Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Senin, 21 Maret 2011

Sejengkal Siluet setelah Senja bersama Dua Bandit Kartini


“Aku pengen ada yang menulis tentang kita.”
“Iyaaa… Kamu dong.”

“zzzzz… wong liyo wae. Nek kita mah enek subjektif2 e.”

“Pengen ada yang diam-diam mengamati kita, hehee.. menuliskan atau memfilmkan xD”

***

Obrolan itu mungkin telah terjadi lebih dari tiga kali, dengan oknum-oknum yang sama, tapi subjek yang berbeda. Mungkin ini juga efek dari generasi who got in the movie. Untuk itu, izinkan aku sedikit mengabadikan satu fragmen ya, daripada cuma sekedar jadi angan—yang kalau dibiarkan begitu saja akan cepat menguap dan lenyap. Urusan subjektif atau tidaknya, belakangan lahh. Oke? xD

Hari Minggu di bulan Maret, menjelang senja, sekitar pukul 17.00 WIB.
Aku bersama dua bandit yang usianya mau beranjak jadi 20 tahun itu gowes dari kos ke swalayan dekat warung pempek. Sebenarnya, perjalanan ini bukan tanpa alasan atau Cuma rea reo saja. Saya yang pengen banget keluar karena persediaan kebutuhan-kebutuhan vital sudah wafat tak tersisa. Sementara itu, teman hidupku—Bandit Pertama—yang terkenal kecil sekecil bisul itu sih cuma ikut-ikutan, entah sebenarnya tujuannya mau apa, haha xD.

Sedangkan, teman hidupku yang lain—Bandit Kedua—yang tergolong paling gede diantara kami itu kupikir masih punya tujuan yang sama denganku, belanja kebutuhan pokok! Disamping juga pengen pempek dan es krim :D

Dengan menunggangi kendaraan pusaka kami yang tiada duanya dan merupakan satu-satunya harta benda (lumayan) bergharga milik kami di Jogja, kami meluncur menyusuri jalan sambil sesekali memainkan laju kerja sepeda onthel kami. Khusus Bandit Pertama, posisinya paling sering di depan, secara pit-nya masih GRESS.. wkwk.. Lalu, disusul Bandit Kedua. Dan di posisi terakhir, saya dengan sepeda paling tua :D Wusss… Gowes. Gowess..

Dipercepat saja ya ceritanya…. xD

Sekitar pukul 19.30 WIB kami selesai belanja, ibadah, makan pempek, dan beli es krim. Semua rencana sudah terkover, tinggal satu yang belum, KAMI BELUM MAKAN ES KRIM! Lantas, saya nawarkan ide untuk makan es krim di bunderan UGM sembari menikmati malam dan menonton mas-mas yang unjuk gigi pakai sepeda fixie. Apik to sepedane, pengen njajal..! Bandit kedua dan saya :mupeng: sekali, tapi Bandit pertama justru bilang, “Ah, kui ki cuma nggo gaya-gaya’an tho?”

Okelah, kamu mungkin agak benar Cinta, tapi kami cuma pengen njajal, njuk lampune ki apik e, lap..lap.. trus cara ngerem’e piye toh. ---Okeh? :D

Lanjut.

Kami memilih tempat di bunderan sisi barat. Hmm.. lumayan banyak yang lagi berdua-duaan. Ada juga yang berkelompok, ntah ngapain. Lantas, ada satu mbak-mbak yang lagi sendirian menghadap ke tulisan UNIVERSITAS GADJAH MADA yang gede-gede itu. Busananya hot pants, kaus hitam, sandal. Berkali-kali melihat jam tangan dengan muka pias, layu. Mbaknya cantik sih, tapi terlihat sedang menunggu. Sepertinya, sudah menunggu lama, tapi yang ditunggu belum juga tampak. Pemandangannya semacam adegan di sinetron-sinetron Indonesia begitu lahh...

