Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Minggu, 22 April 2012

REVIEW MAU DIBAWA KEMANA SINEMA KITA?: BEBERAPA WACANA SEPUTAR FILM INDONESIA


Sinema merupakan salah satu media efektif penyampai pesan karena dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi. Dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

Sebagaimana yang dikatakan oleh James Monaco dalam How to Read a Film, film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Pengkajian film dalam beberapa aspek kiranya juga dapat ditelusuri dalam buku yang akan dibicarakan dalam tulisan ini, yakni buku berjudul Mau Dibawa Kemana Sinema Kita?: Beberapa Wacana Seputar Sinema Indonesia yang diterbitkan oleh Binus Publishing, Sekolah Film Binus, Penerbit Salemba Empat, dan Asian Cinema.

Dalam buku tersebut, setidaknya terdapat pandangan awal pembaca bahwa selama ini sinema sebagai subjek kajian kian hari kian diminati, termasuk sinema Indonesia. Penikmatnya pun tak hanya dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Sejatinya, buku tersebut adalah terjemahan dari jurnal Asian Cinema Special Issue: Indonesian Cinema Today-Asian Cinema Journal, Vol. 21, No. 2, Fall/Winter 2010 (Temple University, USA) yang beredar November 2010. Editornya adalah Khoo Gaik Cheng dari Australian National University dan Thomas Barker dari National University of Singapore. Sementara itu, Ekky Imanjaya sebagai penyunting edisi Indonesia.

Dipaparkan oleh editor, edisi khusus Asian Cinema ini merupakan hasil dari kolaborasi antara editor dengan beberapa akademisi muda, penulis skenario film, dan para kritikus yang bekerja di sinema Indonesia. Beberapa yang tergabung dalam jurnal tersebut adalah Khoo Gaik Cheng, Thomas Barker, Ekky Imanjaya, Charlotte Setijadi-Dunn, Eric Sasono, Budi Irawanto, Intan Paramaditha, Katinka van Heeren, dan Maimunah. Sementara itu, dalam edisi Indonesia ini, terdapat tambahan tulisan dari Veronika Kusumaryanti yang membahas tentang film-film horror Indonesia dan Nosa Normanda yang membahas tentang film-film Joko Anwar. Penambahan tulisan tersebut dilakukan untuk (setidaknya) menambal koleksi tulisan tentang teorisasi tersendiri terhadap genre horor yang dianggap spesial, bahkan telah menjadi topik dari beberapa skripsi atau tesis.

Buku ini menawarkan keberagaman gagasan dan telaah, mulai dari pertanyaan-pertanyaan seputar gagasan “Film Nasional” yang dipaparkan oleh Thomas Barker dan Charlotte Setijadi-Dunn. Terdapat dua tulisan mengenai hal ini, yang pertama adalah tulisan berjudul Mempertanyakan Gagasan “Film Nasional” oleh Thomas Barker, kemudian disusul oleh Membayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan yang ditulis oleh Charlotte Setijadi-Dunn bersama Thomas Barker pula. Kedua tulisan ini menggiring film Indonesia dalam konteks historis. Pembicaraan ini seputar sejak kapan dan mana yang patut disebut sebagai permulaan film Indonesia yang ‘Indonesia’ sebagai respons atas pernyataan Misbach Yusa Biran (2009:45) dalam Sejarah Film 1900-1950 bahwa semua film yang diproduksi sebelum tahun 1950 ‘bukan film Indonesia’. Sementara itu, terdapat sisi lain sejarah produksi film di Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam tulisan kedua oleh Charlotte Setijadi-Dunn dan Thomas Barker. Film-film pranasionalis dan komersial tidak dihargai. Kedua penulis itu mengemukakan bahwa penonjolan yang dilakukan oleh Biran merupakan indikasi dari bias etno-nasionalisme yang tersebar luas kemudian menghasilkan historiografi sempit. Tulisan ini mengemukakan adanya sumbangsih yang sangat berarti oleh film-film produksi etnis Tionghoa yang dianggap telah merintis pembuatan film panjang di Indonesia, mengonstruksi gambaran awal alam, orang-orang, dan kebudayaan lokal Indonesia di atas layar. Membicarakan film dalam konteks historis ini sebenarnya sudah kerap ditemui dalam tulisan-tulisan dalam negeri. Pembicaraannya pun tidak jauh-jauh dari yang dikemukakan oleh dua penulis di atas. Namun, tulisan ini cukup memantik kesadaran-kesadaran dan pertanyaan-pertanyaan baru sebagai tulisan pembuka dalam buku ini sebagai penguatan bahwa interpretasi sejarah tetap menjadi tugas penting.

Beralih pada tulisan selanjutnya, pembaca dihadapkan pada tiga tulisan tentang fenomena film-film Islam yang belakangan ini menjadi penting. Tulisan-tulisan tersebut, diantaranya adalah berjudul Film-film Indonesia Bertema Islam Dewasa Ini: Jualan Agama atau Islamisasi? oleh Eric Sasono, “Passing” dan Naratif “Pindah Agama”: Ayat-ayat Cinta dan Performativitas Muslim Indonesia Komtemporer oleh Intan Paramaditha, dan Kemandang “Kantata Takwa” oleh Katinka van Heeren. Tulisan-tulisan ini membuka perdebatan tentang hubungan agama dan kebudayaan. Debat dan diskusi yang berkembang menyusul popularitas genre tersebut semakin meningkat. Eric Sasono member gambaran menyeluruh tentang film-film bertema Islam sejak periode Orde Baru ketika film-film bertema Islam memiliki dimensi sosial yang lebih kuat, hingga kecenderungan sekarang ketika Islam sangat dihubungkan dengan gaya hidup. Sementara itu, Intan Paramaditha mendiskusikan lebih jauh soal hubungan antara penampilan (appearance) dan praktik Islam di film-film masa kini. Intan melacak performativitas Islam, baik di layar kaca maupun pada pembuat-pembuat film yang diidentikkan dengan genre ini. Lalu, pada tulisan ketiga, Katinka van Heeren menganalisis Kantata Takwa (2008) dengan menyoroti bagaimana Islam masih sangat kuat sebagai bentuk perlawanan politik. Tiga tulisan ini sebenarnya bukan bahasan ‘baru’ dalam perbincangan seputar film di Indonesia. Namun, dengan fokus yang berbeda-beda, tetapi tetap mengacu pada film bergenre Islam, tiga esai tersebut beriringan memperkaya gambaran sinema Islam di Indonesia.

Sementara itu, setelah berkutat pada film-film genre Islam, pembaca seperti digiring pada pandangan oposisinya. Sebagai jurnal yang berfokus pada perkembangan-perkembangan baru satu dekade terakhir, tulisan-tulisan di dalamnya juga bermaksud untuk meletakkan film-film kontemporer dalam konteks historis dan sosialnya. Persoalan gender dan seksualitas merupakan diskursus yang muncul dalam tulisan berikutnya dalam jurnal ini, yakni dalam Queer Indonesia dan Sentralistis Keluarga Heteronormatif yang ditulis oleh Maimunah. Tulisan ini berusaha menggunakan teori queer untuk melihat representasi gay dan lesbian pada film-film Indonesia. Representasi ini terlihat jelas dalam film-film yang diproduksi oleh Kalyana Shira Productions, termasuk diantaranya yang terbaru, yakni At Stake (Pertaruhan, 2008).

Berikutnya, pembaca dihadapkan pada kemunculan film-film independen dan alternatif yang bekerja lintas jenis film, seperti film panjang, film pendek, documenter, dan iklan. Edwin merupakan satu contoh menonjol. Oleh karena itu, film-film Edwin disoroti khusus dalam jurnal ini melalui tulisan Khoo Gaik Cheng, yakni Menyoroti Film-film Edwin. Dikatakan oleh Khoo Gaik Cheng, seperti lampu yang berkedip, karya-karya Edwin, cacat maupun tidak, meminta perhatian. Tulisan ini memberikan cukup gambaran sekaligus contoh analisis bagi akademisi-akademisi maupun semua kalangan yang berniat membicarakan film dari sudut pandang penyutradaraan atau produsernya.

Masih dalam koridor film-film independen dan alternatif, tulisan berikutnya merambah pembicaraan tentang evaluasi dan pandangan tentang film-film dokumenter. Tulisan berikutnya berjudul Catatan dari Kursi Juri Festival Film Dokumenter: Wacana Film Dokumenter Independen Kontemporer oleh Budi Irawanto selaku juri dalam festival tersebut. Menurut Budi, menonton film-film documenter independen Indonesia seperti tengah memasuki labirin penuh dengan persoalan sosial dimana kebanyakan film dokumenter menggambarkan orang-orang yang terpinggirkan sebagai ‘yang lain’ dan berjarak, dibingkai dengan pandangan turistik dan dengan kecenderungan eksotisasi. Hal ini barangkali mencerminkan keengganan para pembuat film untuk mendekati subjek mereka secara intim. Pembicaraan seputar film dokumenter ini dirasa mengandung banyak potensi untuk memunculkan lebih banyak pertanyaan tentang kompleksitas masyarakat Indonesia yang sedang berubah.

Sementara itu, tulisan selanjutnya membahas tentang Hantu-hantu dalam Film Horor Indonesia oleh Veronika Kusumaryati dan Tiga Film Joko Anwar: Kebebasan Kreasi di Perfilman Indonesia Pasca-Soeharto oleh Nosa Normanda. Kemudian, pembicaraan dalam buku ini ditutup indah oleh tulisan pendek yang cukup dianggap baru, yakni Senarai Publikasi Berbahasa Inggris Seputar Sinema Indonesia yang ditulis Ekky Imanjaya.

Mau dibawa kemana film Indonesia di masa depan belumlah jelas. Para pembuat film dari spectrum yang berbeda menyetujui dan mengonsolidasikan energi mereka—baik mereka yang memiliki film-film seni yang ‘serius’ dan mereka yang memproduksi film komersial—untuk bersama-sama melawan UU film baru (UU No.33/1999, disahkan September 2009) yang dibuat tanpa konsultasi dengan produser, sutradara, dan pihak-pihak lain yang selama ini aktif di dunia perfilman Indonesia. Buku ini layak sebagai bacaan yang memantik wacana-wacana lanjutan seputar sinema-sinema Indonesia. (2012)

Senin, 11 Juli 2011

behind our first video

like a letter, that is the good letter when it finished..

or, this is:

Wkwkw..


a month ago in the middle of final exam, two girls who could be mentioned at @septiiws and @arinrsug intended to make a video that will be followed at a creative video competition xD

yeah, so obvious, we made it recklessly! it was the final exam! hosh, nothing but pouring our ideas before it lost, even though the result was not so special, wkwk

then, scripts were already, we looked for some actress and actor, but we had some problem here.

the main actor was so difficult to be called, maybe he was busy, hmm.. then we looked for the next stars and found them below:

@azaalkahf @indrikidiw @letdiedenker @danielfahm @haswintebe << thank you so much for you all, guys! :D

for @sulistyo_eko, maybe, next time we can be a teamplay, for the next great creation, of course! >D


hmm.. approximately, we have been finishing this ‘take’ for two days (exactly I forget..xD)

but, before that, we looked for the places that can be the venues for our video. With many consideration, the venues was in indrikidiw’s dorm, FIB UGM, gelanggang mahasiswa UGM, ‘nol kilometers’ of Yogyakarta, and in front of the Tampol (Taman Fisipol) UGM.

by the deadline, I had been editing this video with @letdiedenker in a hurry, so this video become a weird video. But, finally, we can finish it! This is ‘the point’, haha.

Then, I believe that an editor must be a great man/woman with the great creativity behind the scene of the great film.. Hahaha. LOL.

the last, just enjoy our (first) weird video! xD


but, I have one video which I like so much. This video also made by undergraduate students of UGM and it was followed at the same competition. Woah, this is a really good video. As a beginner, I love this work so much :*

Just open this link


that’s why I wanna study communication studies, although it’s not so simple like making video xD

PS: Yes, this is my first trial to make a blogpost in English, ehehe





Jumat, 20 Mei 2011

Di Balik Polemik Perpecahan


Judul : Tanah Air Beta
Tahun : Februari 2011
Penulis Skenario : Ari Sihasale, Nia Sihasale, Gunawan Rahardjo
Sutradara : T. Moty D. Setyanto
Produser : Ari Sihasale, Nia Sihasale
Pemain : Alexandra Gottardo, Asrul Dahlan, Yehuda Rumbindi, Griffit Patricia, Lukman Sardi, Ari Sihasale, Robby Tumewu, Thesa Kaunang, Marcel Raymond, Martalita Nadia
Jenis Film : Drama
Kategori : Remaja

Ketika pertama kali mendengar judul Tanah Air Beta, terbersit dalam benak bahwa film ini adalah film tentang nasionalisme dan sejenisnya. Penggunaan kata ganti ‘beta’ juga menunjukkan bahwa sebenarnya latar dalam film ini jelas bukan pulau Jawa yang tidak biasa menggunakan kata ganti ‘beta’. Jelaslah kiranya bahwa setting tempat di luar Jawa, yakni di sekitar Timor Barat (Propinsi Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur (Timor Leste).

Film ini meyoroti kehidupan warga Timor setelah Jajak Pendapat 30 Agustus 1999. Lebih dari 300.000 orang mengungsi dari Timor Timur ke Timor Barat. Konflik pelepasan diri Timor Timur dari Indonesia ini menyisakan kisah seputar perbatasan. Banyak anak-anak yang dipisahkan dari keluarganya, istri dari suaminya, guru dari muridnya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kisah seputar inilah yang diangkat menjadi permasalahan utama dalam film ini.

Seperti halnya film Denias yang juga besutan Alenia Productions, film Tanah Air Beta ini juga mengangkat aktor dan aktris pribumi Timor, yakni Yehuda Rumbindi (Carlo) dan Martalita Nadia (Merry kecil). Tentu saja, tidak semuanya dari kalangan pribumi Timor, tersebut juga Alexandra Gottardo (Tatiana) dan Asrul Dahlan (Abu Bakar) sebagai tokoh utama disamping Carlo dan Merry. Perjalanan tokoh-tokohnya hadir dalam latar Indonesia Timur dengan segala keadaan alamnya. Sebut saja ilalang, sabana, jalan berkelok-kelok naik-turun, gunung, dan lain sebagainya.

Film ini mengisahkan tentang seorang guru bernama Tatiana (Alexandra Gottardo) yang dipisahkan dari anaknya, bernama Mauro (Marcel Raymond) yang tertinggal di Timor Timur. Sementara di Timor Barat, ia tinggal bersama anak perempuannya, Merry (Griffit Patricia). Segala usaha ia lakukan untuk bertemu anaknya. Merry pun sangat rindu dengan kakaknya. Hingga pada suatu hari, Merry pergi sendiri ke daerah perbatasan hanya untuk mencari kakaknya. Carlo, teman Merry, menyusul Merry yang belum begitu jauh dan membujuknya agar pulang. Namun, Merry tak mau. Kemudian, mereka bertualang bersama untuk mencapai daerah perbatasan yang sangat jauh dari tempat tinggalnya.

Selain jalan cerita yang sederhana tapi mengena, Tanah Air Beta juga mengangkat profesi-profesi penting di daerah pedalaman, seperti Timor. Sosok guru, dokter, petugas keamanan perbatasan diperlihatkan sangat mengambil peran penting. Sosok guru Tatiana yang dipanggil ‘mama guru’ oleh murid-muridnya menjadi sosok yang dihormati dan diharapkan kedatangannya. Sosok dokter seperti dokter Joseph pun tak kalah penting perannya, beberapa fragmen mengisahkan bahwa kesehatan adalah hal yang sangat penting dan dokter masih minim sekali. Para petugas keamanan perbatasan digambarkan sebagai kawanan yang sadis dan bisa menembak sewaktu-waktu. Hal ini mengisyratkan adanya ketegasan pada hal-hal yang menyangkut ‘perbatasan’.

Sejauh ini, dianggap bahwa film Tanah Air Beta ini menarik karena mengisahkan tentang kehidupan diantara perbatasan. Film ini juga mengisyaratkan adanya kesusahan-kesusahan yang terjadi akibat polemik kenasionalan, tentang bagaimana anak yang menderita karena dipisahkan dari keluarganya, tentang anak yang sangat rindu dengan kakaknya, dan lain sebagainya. Film ini memberikan referensi bahwa ada fakta-fakta dan kehidupan lain di sana yang jauh dari kenyamanan. Secara kasat mata, film ini dinilai mampu membangun semangat persudaraan, persahabatan, kekeluargaan, dan cinta tanah air. Betapa perpisahan juga bisa menjadi sebuah tragedi, apalagi yang menyangkut perpisahan antara dua Negara. Semangat persatuan dan kesatuan senantiasa yang menjadi renungan dalam film berdurasi 94 menit ini. [AR]

Minggu, 15 Mei 2011

Kartini = Yang Mampu ‘Keluar’ dari Biasa


Bagi saya, saat ini, R.A. Kartini hanyalah simbol, simbol wanita pejuang pendidikan dan kesetaraan. Memang, perjuangan R.A. Kartini dapat dikatakan ‘keluar’ dari kebanyakan wanita pada masanya, para wanita Indonesia patut berterima kasih atas jasa-jasanya ‘memerdekakan’ sesamanya. Namun, untuk konteks saat ini, dimana era globalisasi menuntut keterbukaan akses informasi dan komunikasi yang tak terbatas, Kartini haruslah beda dan lebih dari sekadar pengentasan buta aksara. Kartini yang dapat bersaing sesuai dengan tuntutan jaman, tapi tak harus terseret arus :)

Baiklah, bertolak dari pertimbangan bahwa semangat paling besar dan paling berpengaruh adalah semangat yang datang dari diri sendiri, izinkan saya bernarsis ria dengan semua ini :D

Kartini Muda bagi saya adalah jiwa dan raga saya sendiri. Hehe. Upaya ini bukan untuk meninggikan diri atau malah bersombong ria, ini hanya wujud kepercayaan diri sebagai anak pertama seorang petani dengan mantan guru SD dan sebagai kakak dari tiga perempuan-perempuan kecil :)

Namun, keluar dari itu semua, Kartini kali ini justru hadir karena Kartini-Kartini yang lain, empat Kartini yang sangat menyita hidup saya, yakni R.A. Kartini, ibu saya, dan tiga adik perempuan saya. Kartini kali ini tidaklah hadir karena kekosongan, Kawan! :D

Beranjak pada konsep Kartini, bagi saya, menjadi Kartini ‘kali ini’ berarti sebuah upaya melawan stereotipe, melawan ‘yang biasa’. Sejauh mata ini memandang, globalisasi sangat berpotensi membangun stereotipe-stereotipe baru yang justru cenderung dangkal dan praktis. Sebut saja, budaya hedonis di kalangan remaja, trend pakaian, dan aspek-aspek gaya hidup lain yang begitu gampangnya masuk dan diterima oleh otak-otak bangsa Indonesia. Apalagi, perempuan menjadi lahan yang sangat basah :)

Maka, saya memilih menjadi ‘keluar’ dari yang biasa, ‘keluar’ dari yang stereotipe, demi masuk ke ruangan selanjutnya yang lebih konsisten dan konsekuen.

Konkretnya?

Tuhan memberi saya rasa malu untuk mengikuti tren pakaian hingga tren kawat gigi :D hingga saya hadir dalam pribadi ‘yang sederhana’ dengan kemeja, kaos, dan jeans. Tuhan pula yang memberi saya semangat untuk kuliah di luar propinsi walaupun di desa saya, hanya dua orang yang mengenyam pendidikan tinggi.

Ibu memberi saya wejangan tentang malunya seorang wanita hingga (syukurlah) saya bukan remaja dengan pergaulan yang sangat bebas hingga melewati batas-batas agama walaupun budaya tersebut bukan barang aneh lagi. Ibu saya pun yang memberi tauladan sebagai seorang wanita yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan ‘semampunya’ hingga saya tak pernah malu mengendarai sepeda onthel setiap kali berangkat ke kampus atau berangkat mengajar, walaupun mayoritas teman-teman saya memilih motor atau mobil.
Selain itu, wanita yang ‘keluar’ dari biasa adalah wanita yang rela merasakan memungut rupiah sebelum masanya. Ya, itulah yang kulakukan saat ini. Demi pengalaman dan tambahan pemasukan, saya menjalani sebagai guru privat Bahasa Indonesia di sebuah lembaga bimbingan belajar di Yogyakarta. Bagi saya, ada sensasi tersendiri berhubungan dengan murid-murid dan transfer ilmu yang dimiliki demi meyakini bahwa ini adalah pengabdian bagi bidang ilmu saya.

Tak hanya itu, Kartini ‘saat ini’ adalah wanita yang berani ‘keluar’ dari stereotipe, yang lebih memilih melakukan penelitian-penelitian daripada hunting pakaian dan barang-barang kewanitaan di mall atau swalayan. Baiklah, saya bisa melakukan ini juga karena Kartini yang lain, yakni adik-adik perempuan saya. Bagi saya, melihat senyum mereka karena kubawakan buku bacaan dan alat-alat tulis seadanya lebih bernilai dan lebih membahagiakan daripada sekedar mempercantik http://www.blogger.com/img/blank.gifdiri dengan barang-barang kewanitaan yang harusnya bisa saya manage nanti ketika punya penghasilan pribadi. Selain itu, mereka inilah yang membawa saya pada juara Kompetisi Penulisan Untuk Bangsa dan Negara di UGM dan juga menggiring saya pada salah satu peraih Hibah Penelitian, hanya karena senyum mereka. :)

Singkatnya, menjadi Kartini Muda saat ini adalah menjadi wanita yang mampu ‘keluar’ dari stereotipe, ‘keluar’ dari biasa, atau mampu melawan ‘biasa’. Namun, Kartini hadir bukan beranjak dari kekosongan, Kartini hadir karena Kartini-Kartini yang lain atau malah Kartono-Kartono pula. Semoga timbul Kartini-Kartini selanjutnya yang menjalani, berprestasi, dan menginspirasi :)

*) Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba Kartini Muda Honda 2011.

Rabu, 11 Mei 2011

Pranyoto: Berdayakan Nasionalisme yang Realistis Sejak dalam Diri


Suasana pelataran belakang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siang itu (16/3) terlihat lengang dengan beberapa pekerja sedang menyapu reruntuhan dedaunan yang berserak. Beberapa staf mulai berjalan kearah pintu keluar, rupanya jam aktif Museum Kareta telah habis. Tampak seorang abdi dalem mengucapkan semacam doa lalu membunyikan lonceng sebanyak dua kali.

Penulis berjalan pelan mendekati bapak abdi dalem tersebut. Lantas, penulis pun dibawa ke tempat berkumpulnya para abdi dalem. Sepertinya mereka sedang rehat sejenak sebelum melaksanakan amanah selanjutnya. Sambutan hangat a la warga Yogyakarta memulai segmen keakraban kami. Ketika menyatakan maksud kedatangan, penulis dihadapkan pada lelaki tua yang tampak enerjik dengan uban di seluruh rambut kepalanya.

Beliau adalah Mas Kliwon Pranyoto Pawoko, seorang abdi dalem yang telah mengabdi sejak tahun 1984. Karena sedang rehat, beliau mengaku tak memakai pakaian dinasnya—semacam beskap, sarung, dan blankon. Lelaki bernama asal Sugya Pranyoto ini sangat antusias ketika saya lontarkan topik penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mata berbinar-binar, beliau memulai argumentasi dengan bercerita tentang sejarah Yogyakarta dan Indonesia. Beliau bertutur bahwa sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta telah menjadi Negara tersendiri dan diakui. “Republik Indonesia ini sebenarnya pernah dipelihara oleh Jogja. Ini betul, bukan ngarang,” tukasnya sembari menghisap setangkai rokok di buku-buku jarinya. “Kekayaan Jogja itu diincar pusat dan mereka kurang tahu sejarah. Oleh karenanya, ada konflik semacam ini,” tambah lelaki asal Yogyakarta ini.

Ketika ditanya masalah nasionalisme yang luntur pasca konflik penetapan DIY, bapak berkaos biru ini berpendapat bahwa cinta tanah air itu tidak harus dengan menuruti segala kemauan yang Negara dicintai. “Yang namanya cinta itu, menurut dalang Parmo almarhum, harus diikuti kasih dan sayang. Jadi, harus memberi dan ngeman, bukan menuruti semua kemauannya,” ujarnya sembari menyeruput segelas kopi hingga habis. Menurutnya, nasionalisme bangsa Indonesia harus realistis, bukan lantas membutakan diri dari segala kenyataan yang ada. “Sampai Negara pun, kalau memang salah, akan saya tunjukkan. Kebenaran itu hanya Tuhan yang punya. Hal ini dimulai dari diri saya sendiri,” tambahnya dengan berapi-api.

Untuk menjelaskan perihal ini, abdi dalem yang mengaku lupa tahun lahirnya ini menganalogikan persoalan ini dengan agama. “Islam itu kan mengajarkan sesama muslim, kalau ada yang didzolimi itu harus dibela. Kalau sesama muslim mendzolimi, harus dibina, bukannya disingkirkan. Nah, kalau kemudian pemerintah itu mau mendzolimi, kita harus membina,” tuturnya. Meskipun begitu, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko tetap mempertahankan konsep imam dan makmum mengingat posisinya sebagai abdi dalem yang berada di bawah raja.

Sikap nasionalisme yang realistis ini ia tanamkan sejak dalam dirinya dan keluarganya sejak lama. “Argumen saya ini bukan tanpa alasan, saya mengikuti alur Negara ini sudah sejak lama. Abdi dalem jangan melulu dilihat sebagai yang awam,” kata bapak empat anak ini.

Sesuatu yang istimewa adalah ketika ditanya seputar ke-abdidalem-an di Keraton Ngayogyakarta, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko mengaku bahwa ia benar-benar mengabdi untuk rakyat dan Negara. Ia pun mengatakan bahwa menjadi abdi dalem adalah sebuah pilihan hidup. “Di sini saya bisa men-charge otak dan pikiran, disamping mengharap berkah. Tidak ada yang tidak berguna yang saya lakukan di sini,” tambahnya.

Langit mulai mendung ketika penulis mengajukan pamit. Kembali salam hangat mengiringi perpisahan kami. “Kalangan akademik hendaknya tidak bersikap apatis terhadap fenomena sosial,” tutupnya sembari menyalami penulis. Ironis, abdi dalem yang telah 27 tahun mengabdi dan telah setua itu saja masih mempunyai perhatian besar terhadap bangsa dan Negara, bagaimana dengan generasi muda Indonesia. Mari memikirkan!

Dunia akan Tetap Hancur pada Waktunya


Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau


Salah satu bait lagu Manusia Setengah Dewa milik Iwan Fals ini seakan menggaung-gaung di telinga saya ketika mencuat berita tentang Arifinto, seorang anggota parlemen, yang tertangkap basah sedang menikmati video porno saat sidang paripurna pembangunan gedung baru. Bagaimana tidak, kalau mau ditilik, tidak hanya saat ini fenomena tersebut terjadi. Tahun 2009 lalu, gejala semacam ini sudah mencuat dimana para pejabat mengumbar pornografi pornoaksi dalam sidang. Tercatat dalam majalah Tempo edisi 3835 19-25 Oktober 2009, dalam rubrik opini, dipaparkan bahwa rekaman pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum Cirus Sinaga terhadap Antasari menunjukkan adanya pembacaan dakwaan seperti deskripsi sebuah film dewasa alias porno. Kisah yang dibacakan itu adalah pertemuan dua kali antara Rhani Juliani, salah satu istri Nasrudin Zulkarnain, dan Antasari di kamar 803 Hotel Grand Mahakam.

Fenomena ‘pariporno’ tersebut cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar mengingat kecenderungan manusia menyukai hal-hal biologis urusan pria wanita. Sebelum mengupas lepas analisis dalam esai ini, perlu dipaparkan bahwa tulisan ini tidak akan membicarakan hal moral dan akhlak, justru membicarakan betapa sederhananya kasus di atas yang telah menyita perhatian banyak orang sehingga kasus yang berkaitan dengan perut, aturan, dan kelangsungan hidup seakan terkubur diam-diam.

Berdasarkan pengalaman menonton DVD “Sejarah Pornografi dan Pornoaksi” yang dibuat oleh Harun Yahya, pornografi dan pornoaksi sejatinya telah ada kurang lebih sejak 3000 SM. Bahkan, pornografi dan pornoaksi yang terjadi masa lalu lebih parah dan lebih keji. Hal ini disebabkan keprcayaan terhadap mitos-mitos. Pada peradaban mesir kuno yang berlangsung pada 3000 SM di Afrika Utara, mereka percaya mitos bahwa seks merupakan cara dewa untuk menjaga dunia ini tetap hidup, maka itu ukiran-ukiran patung pada zaman ini banyak yang melambangkan pornografi seperti ukiran wanita tanpa penutup dada dan ada juga simbol seseorang yang sedang melakukan masturbasi di tempat umum. Di zaman ini juga terjadi hubungan incest, yaitu hubungan dengan saudaranya sendiri, demi mempertahankan kekuasaannya. Selanjutnya, pada peradaban Yahudi yang muncul pada 1200 SM, kaum yang hidup di zaman ini berpikiran sebaliknya, bahwa rasa malu pada tubuh yang bertelanjang adalah benar dan alami. Namun, keyakinan ini akhirnya pudar seiring meninggalnya dua utusan Tuhan, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Daud AS. Pada peradaban India kuno yang ada pada 1000 SM di daerah Khajuraho, India Utara, terdapat kuil-kuil yang berukiran wanita telanjang dan ukiran yang menggambarkan sedang melakukan seks. Bahkan, di dalam kuil tersebut, terdapat suatu patung yang menggambarkan alat kelamin laki yang di beri nama Palus yang kemudian di kenal dengan Dewa Syiwa.
Pada zaman Yunani kuno, perilaku seks semakin tak terkendali. Dimana-mana terdapat tempat pelancuran. Bagi mereka, nafsu seks harus di penuhi sepuas-puasnya. Homoseksual pada masa ini sangat dominan sehingga banyak lukisan yang menggambarkan hubungan seks antar pria baik dengan yang sebaya maupun dengan anak laki-laki. Peradaban ini juga memandang cinta dan seks adalah sesuatu yang terpisah, istri mereka di kurung dalam rumah dan mereka mendapatkan kepuasaan seks dari budak.

Sementara itu, pada peradaban Romawi kuno, pornografi, seks bebas, dan erotisme merajalela hampir di semua tempat. Terdapat pula ukiran marmer yang menjadi simbol Dewa Pan, ukiran ini menggambarkan seseorang yang sedang melakukan hubungan seks dengan binatang. Kepercayaan terhadap patung ini menimbulkan ritual Hipertalia yang pada zaman Kristen berubah menjadi Valentine’s Day. Tahun 78 SM, gunung Fisufius meletus dan dengan letusannya itu Allah SWT mengeraskan tubuh semua penduduk Pompei seperti batu.

Catatan dalam sejarah pornografi dan pornoaksi tersebut menunjukkan betapa dunia sangat ramai dengan kasus berbau lacur. Sejak lahir pun manusia telah disibukkan dengan hal semacam itu. Ketika pornoaksi dan pornografi dikaitkan dengan masalah moralitas, teringat oleh saya tentang paparan Kohlberg (1976) yang menggambarkan tiga tingkatan moralitas. Moralitas yang dikaitkan dengan perspektif sosial tersebut, meliputi: (1) preconventional, (2) conventional, dan (3) post conventional atau principled. Pada tingkat preconventional, (tingkatan moralitas yang paling rendah) perspektif sosial moralitas seseorang menunjukkan bahwa dirinya merupakan individu yang konkret. Oleh karena itu, perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat moralitas ini. Dalam tingkatan moralitas ini kita sering menjumpai perilaku seseorang dengan penalaran yang menunjukkan perspektif sosial. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif yang kemudian mencerminkan suatu moralitas bangsa.

Jika membaca dua hal di atas, yakni sejarah pornografi pornoaksi dan klasifikasi moralitas, masyarakat Indonesia seakan dibawa ke muka cermin. Betapa pornoaksi pornografi ini adalah hal yang lumrah selagi hanya berhubungan dengan pribadi masing-masing dan tidak merugikan kepentingan banyak orang. Tentu, saya bukan berniat menghalalkan tindakan Cirus Sinaga dan Arifinto. Hanya saja, moralitas bangsa Indonesia masih dalam tahap preconventional sehingga cenderung suka membicarakan hal-hal yang resiprokal dan pribadi macam ini. Sebagai umat beragama, saya tentu menolak tindakan Arifinto dan mendambakan segala sesuatu wajar dan berjalan di jalan yang lurus.

Indonesia ini telah dibangun berdasar pada kepribadian bangsa yang sangat halus dan beradab. Tengok saja Pancasila yang sangat beradab, mengandung nilai-nilai luhur, dan mengacu pada kepentingan masyarakat. Hanya saja, kadang-kadang implementasi kurang teliti sehingga urusan remeh-temeh dibesar-besarkan seakan dunia akan hancur akibat pornografi pornoaksi. Padahal, dunia akan tetap hancur pada waktunya.

Teringat oleh saya perkataan Anies Baswedan yang dikecam habis-habisan pada 13 Januari 2011 di situs detik.com. Anies mengemukakan bahwa ‘lebih baik mengurusi pajak RIM daripada pornografi’. Pernyataan tersebut diklaim tak agamis, materialistis, sekuler, dan sebagainya. Pasalnya, hal tersebut justru membuka mata bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang termarginalkan oleh kasus-kasus remeh-temeh hingga kasus ekonomi, hukum, HAM, dan lain sebagainya mangkrak tidak jelas jluntrungannya. Agaknya, sebagai warga Negara dan pribadi yang berbangsa, setidaknya kemampuan memilah yang primer, sekunder, dan tersier perlu diasah setajam tuntutan zaman.

Senin, 21 Maret 2011

Sejengkal Siluet setelah Senja bersama Dua Bandit Kartini


“Aku pengen ada yang menulis tentang kita.”
“Iyaaa… Kamu dong.”

“zzzzz… wong liyo wae. Nek kita mah enek subjektif2 e.”

“Pengen ada yang diam-diam mengamati kita, hehee.. menuliskan atau memfilmkan xD”

***

Obrolan itu mungkin telah terjadi lebih dari tiga kali, dengan oknum-oknum yang sama, tapi subjek yang berbeda. Mungkin ini juga efek dari generasi who got in the movie. Untuk itu, izinkan aku sedikit mengabadikan satu fragmen ya, daripada cuma sekedar jadi angan—yang kalau dibiarkan begitu saja akan cepat menguap dan lenyap. Urusan subjektif atau tidaknya, belakangan lahh. Oke? xD

Hari Minggu di bulan Maret, menjelang senja, sekitar pukul 17.00 WIB.
Aku bersama dua bandit yang usianya mau beranjak jadi 20 tahun itu gowes dari kos ke swalayan dekat warung pempek. Sebenarnya, perjalanan ini bukan tanpa alasan atau Cuma rea reo saja. Saya yang pengen banget keluar karena persediaan kebutuhan-kebutuhan vital sudah wafat tak tersisa. Sementara itu, teman hidupku—Bandit Pertama—yang terkenal kecil sekecil bisul itu sih cuma ikut-ikutan, entah sebenarnya tujuannya mau apa, haha xD.

Sedangkan, teman hidupku yang lain—Bandit Kedua—yang tergolong paling gede diantara kami itu kupikir masih punya tujuan yang sama denganku, belanja kebutuhan pokok! Disamping juga pengen pempek dan es krim :D

Dengan menunggangi kendaraan pusaka kami yang tiada duanya dan merupakan satu-satunya harta benda (lumayan) bergharga milik kami di Jogja, kami meluncur menyusuri jalan sambil sesekali memainkan laju kerja sepeda onthel kami. Khusus Bandit Pertama, posisinya paling sering di depan, secara pit-nya masih GRESS.. wkwk.. Lalu, disusul Bandit Kedua. Dan di posisi terakhir, saya dengan sepeda paling tua :D Wusss… Gowes. Gowess..

Dipercepat saja ya ceritanya…. xD

Sekitar pukul 19.30 WIB kami selesai belanja, ibadah, makan pempek, dan beli es krim. Semua rencana sudah terkover, tinggal satu yang belum, KAMI BELUM MAKAN ES KRIM! Lantas, saya nawarkan ide untuk makan es krim di bunderan UGM sembari menikmati malam dan menonton mas-mas yang unjuk gigi pakai sepeda fixie. Apik to sepedane, pengen njajal..! Bandit kedua dan saya :mupeng: sekali, tapi Bandit pertama justru bilang, “Ah, kui ki cuma nggo gaya-gaya’an tho?”

Okelah, kamu mungkin agak benar Cinta, tapi kami cuma pengen njajal, njuk lampune ki apik e, lap..lap.. trus cara ngerem’e piye toh. ---Okeh? :D

Lanjut.

Kami memilih tempat di bunderan sisi barat. Hmm.. lumayan banyak yang lagi berdua-duaan. Ada juga yang berkelompok, ntah ngapain. Lantas, ada satu mbak-mbak yang lagi sendirian menghadap ke tulisan UNIVERSITAS GADJAH MADA yang gede-gede itu. Busananya hot pants, kaus hitam, sandal. Berkali-kali melihat jam tangan dengan muka pias, layu. Mbaknya cantik sih, tapi terlihat sedang menunggu. Sepertinya, sudah menunggu lama, tapi yang ditunggu belum juga tampak. Pemandangannya semacam adegan di sinetron-sinetron Indonesia begitu lahh...

Bandit Kedua : “yooh.. mbak e mesakne. Wajahe i lho..”
Bandit Pertama : “kui kii.. pacare lagi karo pacar sing liyanee…”
Aku : “ndi tho?” **celingak-celinguk** “Eh hooh, haduh mesakne. Dewean diantara banyak pasangan.”
Bandit pertama : “Jane sing mesakne ki mbak’e opo kita yoh??” (backsound: toeeeiiingggg…)
Bandit kedua & Aku : (tertawa ngakak campur getir,wkwk)


Ini intinya. Hadehh.. Mesakne mbak’e lah.. Aku emoh dimelas-melasne, wkwk…

Pernyataan barusan benar2 dari hati lho. Yahh..secara, saya bersyukur punya teman sebanyak ini. Bahkan, tergolong jarang merasa kesepian saat malam sabtu atau malam minggu, kalau galau-nya jelas masih jalan laa.. :D Paling-paling jurusnya menghabiskan waktu dengan dua bandit yang telah tersebut di atas, dan kawan-kawannya.

Sedikit banyak terbesit syukur dan manfaat atas kesedirian yang membawa kita pada ‘koloni’ ini. Kalaupun saya punya pacar di Jogja, bukan berarti akan lebih baik dari ini semua. Bisa-bisa malah tercebur ke lembah UGM, Astaghfirullah xD

Bersepeda sekedar menyegarkan pikiran, makan pempek dan es krim sama-sama, diskusi ilmiah sampai diskusi saru, saling olok, atau sekedar guyon a la OVJ di kamar kos, ini semua terasa lebih bernilai daripada harus memaksakan mengikuti ‘zaman’.

Jadi ingat, kakak kosku yang lumayan akrab juga, alias kakaknya si Bandit pertama pernah guyon-guyon ke aku: “Makane Riinn.. duwe pacar. Ben ono sing ngeterne kesana-kemari nek meh lungo adoh2. Ono ojek’e.”

Hahahaha… Hiyaa, saya masih percaya ada yang sudah menunggu saya di sana kok, dan saya juga tengah menunggunya. Yang jelas, ia bukan sekadar tukang OJEK! :)

Kami percaya bahwa kami semua punya pangeran sendiri-sendiri, Saudara.. Entah kapan kami dipertemukan. Kupikir semua wanita begitu. Dan kami memilih : Tidak harus yang seperti di bunderan itu. Tidak harus juga kami dijemput kesana-kemari.

Aku pun percaya, bandit pertama dan bandit kedua adalah perempuan-perempuan yang tangguh, super romantis, dan taat beribadah. Wkwk.. Mereka tahu benar bagaimana memperlakukan siapapun dan apapun yang dicintainya. Dan aku berharap, kalian menularkan itu padaku Kawan! :D

***

Sudah. Sejengkal saja ya.. Yang sedepa ataupun lebih, nanti dulu, ditabung dulu. Belum waktunya meledak! Haha.

Sekali lagi, tulisan ini cuma catatan kecil sebagai wujud khawatirku kalau-kalau memori ini menguap geliatnya untuk ditulis. Kalaupun tulisan ini norak, cupu, subjektif, ambigu, rasis, tak tepat waktu, atau apa lah.. itu bisa diperbaiki nanti. Yang terpenting, aku cuma menuliskan rasa syukur. (Ah, aku yakin, bandit-bandit itu seneng karena sudah eksis! Haha :P)

Penasaran oknumnya?

Ini oknum I (Bandit Pertama tampak samping) :

Ini Oknum II (Bandit Kedua tampak samping) :

Ada waktu untuk kita bertemu.
Ada waktu untuk kita sekedar dipisahkan sementara.
Tak perlu bicara cinta dan kasih sayang kita seluas lapangan basket luar angkasa,
Toh Tuan Hati dan Profesor Pikiran lebih paham dari Ibu Lidah yang sering bergoyang.

Peluk dan cium dari hati untuk Kalian dan Kau yang nun jauh di sana.


Done at 23:39 WIB 20’03’11


Rabu, 16 Maret 2011

Jangan Main-main dengan Film (Indonesia) !


Industri perfilman Indonesia boleh jadi telah mengantongi sejarah panjang. Usianya pun sudah tak pantas dikatakan muda. Diawali dengan film berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang dianggap sebagai film paling tua di Indonesia hingga film sebangsa Catatan Si Boy dan Blok M pada dekade 1970-an sampai 1980-an yang sempat membawa film Indonesia berjaya di negeri sendiri. Setelah itu, wajah perfilman Indonesia sempat suram pada tahun 1990-an oleh karena usaha eksploitasi konsumen yang dilakukan oleh para sineas pada masanya. Namun, pada kisaran abad baru, muncul geliat positif dari sineas-sineas Indonesia yang menelurkan film-film inspiratif dan inovatif semacam Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, dan sebagainya. Fluktuatif!

Sementara itu, pada perkembangan selanjutnya, film-film Indonesia juga sempat diwarnai dengan film bergenre horror, seks, atau horror bernuansa seks, dan sebaliknya. Fenomena ini sempat mengundang beragam respons dari masyarakat Indonesia, dari yang menikmati, jenuh, sampai yang antipati. Selanjutnya, menyikapi kejenuhan masyarakat Indonesia, beberapa sineas lain mulai memproduksi film yang tak sekedar dipandang sebagai movies, tapi juga sebagai film dan sinema hingga muncullah film bernada edukasi dengan sinematografi yang bisa dibilang tidak asal-asalan. Sebut saja film Laskar Pelangi, Ruma Maida, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan lain-lain yang sempat memberi warna lain dalam perkembangan film Indonesia.

Sejatinya, telah dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Beberapa hal ini diperkuat oleh James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Movies memandang film hanya sebagai barang dagangan. Sinema memandaing film dari segi sinematografinya, dan sisanya dipandang dari segi pendidikan dan budayanya.

Beralih pada perkembangan industri film Indonesia, akhir-akhir ini, muncul kabar bahwa Motion Picture Association of America (MPAA) atau asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Hal ini merupakan reaksi keras atas dilayangkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor. Dalam surat edaran itu, dinyatakan bahwa penghasilan yang dibayarkan keluar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu, merupakan royalti yang dikenakan PPh 20 persen. Peraturan tersebut merupakan hasil penafsiran baru atas undang-undang dan peraturan tentang pajak bea masuk yang lama. Dengan pajak yang boleh dibilang sangat tinggi itu, jelas MPAA menjadi enggan beroperasi di Indonesia walaupun dalih penaikan pajak itu, seperti yang diberitakan media, adalah dalam upaya mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik.

Respons keras MPAA tersebut bisa jadi mengundang pihak distributor film non-Hollywood untuk ikut serta tidak mengedarkan filmnya ke Indonesia lantaran pajak ini berlaku untuk semua film impor. Apa jadinya Indonesia tanpa film-film impor yang pada kenyataannya justeru film-film inilah yang memenuhi jagat bioskop-bioskop Indonesia dan menjadi satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk datang ke exhibitor (bioskop-bioskop). Ironis memang, film nasional justru menjadi pilihan keberapa setelah film-film impor. Namun, fenomena ini agaknya jangan dianalisis dari satu sudut. Kecenderungan masyarakat Indonesia lebih memilih film impor bisa jadi karena kejenuhannya pada film-film nasional yang kebanyakan hanya memuat tema ‘itu-itu saja’, pesan dan amanatnya juga tidak jauh-jauh dari ‘semoga film ini laku dipasaran’. Analisis ini memunculkan pertanyaan, apa benar pengenaan pajak dan bea impor ini—yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop—akan meningkatkan jumlah dan kualitas film nasional?

Secara awam, pikir saja, kalau pola pikir para sineas Indonesia hanya sebatas ‘semoga film ini laku di pasaran’, tanpa mempertimbangkan pesan dan dampak yang terjadi pada masyarakat jika terus-menerus dicekoki film kualitas pas-pasan yang mudah bikin jenuh, masyarakat Indonesia akan semakin meninggalkan bioskop dan film Indonesia. Mereka akan cari cara cerdas untuk mendapatkan film luar demi memuaskan hasrat nonton film yang sesuai kebutuhan dan kemauan mereka.

Sementara itu, masyarakat Indonesia yang mentalnya terima-terima saja dicekoki film dangkal itu, lambat laun akan terpengaruh juga pola pikirnya. Kalau Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sudah tergolong tinggi dan mumpuni, ini tak jadi masalah lantaran mereka sudah bisa memilih, memilah, dan menyikapi. Namun, coba tengok masyarakat di belahan Indonesia lain yang masih butuh pengawasan dan pendampingan, berapa persen masyarakat Indonesia yang masih buta huruf, berapa persen masyarakat Indonesia yang belum disentuh pendidikan. Kalangan-kalangan tersebut yang akan berpotensi menjadi bebal oleh film-film Indonesia yang minim pesan. Bagaimanapun juga, yang terlihat itu akan lebih mudah diingat. Kalau begitu, kapan cita-cita Indonesia mencerdaskan kehiadupan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia seutuhnya dan seluruhnya berhasil.

Tak hanya berhenti sampai sineas dan pemirsa, dukungan pemerintah juga penting untuk mencipta film Indonesia yang berkualitas. Pemerintah tidak cuma menaikkan pajak untuk meningkatkan APBN, tapi juga memanfaatkannya untuk pemberian subsidi bagi sineas-sineas berprestasi, mengembangkan sekolah-sekolah film, dan memberikan perhatian pada elemen-elemen lain yang mendukung perfilman nasional, semacam festival-festival atau penganugerahan film. Dari sini, timbullah sinergi yang kuat.

Polemik seputar perpajakan film ini, baik langsung maupun tidak, akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perfilman Indonesia. Oleh karenanya, kita tunggu saja. Pasalnya, seperti diberitakan media, 30 Maret 2011 mendatang Jero Wacik beserta jajarannya akan mengumumkan hasil keputusan terkait pajak film nasional dan impor. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa film adalah cerminan budaya suatu bangsa, maka apapun keputusannya, membuat film kualitas rendah dan minim pesan berpotensi membuat masyarakat Indonesia jadi bebal. Mari renungkan.


14 Maret 2011

Tentang Hidup Korban PKI dan Seksualitasnya


Judul : Blues Merbabu
Pengarang : Gitanyali
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : Februari 2011
Tebal : vi + 186 halaman
Genre : Novel
ISBN : 978-979-91-0315-4
Harga : Rp 40.000,-


Sebagai Negara yang diperjuangkan dan lahir 65 tahun yang lalu, asam garam sejarah Indonesia bolehlah dikatakan telah bermacam ragam. Mulai dari perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga luka sejarah di sekitaran 1960-an. Peristiwa yang disebut terakhir itu masih cenderung gelap karena kesamaran bukti-bukti kesejarahannya. Sebut saja nasib para lakon PKI (Partai Komunis Indonesia) dan antek-anteknya yang hingga kini masih belum terungkap secara gamblang laiknya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

Blues Merbabu mencoba menyorot kehidupan salah seorang lakon PKI dan keluarganya dari sisi yang polos dan tak banyak mencaci penguasa saat itu. Pusatnya pada tokoh bernama Gitanyali Singayuda, anak dari Sutanto Singayuda, seorang lakon PKI yang sangat gigih, berkarakter, dan sangat mengutamakan pendidikan. Tak heran ketika melihat Gitanyali semasa masih bocah telah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tegas. Gitanyali merasa sangat menyatu dengan tanah kelahirannya, di lembah Gunung Merbabu.

Kesamaan nama antara pengarang dan tokoh utama menyiratkan kesan bahwa novel ini adalah semacam catatan harian sang pengarang. Bahkan, dituliskan pula, dalam kisahnya ia mengaku sangat gemar menulis catatan harian. Sebagai anak PKI yang orang tuanya diciduk pada sekitaran 1960-an, Gitanyali dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Segala kesialan dan nasib yang terpaksa tidak beruntung sebagai anak PKI ia hadapi dengan bertahan, bukan melawan. Ia menyebut perjuangannya menyikapi kehidupannya dengan suloyo.

Suloyo diartikan sebagai ‘mengingkari’, tidak akan memenuhi janji, menidakkan, meski di luar kelihatannya mengiyakan. Gitanyali pun menyadari bahwa mungkin ini adalah dorongan bersikap bagi orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Melalui gambaran ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sang tokoh bertindak seolah tidak ada apa-apa dalam kehidupan masa lalunya walaupun sebenarnya ia suloyo. Kekecewaan yang dirasakan Gitanyali sebagai anak PKI tidak ia gubris sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Bahkan, ia tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dalam hidupnya, ia telanjur menjalani apa yang ia jalani. Mungkin di sinilah daya tarik novel ini, ketegaran sikap seorang anak PKI.

Karakteristik Blues Merbabu adalah pada gaya penceritaan yang polos, lugas, dan tidak menggebu-gebu walaupun banyak sekali scene tentang petualangan seksual sang tokoh. Di buku ini juga banyak ditemui kisah-kisah pergaulan anak muda. Dari soal musik, film, sampai ke Mushroom Omelette yang memabukkan. Ia mampu mengkover yang vulgar dan panas menjadi sesuatu yang lazim dan normal. Ia menulisnya dengan mengalir, santai, angkuh, dan tak ada sedu sedan. Tak berlebihan bila dikatakan, di sinilah kekuatannya hingga dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa tak hanya seks belaka yang dieksplorasi, kekuatan karakter tokoh utamanya menggiring pembaca untuk ikut larut di dalamnya.

Novel ini tak dilengkapi keterangan latar belakang penulis seperti novel-novel lain meskipun karya ini adalah novel pertama Gitanyali. Entah apa yang menjadi latar belakang hal tersebut, entah untuk kepentingan politis atau kepentingan diplomatis. Tanpa berniat melebih-lebihkan, novel belatarbelakang sejarah ini cukup sempurna sebagai sebuah karya hasil transkripsi luka sejarah di era 1960-an. Pengaburan identitas penulis ini juga menguatkan adanya efek-efek kenyataan atau realitas. Sesuai diktum hiper-realitas yang dituliskan Gitanyali di bagian awal novelnya, “…semua yang ditulis ini benar adanya, kecuali bahwa dia sebuah kenyataan.”

Buat Para 'Tukang Naik Busway'


Buat para tukang naik busway, setiap momen dalam shelter adalah jeda sebelum sampai pada perjalanan selanjutnya. Bisa jadi hanya dalam shelter itulah, organ paling bawah manusia yang menempel di bumi bergeming. Sebelum ia beranjak mendekati orientasi-orientasi yang bercokol ketika diucapkan pada petugas shelter, sebelum ia terbawa oleh alat pemindah raga dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya.

Alat pemindah raga yang ditunggu-tunggu itu pun tidak lebih dari sekedar mesin yang bersistem. Sistem yang statis. Layaknya roda atau kumparan yang senantiasa berotasi, setia pada gaya sentripetal yang melingkupinya. Kecuali ketika sentrifugal mengusik, semua yang ada di atas roda atau kumparan itu melesat jauh dan sentripetal menjadi kacau. Namun, oleh karena manusia adalah penyetir sistem, busway lantas tidak sesederhana sentripetal dan sentrifugal. Sebab manusia terlalu banyak lobi dan kompromi.

Para tukang naik busway pun tidak lebih dari manusia dengan segala orientasi. Bahkan, ada kaum-kaum tertentu yang kehilangan orientasinya. Mereka menunggu di shelter busway seperti menunggu kematian. Padanya, kompromi berjalan begitu melesat-lesat hingga tujuan awalnya begitu kabur. Namun, bisa kubilang, yang kehilangan orientasi itu yang lebih memandang setiap bagian dari perjalanannya. Oleh karena otaknya terus bekerja, berkompromi, melobi.

Para tukang naik busway yang punya orientasi jelas akan mengingat-ingat satu hal hingga sampai di pemberhentian yang diinginkan, lantas yang terjadi dalam proses perjalanan itu yang dapat giliran kabur.

Sekarang, kuberitahu. Posisiku sedang di shelter busway dekat SMP Nusantara 45. Kakiku menekuk, bergeming. Dengan kata lain, aku sedang duduk dengan pantat terjejal di bangku shelter yang dingin. Bersebelahan dengan seorang siswa SMP. Bawahan seragamnya yang biru tua itu lebih mirip kain pel di kos-kosanku. Kusam dan buluk. Namun, aku lebih melihatnya bak kakek-kakek memegang cerutu daripada siswa yang sedang memegang pena.

Tiba-tiba, rambut siswa SMP itu berubah putih keabu-abuan, mirip uban. Kulitnya yang sehat dan segar itu berubah keriput dan gelap, mirip kulit kakek 70 tahunan. Yang tak berubah adalah baju dan bawahan seragamnya. Oh! Ada lagi, sorot matanya juga tidak berubah. Tetap tajam dan membidik tepat.

Dua belas menit kemudian, seorang siswi SMP masuk shelter dan bersandar di dinding kaca. Ia tak kebagian bangku untuk duduk. Lalu, blast!! Sorot mata siswa SMP yang kubilang berubah menjadi kakek itu menembak siswi SMP. Seketika itu, ia berdiri dan mempersilakan siswi SMP untuk menggantikan dirinya.

Susah payah siswa SMP mirip kakek itu berdiri dan bersandar di dinding kaca. Payung biru muda pucatnya ia jadikan tongkat. Tapi pengelihatanku kabur, ia memegang pena ataukah cerutu.

