Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 30 April 2010

Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad menurut Teuku Iskandar

Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad menurut Teuku Iskandar

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM

I. Pengantar

Pembahasan dalam makalah ini didasarkan pada buku yang berjudul Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad yang ditulis oleh Teuku Iskandar dan telaah pustaka media lain. Penyelidikan naskah-naskah Melayu tersebut berkisar tentang zaman terbaru, Riau antara tahun 1779-1900. Pendekatan ini dipilih oleh sebab lebih mudahnya mengumpul karya-karya yang dianggap sebagai hasil dari zaman ini karena masih banyak tersimpan dan mudah diperoleh.

Dalam pemaparan mengenai perkembangan kesusastraan Melayu Klasik, terdaftar sembilan pusat kebudayaan yang menghasilkan kesusastraan klasik Melayu. Kemudian, secara kronologi dari susunan pusat-pusat kebudayaan tersebut, dapat ditentukan genre atau genre-genre yang dihasilkan pada pusat-pusat tersebut. Setiap pusat kebudayaan dan kesusastraan baru akan memberi nafas baru bagi kesuasatraan Melayu yang telah ada, begitu pula akan berdampak pada genre-genre yang sudah ada. Berikut ini akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai pencetus klasifikasi tersebut beserta dasar pengelompokan tiap periode kesusastraan Melayu klasik.

1. Tentang Teuku Iskandar

Teuku Iskandar yang telah meraih gelar Professor di negeri Belanda lewat kajian Sastra Melayu Klasik “Hikayat Aceh”. Selain itu, Teuku Iskandar juga telah menulis buku “Kesusastraaan Klasik Melayu Sepanjang Abad” serta menyusun kamus dewan bahasa Melayu perdana. Adapun diantara thesis terbaru yang pernah ditulis oleh putera Aceh untuk meraih gelar Master adalah Drs. Nurdin AR, M. Hum dengan judul: ”Mir’atul Muhaqqiqin ; Suntingan Text dan Analis Resepsi” tahun 1999 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, serta Syarifuddin M. Ag dengan judul : “Doktrin Wujudiah dalam Syair Hamzah Fansuri” yang diajukan kepada IAIN Ar-Raniry tahun 2000. Akan tetapi, partisipasi putera Aceh untuk meneliti hasil karya endatu mereka belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dibuat oleh peneliti asing dari dunia barat khususnya. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa, Aceh di mata para ilmuwan dan peneliti asing adalah ibarat sebuah laboratorium yang maha luas untuk dikaji.

2. Dasar Pengelompokan

Penggolongan kesusastraan pada zaman Melayu klasik, oleh Teuku Iskandar, didasarkan pada pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu yang menghasilkan karya-karya klasik tersebut. Disiratkan bahwa suatu karya sastra dengan ciri-ciri atau karakteristik tertentu akan ada pada zaman tertentu dan tersimpan pada pusat kebudayaan dan kesusastraan tertentu pula. Hal ini didasarkan karena pada zaman tertentu, suatu karya mempunyai kekhasan tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, ekonomi, politik, dan sebagainya pada zaman tersebut. Menjadi suatu yang agak absurd ketika ditemukan karya sastra dengan karakteristik zaman baru tetapi berada pada pusat kebudayaan dan kesusatraan pada zaman lama. Tentunya, ada banyak yang membedakan karena kronologi kesusatraan Melayu akan selalu berkembang, termasuk genre-genre dalam karya sastranya.

Melalui dasar penggolongan tersebut, muncullah pusat kebudayaan dan kesusastraan kerajaan Seriwijaya (abad 7-12 M) sebagai pusat kebudayaan dan kesusastraan yang tertua dengan kebudayaan Melayu-Hindu-Budha. Di sinilah orang Melayu berkenalan dengan kesusastraan Hindu-Budha dan mulai menggunakan tulisan untuk bahasa Melayu. Tentang kesusastraan zaman tertua ini, diketahui hanya secara fragmentaris dibandingkan dengan kesusastraan zaman baru. Sebagaimana disebutkan dalam bukunya, Teuku Iskandar menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekurangan data tentang zaman ini. Dengan jalan rekonstruksi, menurut Teuku Iskandar, bisa dicoba menggambarkan kembali kesusastraan pada zaman tersebut.