Bandit Kedua : “yooh.. mbak e mesakne. Wajahe i lho..”
Bandit Pertama : “kui kii.. pacare lagi karo pacar sing liyanee…”
Aku : “ndi tho?” **celingak-celinguk** “Eh hooh, haduh mesakne. Dewean diantara banyak pasangan.”
Bandit pertama : “Jane sing mesakne ki mbak’e opo kita yoh??” (backsound: toeeeiiingggg…)
Bandit kedua & Aku : (tertawa ngakak campur getir,wkwk)


Ini intinya. Hadehh.. Mesakne mbak’e lah.. Aku emoh dimelas-melasne, wkwk…

Pernyataan barusan benar2 dari hati lho. Yahh..secara, saya bersyukur punya teman sebanyak ini. Bahkan, tergolong jarang merasa kesepian saat malam sabtu atau malam minggu, kalau galau-nya jelas masih jalan laa.. :D Paling-paling jurusnya menghabiskan waktu dengan dua bandit yang telah tersebut di atas, dan kawan-kawannya.

Sedikit banyak terbesit syukur dan manfaat atas kesedirian yang membawa kita pada ‘koloni’ ini. Kalaupun saya punya pacar di Jogja, bukan berarti akan lebih baik dari ini semua. Bisa-bisa malah tercebur ke lembah UGM, Astaghfirullah xD

Bersepeda sekedar menyegarkan pikiran, makan pempek dan es krim sama-sama, diskusi ilmiah sampai diskusi saru, saling olok, atau sekedar guyon a la OVJ di kamar kos, ini semua terasa lebih bernilai daripada harus memaksakan mengikuti ‘zaman’.

Jadi ingat, kakak kosku yang lumayan akrab juga, alias kakaknya si Bandit pertama pernah guyon-guyon ke aku: “Makane Riinn.. duwe pacar. Ben ono sing ngeterne kesana-kemari nek meh lungo adoh2. Ono ojek’e.”

Hahahaha… Hiyaa, saya masih percaya ada yang sudah menunggu saya di sana kok, dan saya juga tengah menunggunya. Yang jelas, ia bukan sekadar tukang OJEK! :)

Kami percaya bahwa kami semua punya pangeran sendiri-sendiri, Saudara.. Entah kapan kami dipertemukan. Kupikir semua wanita begitu. Dan kami memilih : Tidak harus yang seperti di bunderan itu. Tidak harus juga kami dijemput kesana-kemari.

Aku pun percaya, bandit pertama dan bandit kedua adalah perempuan-perempuan yang tangguh, super romantis, dan taat beribadah. Wkwk.. Mereka tahu benar bagaimana memperlakukan siapapun dan apapun yang dicintainya. Dan aku berharap, kalian menularkan itu padaku Kawan! :D

***

Sudah. Sejengkal saja ya.. Yang sedepa ataupun lebih, nanti dulu, ditabung dulu. Belum waktunya meledak! Haha.

Sekali lagi, tulisan ini cuma catatan kecil sebagai wujud khawatirku kalau-kalau memori ini menguap geliatnya untuk ditulis. Kalaupun tulisan ini norak, cupu, subjektif, ambigu, rasis, tak tepat waktu, atau apa lah.. itu bisa diperbaiki nanti. Yang terpenting, aku cuma menuliskan rasa syukur. (Ah, aku yakin, bandit-bandit itu seneng karena sudah eksis! Haha :P)

Penasaran oknumnya?

Ini oknum I (Bandit Pertama tampak samping) :

Ini Oknum II (Bandit Kedua tampak samping) :

Ada waktu untuk kita bertemu.
Ada waktu untuk kita sekedar dipisahkan sementara.
Tak perlu bicara cinta dan kasih sayang kita seluas lapangan basket luar angkasa,
Toh Tuan Hati dan Profesor Pikiran lebih paham dari Ibu Lidah yang sering bergoyang.

Peluk dan cium dari hati untuk Kalian dan Kau yang nun jauh di sana.


Done at 23:39 WIB 20’03’11


Rabu, 16 Maret 2011

Jangan Main-main dengan Film (Indonesia) !


Industri perfilman Indonesia boleh jadi telah mengantongi sejarah panjang. Usianya pun sudah tak pantas dikatakan muda. Diawali dengan film berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang dianggap sebagai film paling tua di Indonesia hingga film sebangsa Catatan Si Boy dan Blok M pada dekade 1970-an sampai 1980-an yang sempat membawa film Indonesia berjaya di negeri sendiri. Setelah itu, wajah perfilman Indonesia sempat suram pada tahun 1990-an oleh karena usaha eksploitasi konsumen yang dilakukan oleh para sineas pada masanya. Namun, pada kisaran abad baru, muncul geliat positif dari sineas-sineas Indonesia yang menelurkan film-film inspiratif dan inovatif semacam Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, dan sebagainya. Fluktuatif!

Sementara itu, pada perkembangan selanjutnya, film-film Indonesia juga sempat diwarnai dengan film bergenre horror, seks, atau horror bernuansa seks, dan sebaliknya. Fenomena ini sempat mengundang beragam respons dari masyarakat Indonesia, dari yang menikmati, jenuh, sampai yang antipati. Selanjutnya, menyikapi kejenuhan masyarakat Indonesia, beberapa sineas lain mulai memproduksi film yang tak sekedar dipandang sebagai movies, tapi juga sebagai film dan sinema hingga muncullah film bernada edukasi dengan sinematografi yang bisa dibilang tidak asal-asalan. Sebut saja film Laskar Pelangi, Ruma Maida, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan lain-lain yang sempat memberi warna lain dalam perkembangan film Indonesia.

Sejatinya, telah dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Beberapa hal ini diperkuat oleh James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Movies memandang film hanya sebagai barang dagangan. Sinema memandaing film dari segi sinematografinya, dan sisanya dipandang dari segi pendidikan dan budayanya.

Beralih pada perkembangan industri film Indonesia, akhir-akhir ini, muncul kabar bahwa Motion Picture Association of America (MPAA) atau asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Hal ini merupakan reaksi keras atas dilayangkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor. Dalam surat edaran itu, dinyatakan bahwa penghasilan yang dibayarkan keluar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu, merupakan royalti yang dikenakan PPh 20 persen. Peraturan tersebut merupakan hasil penafsiran baru atas undang-undang dan peraturan tentang pajak bea masuk yang lama. Dengan pajak yang boleh dibilang sangat tinggi itu, jelas MPAA menjadi enggan beroperasi di Indonesia walaupun dalih penaikan pajak itu, seperti yang diberitakan media, adalah dalam upaya mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik.

Respons keras MPAA tersebut bisa jadi mengundang pihak distributor film non-Hollywood untuk ikut serta tidak mengedarkan filmnya ke Indonesia lantaran pajak ini berlaku untuk semua film impor. Apa jadinya Indonesia tanpa film-film impor yang pada kenyataannya justeru film-film inilah yang memenuhi jagat bioskop-bioskop Indonesia dan menjadi satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk datang ke exhibitor (bioskop-bioskop). Ironis memang, film nasional justru menjadi pilihan keberapa setelah film-film impor. Namun, fenomena ini agaknya jangan dianalisis dari satu sudut. Kecenderungan masyarakat Indonesia lebih memilih film impor bisa jadi karena kejenuhannya pada film-film nasional yang kebanyakan hanya memuat tema ‘itu-itu saja’, pesan dan amanatnya juga tidak jauh-jauh dari ‘semoga film ini laku dipasaran’. Analisis ini memunculkan pertanyaan, apa benar pengenaan pajak dan bea impor ini—yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop—akan meningkatkan jumlah dan kualitas film nasional?

Secara awam, pikir saja, kalau pola pikir para sineas Indonesia hanya sebatas ‘semoga film ini laku di pasaran’, tanpa mempertimbangkan pesan dan dampak yang terjadi pada masyarakat jika terus-menerus dicekoki film kualitas pas-pasan yang mudah bikin jenuh, masyarakat Indonesia akan semakin meninggalkan bioskop dan film Indonesia. Mereka akan cari cara cerdas untuk mendapatkan film luar demi memuaskan hasrat nonton film yang sesuai kebutuhan dan kemauan mereka.

Sementara itu, masyarakat Indonesia yang mentalnya terima-terima saja dicekoki film dangkal itu, lambat laun akan terpengaruh juga pola pikirnya. Kalau Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sudah tergolong tinggi dan mumpuni, ini tak jadi masalah lantaran mereka sudah bisa memilih, memilah, dan menyikapi. Namun, coba tengok masyarakat di belahan Indonesia lain yang masih butuh pengawasan dan pendampingan, berapa persen masyarakat Indonesia yang masih buta huruf, berapa persen masyarakat Indonesia yang belum disentuh pendidikan. Kalangan-kalangan tersebut yang akan berpotensi menjadi bebal oleh film-film Indonesia yang minim pesan. Bagaimanapun juga, yang terlihat itu akan lebih mudah diingat. Kalau begitu, kapan cita-cita Indonesia mencerdaskan kehiadupan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia seutuhnya dan seluruhnya berhasil.

Tak hanya berhenti sampai sineas dan pemirsa, dukungan pemerintah juga penting untuk mencipta film Indonesia yang berkualitas. Pemerintah tidak cuma menaikkan pajak untuk meningkatkan APBN, tapi juga memanfaatkannya untuk pemberian subsidi bagi sineas-sineas berprestasi, mengembangkan sekolah-sekolah film, dan memberikan perhatian pada elemen-elemen lain yang mendukung perfilman nasional, semacam festival-festival atau penganugerahan film. Dari sini, timbullah sinergi yang kuat.

Polemik seputar perpajakan film ini, baik langsung maupun tidak, akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perfilman Indonesia. Oleh karenanya, kita tunggu saja. Pasalnya, seperti diberitakan media, 30 Maret 2011 mendatang Jero Wacik beserta jajarannya akan mengumumkan hasil keputusan terkait pajak film nasional dan impor. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa film adalah cerminan budaya suatu bangsa, maka apapun keputusannya, membuat film kualitas rendah dan minim pesan berpotensi membuat masyarakat Indonesia jadi bebal. Mari renungkan.


14 Maret 2011

Tentang Hidup Korban PKI dan Seksualitasnya


Judul : Blues Merbabu
Pengarang : Gitanyali
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : Februari 2011
Tebal : vi + 186 halaman
Genre : Novel
ISBN : 978-979-91-0315-4
Harga : Rp 40.000,-


Sebagai Negara yang diperjuangkan dan lahir 65 tahun yang lalu, asam garam sejarah Indonesia bolehlah dikatakan telah bermacam ragam. Mulai dari perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga luka sejarah di sekitaran 1960-an. Peristiwa yang disebut terakhir itu masih cenderung gelap karena kesamaran bukti-bukti kesejarahannya. Sebut saja nasib para lakon PKI (Partai Komunis Indonesia) dan antek-anteknya yang hingga kini masih belum terungkap secara gamblang laiknya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

Blues Merbabu mencoba menyorot kehidupan salah seorang lakon PKI dan keluarganya dari sisi yang polos dan tak banyak mencaci penguasa saat itu. Pusatnya pada tokoh bernama Gitanyali Singayuda, anak dari Sutanto Singayuda, seorang lakon PKI yang sangat gigih, berkarakter, dan sangat mengutamakan pendidikan. Tak heran ketika melihat Gitanyali semasa masih bocah telah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tegas. Gitanyali merasa sangat menyatu dengan tanah kelahirannya, di lembah Gunung Merbabu.

Kesamaan nama antara pengarang dan tokoh utama menyiratkan kesan bahwa novel ini adalah semacam catatan harian sang pengarang. Bahkan, dituliskan pula, dalam kisahnya ia mengaku sangat gemar menulis catatan harian. Sebagai anak PKI yang orang tuanya diciduk pada sekitaran 1960-an, Gitanyali dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Segala kesialan dan nasib yang terpaksa tidak beruntung sebagai anak PKI ia hadapi dengan bertahan, bukan melawan. Ia menyebut perjuangannya menyikapi kehidupannya dengan suloyo.

Suloyo diartikan sebagai ‘mengingkari’, tidak akan memenuhi janji, menidakkan, meski di luar kelihatannya mengiyakan. Gitanyali pun menyadari bahwa mungkin ini adalah dorongan bersikap bagi orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Melalui gambaran ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sang tokoh bertindak seolah tidak ada apa-apa dalam kehidupan masa lalunya walaupun sebenarnya ia suloyo. Kekecewaan yang dirasakan Gitanyali sebagai anak PKI tidak ia gubris sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Bahkan, ia tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dalam hidupnya, ia telanjur menjalani apa yang ia jalani. Mungkin di sinilah daya tarik novel ini, ketegaran sikap seorang anak PKI.

Karakteristik Blues Merbabu adalah pada gaya penceritaan yang polos, lugas, dan tidak menggebu-gebu walaupun banyak sekali scene tentang petualangan seksual sang tokoh. Di buku ini juga banyak ditemui kisah-kisah pergaulan anak muda. Dari soal musik, film, sampai ke Mushroom Omelette yang memabukkan. Ia mampu mengkover yang vulgar dan panas menjadi sesuatu yang lazim dan normal. Ia menulisnya dengan mengalir, santai, angkuh, dan tak ada sedu sedan. Tak berlebihan bila dikatakan, di sinilah kekuatannya hingga dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa tak hanya seks belaka yang dieksplorasi, kekuatan karakter tokoh utamanya menggiring pembaca untuk ikut larut di dalamnya.

Novel ini tak dilengkapi keterangan latar belakang penulis seperti novel-novel lain meskipun karya ini adalah novel pertama Gitanyali. Entah apa yang menjadi latar belakang hal tersebut, entah untuk kepentingan politis atau kepentingan diplomatis. Tanpa berniat melebih-lebihkan, novel belatarbelakang sejarah ini cukup sempurna sebagai sebuah karya hasil transkripsi luka sejarah di era 1960-an. Pengaburan identitas penulis ini juga menguatkan adanya efek-efek kenyataan atau realitas. Sesuai diktum hiper-realitas yang dituliskan Gitanyali di bagian awal novelnya, “…semua yang ditulis ini benar adanya, kecuali bahwa dia sebuah kenyataan.”

Buat Para 'Tukang Naik Busway'


Buat para tukang naik busway, setiap momen dalam shelter adalah jeda sebelum sampai pada perjalanan selanjutnya. Bisa jadi hanya dalam shelter itulah, organ paling bawah manusia yang menempel di bumi bergeming. Sebelum ia beranjak mendekati orientasi-orientasi yang bercokol ketika diucapkan pada petugas shelter, sebelum ia terbawa oleh alat pemindah raga dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya.

Alat pemindah raga yang ditunggu-tunggu itu pun tidak lebih dari sekedar mesin yang bersistem. Sistem yang statis. Layaknya roda atau kumparan yang senantiasa berotasi, setia pada gaya sentripetal yang melingkupinya. Kecuali ketika sentrifugal mengusik, semua yang ada di atas roda atau kumparan itu melesat jauh dan sentripetal menjadi kacau. Namun, oleh karena manusia adalah penyetir sistem, busway lantas tidak sesederhana sentripetal dan sentrifugal. Sebab manusia terlalu banyak lobi dan kompromi.

Para tukang naik busway pun tidak lebih dari manusia dengan segala orientasi. Bahkan, ada kaum-kaum tertentu yang kehilangan orientasinya. Mereka menunggu di shelter busway seperti menunggu kematian. Padanya, kompromi berjalan begitu melesat-lesat hingga tujuan awalnya begitu kabur. Namun, bisa kubilang, yang kehilangan orientasi itu yang lebih memandang setiap bagian dari perjalanannya. Oleh karena otaknya terus bekerja, berkompromi, melobi.

Para tukang naik busway yang punya orientasi jelas akan mengingat-ingat satu hal hingga sampai di pemberhentian yang diinginkan, lantas yang terjadi dalam proses perjalanan itu yang dapat giliran kabur.

Sekarang, kuberitahu. Posisiku sedang di shelter busway dekat SMP Nusantara 45. Kakiku menekuk, bergeming. Dengan kata lain, aku sedang duduk dengan pantat terjejal di bangku shelter yang dingin. Bersebelahan dengan seorang siswa SMP. Bawahan seragamnya yang biru tua itu lebih mirip kain pel di kos-kosanku. Kusam dan buluk. Namun, aku lebih melihatnya bak kakek-kakek memegang cerutu daripada siswa yang sedang memegang pena.

Tiba-tiba, rambut siswa SMP itu berubah putih keabu-abuan, mirip uban. Kulitnya yang sehat dan segar itu berubah keriput dan gelap, mirip kulit kakek 70 tahunan. Yang tak berubah adalah baju dan bawahan seragamnya. Oh! Ada lagi, sorot matanya juga tidak berubah. Tetap tajam dan membidik tepat.

Dua belas menit kemudian, seorang siswi SMP masuk shelter dan bersandar di dinding kaca. Ia tak kebagian bangku untuk duduk. Lalu, blast!! Sorot mata siswa SMP yang kubilang berubah menjadi kakek itu menembak siswi SMP. Seketika itu, ia berdiri dan mempersilakan siswi SMP untuk menggantikan dirinya.

Susah payah siswa SMP mirip kakek itu berdiri dan bersandar di dinding kaca. Payung biru muda pucatnya ia jadikan tongkat. Tapi pengelihatanku kabur, ia memegang pena ataukah cerutu.

Teman sebelahku telah berganti menjadi siswi SMP. Namun, busway belum juga datang. Sudah lewat 15 menit. Siswa SMP mirip kakek-kakek itu masih memainkan silinder di tangannya, tidak jelas apakah ia menulis atau berusaha menyalakan cerutu.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Ah, yehaa. Siswi SMP di sebelahku berbinar-binar, namun siswa SMP mirip kakek yang sedang bersandar di dinding kaca itu biasa saja. Sorot matanya tetap tajam, tapi cenderung datar, bukan berbinar.

Alat pemindah raga berwarna hijau itu semakin dekat. Semua orang dalam shelter itu menatap lekat. Bersiap. Dua belas detik kemudian, kepala busway sudah teronggok di depan shelter. Satu per satu mantan penumpang busway turun dan keluar shelter. Satu per satu tukang naik busway yang sedari tadi menunggu akhirnya masuk. Masuk ke dalam busway. Kuda-kudaku lemah, oleh karena itu memilih giliran akhir daripada tersuruk dada-dada penumpang lain dan tergelincir.

Tinggal aku bersama siswa SMP yang mirip kakek-kakek tadi. Tak kusangka, ia malah mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Kupersilakan ia, namun siswa itu masih ngotot menyuruhku masuk duluan daripadanya. Aku masuk. Tiba-tiba, mobil hijau yang mengangkutku ini bergerak maju, baru setelah satu kaki siswa itu masuk. Pintu busway menutup terlalu keras. Siswa itu terjepit, tergelincir, tertarik, dan akhirnya tergilas. Naas.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Sopir busway itu semakin melaju kecepatan tinggi. Entah karena tidak tahu atau bagaimana. Sang kenek busway juga terlihat biasa saja menghitung penumpang. Busway penuh. Aku mual oleh karena pola setir si sopir yang hewan saja pun akan mencemoohnya. Apa sopir ini tidak lulus ujian SIM B ya, pikirku. Tapi, bagaimana ia dapatkan SIM B kalau tak lulus ujian. Aiihh.. Baru kuingat, bisa saja kekuatan lobi dan komprominya yang bekerja untuk itu. Dasar manusia.

Di dalam busway, penumpang penuh.
Di pemberhentian dekat Pasar Sayang Mama, beberapa ibu-ibu gendut yang lebih mirip ikan paus berjalan dengan ekornya itu turun busway. Sekeluarnya mereka, bermol-mol molekul oksigen lebih banyak tersedia. Beberapa penumpang menghela napas.
Di pemberhentian dekat rumah sakit Panti Kusut, beberapa laki-laki tua beranjak keluar busway bersama bawaan-bawaan yang menyita tempat. Sekeluarnya mereka, bersenti-senti tempat tersedia kembali. Beberapa penumpang tampak meluruskan kaki.

Mual semakin menjadi. Busway seperti oleng ketika membelok. Berkali-kali sopir memancal rem mendadak. Benar-benar sopir tak lulus ujian SIM B! Umpatku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang lelaki seumuran bapakku dengan perut buncit menyanding disampingku. Mungkin karena posisiku tepat menghadap pintu busway. Kiranya, ia akan turun di pemberhentian berikutnya. Pun juga aku.

Di pemberhentian Koperasi Mahamurid, aku berjalan keluar busway. Namun, bapak-bapak tambun di sebelahku tadi menyerobot dan mendahuluiku keluar. Sekedipan mata, bapak tambun tadi sudah duduk di bangku shelter dan tak ada sisa bangku lagi untukku.

Aku bersandar di dinding kaca shelter, membuka tas selempangku yang sedari tadi kuhadapkan pada bokong. Kutemukan dompet hitam punyaku, ada foto wanita menyembul di antara selipan kartu identitas, kartu anggota, ATM, dan semcamnya. Hm.. Manusia modern memang terlalu banyak mendewakan validasi.