Teman sebelahku telah berganti menjadi siswi SMP. Namun, busway belum juga datang. Sudah lewat 15 menit. Siswa SMP mirip kakek-kakek itu masih memainkan silinder di tangannya, tidak jelas apakah ia menulis atau berusaha menyalakan cerutu.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Ah, yehaa. Siswi SMP di sebelahku berbinar-binar, namun siswa SMP mirip kakek yang sedang bersandar di dinding kaca itu biasa saja. Sorot matanya tetap tajam, tapi cenderung datar, bukan berbinar.

Alat pemindah raga berwarna hijau itu semakin dekat. Semua orang dalam shelter itu menatap lekat. Bersiap. Dua belas detik kemudian, kepala busway sudah teronggok di depan shelter. Satu per satu mantan penumpang busway turun dan keluar shelter. Satu per satu tukang naik busway yang sedari tadi menunggu akhirnya masuk. Masuk ke dalam busway. Kuda-kudaku lemah, oleh karena itu memilih giliran akhir daripada tersuruk dada-dada penumpang lain dan tergelincir.

Tinggal aku bersama siswa SMP yang mirip kakek-kakek tadi. Tak kusangka, ia malah mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Kupersilakan ia, namun siswa itu masih ngotot menyuruhku masuk duluan daripadanya. Aku masuk. Tiba-tiba, mobil hijau yang mengangkutku ini bergerak maju, baru setelah satu kaki siswa itu masuk. Pintu busway menutup terlalu keras. Siswa itu terjepit, tergelincir, tertarik, dan akhirnya tergilas. Naas.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Sopir busway itu semakin melaju kecepatan tinggi. Entah karena tidak tahu atau bagaimana. Sang kenek busway juga terlihat biasa saja menghitung penumpang. Busway penuh. Aku mual oleh karena pola setir si sopir yang hewan saja pun akan mencemoohnya. Apa sopir ini tidak lulus ujian SIM B ya, pikirku. Tapi, bagaimana ia dapatkan SIM B kalau tak lulus ujian. Aiihh.. Baru kuingat, bisa saja kekuatan lobi dan komprominya yang bekerja untuk itu. Dasar manusia.

Di dalam busway, penumpang penuh.
Di pemberhentian dekat Pasar Sayang Mama, beberapa ibu-ibu gendut yang lebih mirip ikan paus berjalan dengan ekornya itu turun busway. Sekeluarnya mereka, bermol-mol molekul oksigen lebih banyak tersedia. Beberapa penumpang menghela napas.
Di pemberhentian dekat rumah sakit Panti Kusut, beberapa laki-laki tua beranjak keluar busway bersama bawaan-bawaan yang menyita tempat. Sekeluarnya mereka, bersenti-senti tempat tersedia kembali. Beberapa penumpang tampak meluruskan kaki.

Mual semakin menjadi. Busway seperti oleng ketika membelok. Berkali-kali sopir memancal rem mendadak. Benar-benar sopir tak lulus ujian SIM B! Umpatku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang lelaki seumuran bapakku dengan perut buncit menyanding disampingku. Mungkin karena posisiku tepat menghadap pintu busway. Kiranya, ia akan turun di pemberhentian berikutnya. Pun juga aku.

Di pemberhentian Koperasi Mahamurid, aku berjalan keluar busway. Namun, bapak-bapak tambun di sebelahku tadi menyerobot dan mendahuluiku keluar. Sekedipan mata, bapak tambun tadi sudah duduk di bangku shelter dan tak ada sisa bangku lagi untukku.

Aku bersandar di dinding kaca shelter, membuka tas selempangku yang sedari tadi kuhadapkan pada bokong. Kutemukan dompet hitam punyaku, ada foto wanita menyembul di antara selipan kartu identitas, kartu anggota, ATM, dan semcamnya. Hm.. Manusia modern memang terlalu banyak mendewakan validasi.

Foto wanita itu serasa bergerak-gerak dan melirik kearah bapak-bapak tambun tadi. Lantas, aku pun mengalih pandang ke bapak itu. Aneh, tiba-tiba kulihat ia lebih mirip anak kecil bertubuh montok daripada bapak-bapak tambun. Ia mempermainkan jempol tangannya, duduk di bangku shelter dengan kaki yang mekangkang. Terlalu aneh jika kusebut ia bapak-bapak tambun paruh baya.

Aku mulai merasa tak beres dengan orientasi otakku yang kian tak lazim.

Dua belas menit kemudian, seorang nenek masuk shelter dan nampak linglung. Nenek tak kebagian bangku untuk duduk. Kemudian, nenek itu ikut bersandar di dinding kaca sepertiku. Kulihat bapak-bapak tambun yang lebih mirip anak kecil itu tidak juga beranjak dari duduknya untuk sekedar memberi ruang duduk bagi nenek-nenek itu. Malah ia semakin menjadi dengan mengangkangkan kedua kakinya lebih lebar.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Nenek-nenek yang bersandar di sebelahku tampak bahagia, namun bapak-bapak tambun mirip anak kecil tengil itu masih sibuk dengan jempol tangannya.

Bak anak kecil yang terlalu sibuk dengan mainannya sehingga lupa daratan, bapak-bapak tambun itu tak segera naik ketika busway sudah di depan mata. Mungkin ia tidak berniat naik busway jalur ini, pikirku. Namun, ketika pintu mulai menutup, seketika mata bapak-bapak itu melongok ke arah pintu busway. Tangannya meraih-raih pintu. Namun, pintu kembali menutup terlalu kencang. Sistem memang tidak pernah manusiawi, sekalipun dikendalikan manusia.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Di dalam busway, penumpang tidak penuh. Kursi banyak tersisa. Banyak tempat untuk selonjor kaki. Banyak oksigen tersedia.

Aku terhanyut oleh laju jalan. Kelopak mataku cenderung ingin menutup. Aih, ngantuk. Tapi, di pemberhentian berikutnya aku harus turun.

Dua belas detik kemudian, alat pemindah raga ini tiba di shelter Lembah Angan. Aku kembali teringat oleh orientasi otakku yang agak menyimpang di dua shelter sebelumnya.
Kali ini, yang menyerobot bukannya siswa SMP atau bapak-bapak tambun lagi. Kali ini yang menyerobot adalah anak perempuan kecil. Namun, kulihat ada yang tak beres. Ah! Anak kecil itu mirip dengan foto wanita dalam dompetku!

Kulekatkan pandangku sekali lagi. Ia tak tampak berubah tua atau berubah lebih muda. Gerak-gerik perempuan kecil itu sangat alami seumurannya. Aku menghela napas, oleh karena yakin kalau orientasi otakku kali ini sudah sembuh dari penyimpangan. Tapi, siapa dia.

Perjalananku dengan busway berakhir di shelter Lembah Angan. Aku melangkah keluar dari shelter. Melangkah menjauhi jeda, memaksimalkan kerja organ paling bawahku yang paling dekat dengan bumi.

Aku bukan tukang naik busway yang kehilangan orientasi. Aku bukan penunggu kematian. Tapi aku tetap manusia yang penuh lobi dan kompromi. Aku juga manusia yang mendewakan validasi.

Kuayun langkah menjauhi shelter penuh kontemplasi itu. Ruang sempit itu membantuku menyadari bahwa dunia itu luas.

Kulayangkan pandang ke sekeliling. Terkejut, kudapati lembah angan yang semestinya adalah tempat teduh, kini berubah gersang. Sangat gersang. Kembali terkejut, di bawah tiang-tiang yang entah berfungsi apa, kudapati siswa SMP, bapak-bapak tambun, dan perempuan kecil tadi. Otakku semakin berputar, mengapa arahku menjadi seperti ini. Baru kusadari lewat memori tentang potongan ayat di kitab suci yang kuanut, benar-benar Lembah Angan ini lebih mirip Padang Mahsyar!


Gua Sementara untuk Hidup, 2 Maret 2011
11:19 Waktu Indonesia Kamar