung. Namun, sejenak kemudian aku seperti tersambar petir tanpa kilat. Aku melihat pemandangan asing yang tak pernah aku sangka.

“Bruummm...!!“ suara motor itu mendahului jalanku.

Ternyata seseorang yang ku puja dan ku harapkan sedang membonceng Tiwi menikmati sore. Dan yang paling menyakitkan, mereka tidak menyapa atau sekedar tersenyum kepadaku. Mereka tenggelam dalam dunia mereka. Kali ini hatiku bukan hanya tergores ataupun berkaca-kaca. Namun, kali ini hatiku benar-benar tertusuk dan menangis.

Matahariku...

Secepat itukah aku hilang?

Sementara aku sulit dan sangat sulit untuk mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan...

Mengenai janji yang kau ucap dulu,

Ternyata kau sudah menemukan matahari lain...

Aku menangis dalam mendung, dan aku berharap hujan segera turun. Turun bersama air mataku yang deras. Dan aku bisa menangis sepuasku tanpa ada seorang pun yang tahu.

Kemudian, Tuhan mengabulkan doaku....

***

Aku menggigil dalam dingin malam membeku. Bulan kemudian mendekat dan membelai punggungku. Rasanya aku memang harus bercerita. Tapi tidak!!. Bulan sudah mengerti. Tak perlu aku harus bercerita. Aku kembali menengadahkan wajah ke haribaan malam. Memejankan mata dan merasakan hembusan dewi malam.

”Matahariku....” seseorang hadir dan mengagetkanku.

”...” diam membisu dan kosong.

Seseorang itu menghampiri dan mengacak rambutku. Duduk disampingku kemudian memandangku. Menatap mataku. Aku kembali menggigil karena dewi malam berhembus terlalu kencang. Seseorang itu meraih tubuhku dan mendekapku dalam dadanya. Memelukku dalam indah dan hangatnya waktu. Kemudian dia membisikkan sesuatu,

”A piece of love for you, Dear…”

Aku tersenyum kemudian membuka mataku. Bulan masih berada di sampingku, namun segera beranjak dan berpamitan untuk lanjutkan tugas. Sepotong cinta yang indah dari duniaku yang semu. Berharap matahariku akan kembali dalam duniaku yang sebenarnya.