Foto wanita itu serasa bergerak-gerak dan melirik kearah bapak-bapak tambun tadi. Lantas, aku pun mengalih pandang ke bapak itu. Aneh, tiba-tiba kulihat ia lebih mirip anak kecil bertubuh montok daripada bapak-bapak tambun. Ia mempermainkan jempol tangannya, duduk di bangku shelter dengan kaki yang mekangkang. Terlalu aneh jika kusebut ia bapak-bapak tambun paruh baya.

Aku mulai merasa tak beres dengan orientasi otakku yang kian tak lazim.

Dua belas menit kemudian, seorang nenek masuk shelter dan nampak linglung. Nenek tak kebagian bangku untuk duduk. Kemudian, nenek itu ikut bersandar di dinding kaca sepertiku. Kulihat bapak-bapak tambun yang lebih mirip anak kecil itu tidak juga beranjak dari duduknya untuk sekedar memberi ruang duduk bagi nenek-nenek itu. Malah ia semakin menjadi dengan mengangkangkan kedua kakinya lebih lebar.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Nenek-nenek yang bersandar di sebelahku tampak bahagia, namun bapak-bapak tambun mirip anak kecil tengil itu masih sibuk dengan jempol tangannya.

Bak anak kecil yang terlalu sibuk dengan mainannya sehingga lupa daratan, bapak-bapak tambun itu tak segera naik ketika busway sudah di depan mata. Mungkin ia tidak berniat naik busway jalur ini, pikirku. Namun, ketika pintu mulai menutup, seketika mata bapak-bapak itu melongok ke arah pintu busway. Tangannya meraih-raih pintu. Namun, pintu kembali menutup terlalu kencang. Sistem memang tidak pernah manusiawi, sekalipun dikendalikan manusia.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Di dalam busway, penumpang tidak penuh. Kursi banyak tersisa. Banyak tempat untuk selonjor kaki. Banyak oksigen tersedia.

Aku terhanyut oleh laju jalan. Kelopak mataku cenderung ingin menutup. Aih, ngantuk. Tapi, di pemberhentian berikutnya aku harus turun.

Dua belas detik kemudian, alat pemindah raga ini tiba di shelter Lembah Angan. Aku kembali teringat oleh orientasi otakku yang agak menyimpang di dua shelter sebelumnya.
Kali ini, yang menyerobot bukannya siswa SMP atau bapak-bapak tambun lagi. Kali ini yang menyerobot adalah anak perempuan kecil. Namun, kulihat ada yang tak beres. Ah! Anak kecil itu mirip dengan foto wanita dalam dompetku!

Kulekatkan pandangku sekali lagi. Ia tak tampak berubah tua atau berubah lebih muda. Gerak-gerik perempuan kecil itu sangat alami seumurannya. Aku menghela napas, oleh karena yakin kalau orientasi otakku kali ini sudah sembuh dari penyimpangan. Tapi, siapa dia.

Perjalananku dengan busway berakhir di shelter Lembah Angan. Aku melangkah keluar dari shelter. Melangkah menjauhi jeda, memaksimalkan kerja organ paling bawahku yang paling dekat dengan bumi.

Aku bukan tukang naik busway yang kehilangan orientasi. Aku bukan penunggu kematian. Tapi aku tetap manusia yang penuh lobi dan kompromi. Aku juga manusia yang mendewakan validasi.

Kuayun langkah menjauhi shelter penuh kontemplasi itu. Ruang sempit itu membantuku menyadari bahwa dunia itu luas.

Kulayangkan pandang ke sekeliling. Terkejut, kudapati lembah angan yang semestinya adalah tempat teduh, kini berubah gersang. Sangat gersang. Kembali terkejut, di bawah tiang-tiang yang entah berfungsi apa, kudapati siswa SMP, bapak-bapak tambun, dan perempuan kecil tadi. Otakku semakin berputar, mengapa arahku menjadi seperti ini. Baru kusadari lewat memori tentang potongan ayat di kitab suci yang kuanut, benar-benar Lembah Angan ini lebih mirip Padang Mahsyar!


Gua Sementara untuk Hidup, 2 Maret 2011
11:19 Waktu Indonesia Kamar