Setelah kesustraan kerajaan Seriwijaya, terdapat pusat kebudayaan dan kesusastraan pada zaman kerajaan Melayu-Singapura (abad 13-14 M). Pada zaman ini, karya-karya Hindu-Budha diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Melayu. Pada zaman ini pula, diselenggarakan bentuk populer dari Ramayana, Hikayat Seri Rama. Karya Mahabharata diterjemahkan ke dalam bahasa melayu dari bahasa Jawa Kuno.

Pada zaman permulaan Islam, Pasai merupakan pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu (1250-1524 M). Akibat pertembungan dengan kesuastraan Islam, tulisan Jawi mulai digunakan dan karya-karya Melayu zaman Hindu diberi warna atau corak Islam. Kitab-kitab dasar agama Islam, seperti kitab perukunan, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, begitu pula dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.

Setelah bangkitnya kerajaan Melaka sebagai pusat politik dan ekonomi di Selat Melaka, Pasai mulai mundur. Dengan jalan demikian, pusat kesusastraan melayu berpindah ke Melaka (1400-1511 M). Meskipun begitu, Pasai masih lagi memegang peranan penting dalam bidang kesusastraan Islam. Mungkin sekali disebabkan oleh perbedaan suasana kebudayaan antara Pasai dan Melaka.

Setelah Pasai dan Melaka, pusat kesusastraan Johor dan Aceh lahir pada masa yang hampir sama walaupun zaman kesusastraan Johor lebih pendek, yakni tiga abad lamanya. Tetapi, tampaknya ada persaingan antara kedua pusat kesusastraan tersebut. Sesudah Melaka dikalahkan oleh Portugis, pusat kesusastraan Melayu berpindah ke Johor (1511-1798). Johor tidak sanggup mempertahankan kesatuan dari bekas daerah takluk Melaka dahulu, sehingga perkembangan kesusastraan pun tidak hanya berpusat di Johor. Pada masa ini, hikayat klasik Melayu mencapai perkembangan yang pesat dan memperoleh bentuk kemantapannya. Hasil hikayat Melayu klasik teragung yang diciptakan di sini ialah Hikayat Hang Tuah.

Sementara itu, Aceh telah mengalahkan Pasai dan memasukkan kerajaan ini dalam wilayahnya. Akibatnya ialah kaum cerdik, pandai, baik dari Kepulauan Nusantara sendiri maupun dari luar, berkumpul di Aceh. Dengan jalan demikian, pusat kesusastraan Melayu dari Pasai diambil alih oleh Bandar Aceh Darussalam (1524-1900).
Kesusastraan Palembang (1650-1824 M) jika dibandingkan dengan pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan lainyya lebih beraneka ragam lagi. Dalam bidang agama pada mulanya ia merupakan lanjutan dari kesusatraan kitab zaman Aceh dan oleh kesusastraan tasawuf yang diwarnai oleh wujudiyah dari Aceh.

Kesusastraan zaman Riau (1798-1900 M) mulai menampakkan unsur-unsur modern. Kesusastraan di sini berkembang atas usaha raja-raja muda yang berkedudukan di Penyengat. Karya-karya agama dan kitab-kitab panduan untuk mereka yang memerintah tidaklah begitu penting sebagaimana yang dihasilkan di Aceh. Sebaliknya, karya-karya sejarah sudah menampakkan ciri-ciri modern karena pengaruh tradisi bugis dan pertembungan antara pengarang Riau dengan kaum cerdik pandai Eropah. Buku-buku pelajaran sekolah sudah mulai dihasilkan dan dicetak di Riau. Belles-lettres, walaupun dikarang dalam bentuk syair, menampakkan ciri baru.

Selain dari pusat-pusat kesusastraan yang telah disebut di atas, terdapat juga pusat-pusat kesusastraan lain seperti Brunei, Banjar, dan Patani. Tetapi, sebagaimana disebutkan oleh Teuku Iskandar dalam bukunya, penyelidikan tentang pusat kesusastraan ini belum dilakukan dengan seksama. Hanya secara insidentil diketahui tentang hasil kesusastraan pusat-pusat ini sehingga tidak dapat dibicarakan sebagai kesusastraan pada periode tertentu.

Dalam makalah ini, akan dibahas secara khusus lima ke bawah, secara kronologis, dari pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan yang telah ada, meliputi pusat kebudayaan dan kesusastraan Johor, Aceh, Palembang, Riau, dan kesusastraan pusat-pusat lain, yaitu di Brunei, Banjar, dan Patani.(©17Mar10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar