Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 16 Maret 2011

Jangan Main-main dengan Film (Indonesia) !


Industri perfilman Indonesia boleh jadi telah mengantongi sejarah panjang. Usianya pun sudah tak pantas dikatakan muda. Diawali dengan film berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang dianggap sebagai film paling tua di Indonesia hingga film sebangsa Catatan Si Boy dan Blok M pada dekade 1970-an sampai 1980-an yang sempat membawa film Indonesia berjaya di negeri sendiri. Setelah itu, wajah perfilman Indonesia sempat suram pada tahun 1990-an oleh karena usaha eksploitasi konsumen yang dilakukan oleh para sineas pada masanya. Namun, pada kisaran abad baru, muncul geliat positif dari sineas-sineas Indonesia yang menelurkan film-film inspiratif dan inovatif semacam Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, dan sebagainya. Fluktuatif!

Sementara itu, pada perkembangan selanjutnya, film-film Indonesia juga sempat diwarnai dengan film bergenre horror, seks, atau horror bernuansa seks, dan sebaliknya. Fenomena ini sempat mengundang beragam respons dari masyarakat Indonesia, dari yang menikmati, jenuh, sampai yang antipati. Selanjutnya, menyikapi kejenuhan masyarakat Indonesia, beberapa sineas lain mulai memproduksi film yang tak sekedar dipandang sebagai movies, tapi juga sebagai film dan sinema hingga muncullah film bernada edukasi dengan sinematografi yang bisa dibilang tidak asal-asalan. Sebut saja film Laskar Pelangi, Ruma Maida, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan lain-lain yang sempat memberi warna lain dalam perkembangan film Indonesia.

Sejatinya, telah dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Beberapa hal ini diperkuat oleh James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Movies memandang film hanya sebagai barang dagangan. Sinema memandaing film dari segi sinematografinya, dan sisanya dipandang dari segi pendidikan dan budayanya.

Beralih pada perkembangan industri film Indonesia, akhir-akhir ini, muncul kabar bahwa Motion Picture Association of America (MPAA) atau asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Hal ini merupakan reaksi keras atas dilayangkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor. Dalam surat edaran itu, dinyatakan bahwa penghasilan yang dibayarkan keluar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu, merupakan royalti yang dikenakan PPh 20 persen. Peraturan tersebut merupakan hasil penafsiran baru atas undang-undang dan peraturan tentang pajak bea masuk yang lama. Dengan pajak yang boleh dibilang sangat tinggi itu, jelas MPAA menjadi enggan beroperasi di Indonesia walaupun dalih penaikan pajak itu, seperti yang diberitakan media, adalah dalam upaya mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik.

Respons keras MPAA tersebut bisa jadi mengundang pihak distributor film non-Hollywood untuk ikut serta tidak mengedarkan filmnya ke Indonesia lantaran pajak ini berlaku untuk semua film impor. Apa jadinya Indonesia tanpa film-film impor yang pada kenyataannya justeru film-film inilah yang memenuhi jagat bioskop-bioskop Indonesia dan menjadi satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk datang ke exhibitor (bioskop-bioskop). Ironis memang, film nasional justru menjadi pilihan keberapa setelah film-film impor. Namun, fenomena ini agaknya jangan dianalisis dari satu sudut. Kecenderungan masyarakat Indonesia lebih memilih film impor bisa jadi karena kejenuhannya pada film-film nasional yang kebanyakan hanya memuat tema ‘itu-itu saja’, pesan dan amanatnya juga tidak jauh-jauh dari ‘semoga film ini laku dipasaran’. Analisis ini memunculkan pertanyaan, apa benar pengenaan pajak dan bea impor ini—yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop—akan meningkatkan jumlah dan kualitas film nasional?

Secara awam, pikir saja, kalau pola pikir para sineas Indonesia hanya sebatas ‘semoga film ini laku di pasaran’, tanpa mempertimbangkan pesan dan dampak yang terjadi pada masyarakat jika terus-menerus dicekoki film kualitas pas-pasan yang mudah bikin jenuh, masyarakat Indonesia akan semakin meninggalkan bioskop dan film Indonesia. Mereka akan cari cara cerdas untuk mendapatkan film luar demi memuaskan hasrat nonton film yang sesuai kebutuhan dan kemauan mereka.

Sementara itu, masyarakat Indonesia yang mentalnya terima-terima saja dicekoki film dangkal itu, lambat laun akan terpengaruh juga pola pikirnya. Kalau Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sudah tergolong tinggi dan mumpuni, ini tak jadi masalah lantaran mereka sudah bisa memilih, memilah, dan menyikapi. Namun, coba tengok masyarakat di belahan Indonesia lain yang masih butuh pengawasan dan pendampingan, berapa persen masyarakat Indonesia yang masih buta huruf, berapa persen masyarakat Indonesia yang belum disentuh pendidikan. Kalangan-kalangan tersebut yang akan berpotensi menjadi bebal oleh film-film Indonesia yang minim pesan. Bagaimanapun juga, yang terlihat itu akan lebih mudah diingat. Kalau begitu, kapan cita-cita Indonesia mencerdaskan kehiadupan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia seutuhnya dan seluruhnya berhasil.

Tak hanya berhenti sampai sineas dan pemirsa, dukungan pemerintah juga penting untuk mencipta film Indonesia yang berkualitas. Pemerintah tidak cuma menaikkan pajak untuk meningkatkan APBN, tapi juga memanfaatkannya untuk pemberian subsidi bagi sineas-sineas berprestasi, mengembangkan sekolah-sekolah film, dan memberikan perhatian pada elemen-elemen lain yang mendukung perfilman nasional, semacam festival-festival atau penganugerahan film. Dari sini, timbullah sinergi yang kuat.

Polemik seputar perpajakan film ini, baik langsung maupun tidak, akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perfilman Indonesia. Oleh karenanya, kita tunggu saja. Pasalnya, seperti diberitakan media, 30 Maret 2011 mendatang Jero Wacik beserta jajarannya akan mengumumkan hasil keputusan terkait pajak film nasional dan impor. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa film adalah cerminan budaya suatu bangsa, maka apapun keputusannya, membuat film kualitas rendah dan minim pesan berpotensi membuat masyarakat Indonesia jadi bebal. Mari renungkan.


14 Maret 2011

Tentang Hidup Korban PKI dan Seksualitasnya


Judul : Blues Merbabu
Pengarang : Gitanyali
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : Februari 2011
Tebal : vi + 186 halaman
Genre : Novel
ISBN : 978-979-91-0315-4
Harga : Rp 40.000,-


Sebagai Negara yang diperjuangkan dan lahir 65 tahun yang lalu, asam garam sejarah Indonesia bolehlah dikatakan telah bermacam ragam. Mulai dari perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga luka sejarah di sekitaran 1960-an. Peristiwa yang disebut terakhir itu masih cenderung gelap karena kesamaran bukti-bukti kesejarahannya. Sebut saja nasib para lakon PKI (Partai Komunis Indonesia) dan antek-anteknya yang hingga kini masih belum terungkap secara gamblang laiknya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

Blues Merbabu mencoba menyorot kehidupan salah seorang lakon PKI dan keluarganya dari sisi yang polos dan tak banyak mencaci penguasa saat itu. Pusatnya pada tokoh bernama Gitanyali Singayuda, anak dari Sutanto Singayuda, seorang lakon PKI yang sangat gigih, berkarakter, dan sangat mengutamakan pendidikan. Tak heran ketika melihat Gitanyali semasa masih bocah telah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tegas. Gitanyali merasa sangat menyatu dengan tanah kelahirannya, di lembah Gunung Merbabu.

Kesamaan nama antara pengarang dan tokoh utama menyiratkan kesan bahwa novel ini adalah semacam catatan harian sang pengarang. Bahkan, dituliskan pula, dalam kisahnya ia mengaku sangat gemar menulis catatan harian. Sebagai anak PKI yang orang tuanya diciduk pada sekitaran 1960-an, Gitanyali dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Segala kesialan dan nasib yang terpaksa tidak beruntung sebagai anak PKI ia hadapi dengan bertahan, bukan melawan. Ia menyebut perjuangannya menyikapi kehidupannya dengan suloyo.

Suloyo diartikan sebagai ‘mengingkari’, tidak akan memenuhi janji, menidakkan, meski di luar kelihatannya mengiyakan. Gitanyali pun menyadari bahwa mungkin ini adalah dorongan bersikap bagi orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Melalui gambaran ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sang tokoh bertindak seolah tidak ada apa-apa dalam kehidupan masa lalunya walaupun sebenarnya ia suloyo. Kekecewaan yang dirasakan Gitanyali sebagai anak PKI tidak ia gubris sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Bahkan, ia tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dalam hidupnya, ia telanjur menjalani apa yang ia jalani. Mungkin di sinilah daya tarik novel ini, ketegaran sikap seorang anak PKI.

Karakteristik Blues Merbabu adalah pada gaya penceritaan yang polos, lugas, dan tidak menggebu-gebu walaupun banyak sekali scene tentang petualangan seksual sang tokoh. Di buku ini juga banyak ditemui kisah-kisah pergaulan anak muda. Dari soal musik, film, sampai ke Mushroom Omelette yang memabukkan. Ia mampu mengkover yang vulgar dan panas menjadi sesuatu yang lazim dan normal. Ia menulisnya dengan mengalir, santai, angkuh, dan tak ada sedu sedan. Tak berlebihan bila dikatakan, di sinilah kekuatannya hingga dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa tak hanya seks belaka yang dieksplorasi, kekuatan karakter tokoh utamanya menggiring pembaca untuk ikut larut di dalamnya.

Novel ini tak dilengkapi keterangan latar belakang penulis seperti novel-novel lain meskipun karya ini adalah novel pertama Gitanyali. Entah apa yang menjadi latar belakang hal tersebut, entah untuk kepentingan politis atau kepentingan diplomatis. Tanpa berniat melebih-lebihkan, novel belatarbelakang sejarah ini cukup sempurna sebagai sebuah karya hasil transkripsi luka sejarah di era 1960-an. Pengaburan identitas penulis ini juga menguatkan adanya efek-efek kenyataan atau realitas. Sesuai diktum hiper-realitas yang dituliskan Gitanyali di bagian awal novelnya, “…semua yang ditulis ini benar adanya, kecuali bahwa dia sebuah kenyataan.”

Buat Para 'Tukang Naik Busway'


Buat para tukang naik busway, setiap momen dalam shelter adalah jeda sebelum sampai pada perjalanan selanjutnya. Bisa jadi hanya dalam shelter itulah, organ paling bawah manusia yang menempel di bumi bergeming. Sebelum ia beranjak mendekati orientasi-orientasi yang bercokol ketika diucapkan pada petugas shelter, sebelum ia terbawa oleh alat pemindah raga dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya.

Alat pemindah raga yang ditunggu-tunggu itu pun tidak lebih dari sekedar mesin yang bersistem. Sistem yang statis. Layaknya roda atau kumparan yang senantiasa berotasi, setia pada gaya sentripetal yang melingkupinya. Kecuali ketika sentrifugal mengusik, semua yang ada di atas roda atau kumparan itu melesat jauh dan sentripetal menjadi kacau. Namun, oleh karena manusia adalah penyetir sistem, busway lantas tidak sesederhana sentripetal dan sentrifugal. Sebab manusia terlalu banyak lobi dan kompromi.

Para tukang naik busway pun tidak lebih dari manusia dengan segala orientasi. Bahkan, ada kaum-kaum tertentu yang kehilangan orientasinya. Mereka menunggu di shelter busway seperti menunggu kematian. Padanya, kompromi berjalan begitu melesat-lesat hingga tujuan awalnya begitu kabur. Namun, bisa kubilang, yang kehilangan orientasi itu yang lebih memandang setiap bagian dari perjalanannya. Oleh karena otaknya terus bekerja, berkompromi, melobi.

Para tukang naik busway yang punya orientasi jelas akan mengingat-ingat satu hal hingga sampai di pemberhentian yang diinginkan, lantas yang terjadi dalam proses perjalanan itu yang dapat giliran kabur.

Sekarang, kuberitahu. Posisiku sedang di shelter busway dekat SMP Nusantara 45. Kakiku menekuk, bergeming. Dengan kata lain, aku sedang duduk dengan pantat terjejal di bangku shelter yang dingin. Bersebelahan dengan seorang siswa SMP. Bawahan seragamnya yang biru tua itu lebih mirip kain pel di kos-kosanku. Kusam dan buluk. Namun, aku lebih melihatnya bak kakek-kakek memegang cerutu daripada siswa yang sedang memegang pena.

Tiba-tiba, rambut siswa SMP itu berubah putih keabu-abuan, mirip uban. Kulitnya yang sehat dan segar itu berubah keriput dan gelap, mirip kulit kakek 70 tahunan. Yang tak berubah adalah baju dan bawahan seragamnya. Oh! Ada lagi, sorot matanya juga tidak berubah. Tetap tajam dan membidik tepat.

Dua belas menit kemudian, seorang siswi SMP masuk shelter dan bersandar di dinding kaca. Ia tak kebagian bangku untuk duduk. Lalu, blast!! Sorot mata siswa SMP yang kubilang berubah menjadi kakek itu menembak siswi SMP. Seketika itu, ia berdiri dan mempersilakan siswi SMP untuk menggantikan dirinya.

Susah payah siswa SMP mirip kakek itu berdiri dan bersandar di dinding kaca. Payung biru muda pucatnya ia jadikan tongkat. Tapi pengelihatanku kabur, ia memegang pena ataukah cerutu.

Teman sebelahku telah berganti menjadi siswi SMP. Namun, busway belum juga datang. Sudah lewat 15 menit. Siswa SMP mirip kakek-kakek itu masih memainkan silinder di tangannya, tidak jelas apakah ia menulis atau berusaha menyalakan cerutu.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Ah, yehaa. Siswi SMP di sebelahku berbinar-binar, namun siswa SMP mirip kakek yang sedang bersandar di dinding kaca itu biasa saja. Sorot matanya tetap tajam, tapi cenderung datar, bukan berbinar.

Alat pemindah raga berwarna hijau itu semakin dekat. Semua orang dalam shelter itu menatap lekat. Bersiap. Dua belas detik kemudian, kepala busway sudah teronggok di depan shelter. Satu per satu mantan penumpang busway turun dan keluar shelter. Satu per satu tukang naik busway yang sedari tadi menunggu akhirnya masuk. Masuk ke dalam busway. Kuda-kudaku lemah, oleh karena itu memilih giliran akhir daripada tersuruk dada-dada penumpang lain dan tergelincir.

Tinggal aku bersama siswa SMP yang mirip kakek-kakek tadi. Tak kusangka, ia malah mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Kupersilakan ia, namun siswa itu masih ngotot menyuruhku masuk duluan daripadanya. Aku masuk. Tiba-tiba, mobil hijau yang mengangkutku ini bergerak maju, baru setelah satu kaki siswa itu masuk. Pintu busway menutup terlalu keras. Siswa itu terjepit, tergelincir, tertarik, dan akhirnya tergilas. Naas.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Sopir busway itu semakin melaju kecepatan tinggi. Entah karena tidak tahu atau bagaimana. Sang kenek busway juga terlihat biasa saja menghitung penumpang. Busway penuh. Aku mual oleh karena pola setir si sopir yang hewan saja pun akan mencemoohnya. Apa sopir ini tidak lulus ujian SIM B ya, pikirku. Tapi, bagaimana ia dapatkan SIM B kalau tak lulus ujian. Aiihh.. Baru kuingat, bisa saja kekuatan lobi dan komprominya yang bekerja untuk itu. Dasar manusia.

Di dalam busway, penumpang penuh.
Di pemberhentian dekat Pasar Sayang Mama, beberapa ibu-ibu gendut yang lebih mirip ikan paus berjalan dengan ekornya itu turun busway. Sekeluarnya mereka, bermol-mol molekul oksigen lebih banyak tersedia. Beberapa penumpang menghela napas.
Di pemberhentian dekat rumah sakit Panti Kusut, beberapa laki-laki tua beranjak keluar busway bersama bawaan-bawaan yang menyita tempat. Sekeluarnya mereka, bersenti-senti tempat tersedia kembali. Beberapa penumpang tampak meluruskan kaki.

Mual semakin menjadi. Busway seperti oleng ketika membelok. Berkali-kali sopir memancal rem mendadak. Benar-benar sopir tak lulus ujian SIM B! Umpatku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang lelaki seumuran bapakku dengan perut buncit menyanding disampingku. Mungkin karena posisiku tepat menghadap pintu busway. Kiranya, ia akan turun di pemberhentian berikutnya. Pun juga aku.

Di pemberhentian Koperasi Mahamurid, aku berjalan keluar busway. Namun, bapak-bapak tambun di sebelahku tadi menyerobot dan mendahuluiku keluar. Sekedipan mata, bapak tambun tadi sudah duduk di bangku shelter dan tak ada sisa bangku lagi untukku.

Aku bersandar di dinding kaca shelter, membuka tas selempangku yang sedari tadi kuhadapkan pada bokong. Kutemukan dompet hitam punyaku, ada foto wanita menyembul di antara selipan kartu identitas, kartu anggota, ATM, dan semcamnya. Hm.. Manusia modern memang terlalu banyak mendewakan validasi.

Foto wanita itu serasa bergerak-gerak dan melirik kearah bapak-bapak tambun tadi. Lantas, aku pun mengalih pandang ke bapak itu. Aneh, tiba-tiba kulihat ia lebih mirip anak kecil bertubuh montok daripada bapak-bapak tambun. Ia mempermainkan jempol tangannya, duduk di bangku shelter dengan kaki yang mekangkang. Terlalu aneh jika kusebut ia bapak-bapak tambun paruh baya.

Aku mulai merasa tak beres dengan orientasi otakku yang kian tak lazim.

Dua belas menit kemudian, seorang nenek masuk shelter dan nampak linglung. Nenek tak kebagian bangku untuk duduk. Kemudian, nenek itu ikut bersandar di dinding kaca sepertiku. Kulihat bapak-bapak tambun yang lebih mirip anak kecil itu tidak juga beranjak dari duduknya untuk sekedar memberi ruang duduk bagi nenek-nenek itu. Malah ia semakin menjadi dengan mengangkangkan kedua kakinya lebih lebar.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Nenek-nenek yang bersandar di sebelahku tampak bahagia, namun bapak-bapak tambun mirip anak kecil tengil itu masih sibuk dengan jempol tangannya.

Bak anak kecil yang terlalu sibuk dengan mainannya sehingga lupa daratan, bapak-bapak tambun itu tak segera naik ketika busway sudah di depan mata. Mungkin ia tidak berniat naik busway jalur ini, pikirku. Namun, ketika pintu mulai menutup, seketika mata bapak-bapak itu melongok ke arah pintu busway. Tangannya meraih-raih pintu. Namun, pintu kembali menutup terlalu kencang. Sistem memang tidak pernah manusiawi, sekalipun dikendalikan manusia.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Di dalam busway, penumpang tidak penuh. Kursi banyak tersisa. Banyak tempat untuk selonjor kaki. Banyak oksigen tersedia.

Aku terhanyut oleh laju jalan. Kelopak mataku cenderung ingin menutup. Aih, ngantuk. Tapi, di pemberhentian berikutnya aku harus turun.

Dua belas detik kemudian, alat pemindah raga ini tiba di shelter Lembah Angan. Aku kembali teringat oleh orientasi otakku yang agak menyimpang di dua shelter sebelumnya.
Kali ini, yang menyerobot bukannya siswa SMP atau bapak-bapak tambun lagi. Kali ini yang menyerobot adalah anak perempuan kecil. Namun, kulihat ada yang tak beres. Ah! Anak kecil itu mirip dengan foto wanita dalam dompetku!

Kulekatkan pandangku sekali lagi. Ia tak tampak berubah tua atau berubah lebih muda. Gerak-gerik perempuan kecil itu sangat alami seumurannya. Aku menghela napas, oleh karena yakin kalau orientasi otakku kali ini sudah sembuh dari penyimpangan. Tapi, siapa dia.

Perjalananku dengan busway berakhir di shelter Lembah Angan. Aku melangkah keluar dari shelter. Melangkah menjauhi jeda, memaksimalkan kerja organ paling bawahku yang paling dekat dengan bumi.

Aku bukan tukang naik busway yang kehilangan orientasi. Aku bukan penunggu kematian. Tapi aku tetap manusia yang penuh lobi dan kompromi. Aku juga manusia yang mendewakan validasi.

Kuayun langkah menjauhi shelter penuh kontemplasi itu. Ruang sempit itu membantuku menyadari bahwa dunia itu luas.

Kulayangkan pandang ke sekeliling. Terkejut, kudapati lembah angan yang semestinya adalah tempat teduh, kini berubah gersang. Sangat gersang. Kembali terkejut, di bawah tiang-tiang yang entah berfungsi apa, kudapati siswa SMP, bapak-bapak tambun, dan perempuan kecil tadi. Otakku semakin berputar, mengapa arahku menjadi seperti ini. Baru kusadari lewat memori tentang potongan ayat di kitab suci yang kuanut, benar-benar Lembah Angan ini lebih mirip Padang Mahsyar!


Gua Sementara untuk Hidup, 2 Maret 2011
11:19 Waktu Indonesia Kamar

Jumat, 28 Januari 2011

Tentang Obrolan di Dapur sampai Wakil Rakyat (tulisan ngalor-ngidul)


Tulisan ini ada demi menuruti hasrat untuk kembali membuat blogpost lagi. Itu saja. :D

Entah kenapa saya dilahirkan dari seorang ayah aktivis merangkap jurnalis merangkap politisi dengan seorang ibu ‘pengajar’ yg aktivis juga, aktivis keluarga maksudnya. Hal ini membuat saya terbiasa di-demokratis-kan sejak orok dan dibiasakan belajar sejak dilahirkan. Nilai-nilai ini membuat saya terbatasi, terbebani, sekaligus terluaskan. *bingung*

Ah, saya tidak akan banyak membahas tentang curat-murat pribadi. Pembicaraan dimulai dari sekelumit ceritera di dapur rumah.

Ketika itu, ayah, ibu, dan saya sedang sarapan di dapur. Mereka duduk berhadapan dan saya sengaja miring di belakang ibu saya.
Tiba-tiba ayah saya nyeletuk, “saiki wong-wong podo wani lungo-lungo gak usah rapat”.
Ibu saya kontan tertawa terbahak, bernada mengejek.
Lantas, saya ikut nimbrung, “pelesiran?” tanya saya.
Ibu saya mengangguk.
Benar dugaan saya.

Ayah saya pernah mendapat tongkat untuk duduk di kursi DPRD Kabupaten periode 2004-2009 lalu, dan periode selanjutnya harus istirahat karena tidak terpilih. Kalah sama moneypolitics, katanya. Hm. Ibu saya bersyukur karena merasa tidak merugi oleh arus politik uang. Saya yang waktu itu masih belia sekali sudah banyak digerojok curhatan ibu tentang ketakutannya kalau-kalau ayah saya terseret kasus korupsi. Alhasil, saya fine saja dengan tidak terpilihnya beliau. Toh, juga sama saja selama semuanya ikhlas, hehe.
Lanjut ke obrolan tadi.
Pelesiran yang dimaksud dalam percakapan di atas adalah pelesiran oleh anggota-anggota DPRD Kabupaten periode sekarang. Ayah saya curhat masalah itu karena ia empat hari lagi akan bekerja lagi di sana. Jadi staf ahli katanya. Para anggota DPRD Kabupaten saya sekarang itu, menurut sumber, senang sekali mengadakan pelesiran, bahkan sampai melangkahi Bamus. Kasarannya, mau pergi, tinggal pergi, ga pake rapat-rapatan, apalagi musyawarah. Katanya, saat periode ayahku, mereka merasa terbatasi karena sang ketua adalah orang yang notabene gak mau macem-macem.
Hm.. ngenes sekali.

Ibu saya akhirnya melontarkan pertanyaan untuk mengetes ayah saya, “kalau begitu terus, apa yang dilakukan papa untuk menyikapinya?” tandasnya.
“Ya itu kan bisa dihindari tho,Ma. Pake aja alasan aku ono urusan puenting. Biar mereka tidak sakit hati.” Jawab ayahku enteng.
“Lha mosok ngunu terus??” protes ibu saya.
“Ya he-eh. Itu kan sudah termasuk upaya menghindari. Orang-orang di DPR RI itu yang terjerat kasus korupsi kan yang ikut-ikut make uang. Kalau tidak mengambil uangnya kan ga kena.” Jawab ayah saya gampangan.
Saya diam. Berbicara dalam hati. Ibu saya mengangguk takzim. Sembari berdoa mungkin.

Akh.. tiba-tiba saya lupa tulisan ini mau ke arah mana. =.=

Hm, dalam hati, saya bersyukur dihadapkan pada lingkungan yang sedikit banyak mendekatkan dengan dunia politik pemerintahan. Dengan begini, saya tidak punya dalih untuk memandang sesuatu dari satu perspektif.

Hari ini semakin mendekatkan ayah saya dengan hari dimana beliau bekerja di gedung itu lagi. Bagi ibu saya, mungkin ada ‘ketakutan’ tersendiri dibalik ke-tawakkal-annya. Bagi saya, setidaknya ayah saya sudah ada upaya untuk menghindari hal keji itu sehingga saya tidak punya alasan untuk tidak mempercayainya.

Mungkin, bekerja dalam sistem adalah seperti bekerja dalam pusaran mesin yang sudah kuat, ketika daya sudah tidak lagi bisa membenahi kendali yang mulai meleset beberapa derajat dari tujuan, lebih baik menghindar, karena arus terlalu kuat dan telalu kotor untuk diikuti.

Kiranya, begitulah Indonesia yang sangat luas. Bentang alam terhampar luas, beragam suku, beragam bahasa, dan sebagainya. Namun, jangan lupa, Indonesia juga punya potensi yang sangat luas untuk dikorupsi, sedangkan Negara adalah sistem. Ketika sistem sudah kacau dan ternoda di sana-sini, kiranya apa yang harus dilakukan untuk tetap berjalan di jalan yang wajar seperti kata Pancasila? Apakah memang harus menghindar? Hehe.. Tanyakan sendiri. © Jan2011


Mulai 9:20 WIB Selesai 11:11 WIB --280111--
@ruangtengah

sumber gambar

Sabtu, 26 Juni 2010

Sebuah Persembahan untuk Piala Dunia 2010 dan Bonek: Ada Apa dengan Berita Olahraga??

under construction

Inspirasi: Bukan Sekedar Menggetarkan Hati



Sugiarto-Muntamah: Dua (Malaikat) Cerdas, Gigih, dan Ramah. Bahkan, kata malaikat atau pahlawan manusiawi pun tidak cukup mewakili. Tak dinyana, beruntunglah saya yang lahir dari keduanya. Tak terelakkan, bagi saya, mereka adalah inspirasi yang lebih dari sekedar menggetarkan hati.


Sejarah (?): Secara Fisik Mirip ‘Sampah’, secara Jiwa itu ‘Nyawa’ (Bagian 1)*

Baiklah, obrolan ini sejatinya dimulai dari kata ‘sejarah’. Saya pernah hampir muntah sewaktu SMA hanya karena mendengar kata ‘sejarah’. Saya pikir, hal itu wajar, laiknya kebanyakan siswa lain. Bukan menjadi suatu kebanggaan, hanya ingin memaparkan bahwa saya pernah mengalami rasa mayoritas. Ya, saya benci mata pelajaran Sejarah dan segala tetek bengeknya. Akhirnya, takdir berkata, saya masuk jurusan IPA dan Good Bye S.E.J.A.R.A.H…! Merdeka!, pikir saya saat itu.

Dua tahun saya lewati, hidup tanpa mata pelajaran Sejarah. Pikiran siswa seperti saya waktu itu, sejarah cuma hal-hal yang berbau jadul alias jaman dulu, berhubungan dengan politik, sosial, ekonomi. Sungguh membosankan dan bikin ngantuk! Saya sempat sedikit antipati dengan guru sejarah. Alasannya adalah karena saya tidak tahu-menahu apa itu sejarah dan mengapa kita harus belajar sejarah.

Ya. Buku-buku pelajaran sejarah itu pun tidak pernah berhasil memotivasi saya. Kala itu, buku yang saya pelajari terlalu memaksa saya untuk terburu-buru belajar tentang sejarah manusia, sejarah indonesia, sejarah dunia, dll tanpa tahu sebenarnya darimana datangnya sejarah, apa sesungguhnya hakikat sejarah, dan seberapa penting sejarah untuk manusia. Kalaupun ada penjelasan mengenai hal itu, itu hanya sebatas retorika. Kalau kata saya, itu tidak membumi (wkeke…). Boleh jadi, ini salah satu faktor penyebab pelajaran sejarah menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Apalagi, tidak banyak siswa Indonesia yang punya kemauan mengkaji sejarah secara lebih arif dan manusiawi. Kalau seperti ini, wajar lah kalau misalnya sejarah itu dikatakan membosankan.

Sebenarnya, saya tidak berniat berdialektika panjang lebar tentang bagaimana mengajar pelajaran sejarah kerena saya bukan sejarahwan ataupun guru sejarah. Biarlah, mereka lebih mampu daripada saya. Tapi, saya akan memberanikan diri mengobral untaian ingatan dan gagasan sederhana saya tentang sejarah. Jika kurang valid, boleh lah disalahkan. :D

Sebelum semakin tersesat, mari kita sisir lebih dahulu sejarahnya Sejarah. Jika dirunut dari makna katanya, sebagaimana yang dikatakan kitab wajib saya (hehe..), yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘sejarah’ ini bermakna leksikal ‘pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau’. Kali ini, saya berani berpandangan bahwa pemaknaan ini kurang lengkap. Yah, sebelumnya, saya ingin berapologi bahwa perspektif selalu bergantung pada sudut pengelihatan masing-masing. Saya juga tidak ingin membatasi pada suatu pemaknaan yang saklek.

Baik, sebelum saya memaparkan rumusan saya tentang ‘sejarah’, barangkali lebih afdhol jika dipaparkan bukti-buktinya. Boleh jadi, ini wujud pembebasan pemaknaan sebelum berpanjang lebar bergulat dengan pendefinisian ‘sejarah’. Suatu penyederhanaan, ya mencoba pola induktif. (©26Jun10-Ar)

(bersambung…)

*) judul pengganti dari tulisan Kunamai Mereka sebagai Sejarah
.

Kamis, 24 Juni 2010

PENGARUH BAHASA MELAYU TERHADAP BAHASA INDONESIA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DAN MEDIA INTEGRITAS BANGSA INDONESIA

Oleh :
Ariny Rahmawati
Fakultas Ilmu Budaya, UGM


I. Pengantar

Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Demikianlah, bunyi ikrar ketiga sumpah pemuda yang telah dirumuskan oleh para pemuda bangsa Indonesia. Bunyi ikrar ketiga dalam sumpah pemuda itu menjelaskan bahwa yang menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Berdasarkan ikrar tersebut, bahasa Indonesia menjadi sangat jelas keberadaannya sebagai media integritas bangsa.

Latar Belakang Masalah

Dari sudut intern linguistik, bahasa Indonesia merupakan salah satu varian historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa Melayu. Dikatakan varian historis karena bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari bahasa Melayu, bukan dari bahasa lain di Asia Tenggara ini. Dikatakan varian sosial karena bahasa Indonesia dipergunakan oleh sekelompok masyarakat yang menamakan diri bangsa Indonesia yang tidak sama dengan bangsa Malaysia atau bangsa Brunei yang mempergunakan varian bahasa Melayu lain. Dikatakan varian regional karena bahasa Indonesia dipergunakan di wilayah yang sekarang disebut Republik Indonesia (Kridalaksana, 1991 : 2).

Berdasarkan paparan tersebut, dapat diketahui bahwa ada hubungan erat antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Hubungan tersebut menimbulkan banyak efek. Diantaranya adalah banyaknya penggunaan kata serapan dari bahasa Melayu dalam aktivitas komunikasi verbal di Indonesia. Sebagaimana dalam sejarah, bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan mengenai keterkaitan antara dua bahasa ini. Hal ini merupakan suatu upaya untuk membuka sejarah dan menilik fakta dibalik pemakaian bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Selain itu, pembahasan ini juga didedikasikan sebagai sikap objektif dan reflektif bangsa Indonesia terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia.

Rumusan Masalah

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia ternyata berakar dari bahasa Melayu. Hal ini telah menimbulkan perdebatan sejak lama. Bahkan, Malaysia yang merupakan negara tetangga dan serumpun dengan Indonesia tengah melakukan upaya klaim terhadap bahasa Indonesia yang telah menjadi alat komunikasi di Indonesia selama bertahun-tahun. Maka, dalam makalah ini, pembahasan difokuskan pada perkembangan bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia kaitannya dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Rumusan masalah yang mendasar adalah berikut ini.
(1) Bagaimana perkembangan bahasa Melayu di dunia dan di Indonesia?
(2) Bagaimana kata-kata serapan dari bahasa Melayu mempengaruhi bahasa Indonesia sebagai media integritas bangsa Indonesia?

Tujuan

Secara historis, banyak teori mengatakan bahwa bahasa Indonesia diadopsi dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai varian dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, tujuan mendasar pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui perkembangan bahasa Melayu di dunia dan di Indonesia. Selain itu, pembahasan topik ini juga bertujuan mengetahui bagaimana kata-kata serapan Melayu mempengaruhi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama di Indonesia.

II. Bahasa Melayu dalam Perkembangannya sebagai Alat Komunikasi

Slametmuljana di dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara menunjukkan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang ada di daerah sekitar Indocina, meliputi Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, Jarai, Sedang, Mergui, Khaosan, Shan, dan sejenisnya. Para pakar lainnya mencari asal usul bahasa Melayu sampai ke Melayu Purba, Proto-Malay, dan Proto-Malayic. Proto-Malay adalah bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa rumpun Melayu pertama (1987:21).

Bersamaan dengan itu, para pakar bahasa membagi bahasa Melayu ke dalam tujuh zaman. Dimulai dari bahasa tertua, dikenal: (1) bahasa Austronesia Purba, (2) bahasa Melayu Purba, (3) bahasa Melayu Kuno, abad ke-7 sampai ke-14, (4) bahasa Melayu Klasik atau Tengahan, abad ke-14 sampai ke-18, (5) bahasa Melayu Peralihan, abad ke-19, (6) bahasa Melayu Baru, abad ke-20, dan (7) bahasa Melayu Modern meliputi bahasa Indonesia, bahasa Malaysia, serta bahasa Melayu Brunei dan Singapura.

Bahasa Melayu Kuno terdapat pada zaman Sriwijaya. Bahasa ini, menurut banyak pakar, ditemukan dalam prasasti Talang Tuwo yang bertahun 684 Masehi dan terdiri atas 14 baris. Selain prasasti Talang Tuwo, masih terdapat sejumlah prasasti dari zaman itu sampai abad ke-13 yang menunjukkan perkembangan bahasa Melayu, meliputi prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi, 10 baris), Kota Kapur (686 Masehi, 10 baris), dan lain-lain.

J.J. de Hollander mengemukakan dalam bukunya Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu bahwa tulisan Melayu Klasik sejak akhir abad ke-13 telah menggunakan huruf Arab. Meskipun demikian, terdapat lafal Arab yang tidak dikenal di dalam bahasa Melayu serta sebaliknya. Oleh karena itu, diciptakan huruf Arab khusus untuk bahasa Melayu. Bahasa Melayu Peralihan pada abad ke-19, selain ditulis dalam huruf Arab, sudah mulai ditulis dalam huruf Latin. Sejak akhir abad ke-19, mulai berkembang bahasa Melayu Rendah yang dikenal sebagai bahasa Melayu Cina. Banyak cerita yang ditulis dalam bahasa ini sebagai hasil karya para sastrawan Cina Indonesia. Bahasa ini bertahan sampai awal 1950-an.

Pada 1901, dikenal ejaan van Ophuijsen yakni ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang dibakukan. Kemudian melalui pendirian Balai Pustaka, pada 1917, dikembangkanlah bahasa Melayu Tinggi yang disusul dengan sejumlah karangan klasik seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, dan sejenisnya. Pada 1928, melalui Sumpah Pemuda, bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada 1938, di Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan disusul dengan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan pada 1954. Kini, secara teratur Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan lima tahun sekali.

Pada 1947, ketika Suwandi menjadi Menteri Pendidikan, diadakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai ejaan Suwandi. Setelah Malaysia merdeka, mereka menyusun ejaan bahasa Malaysia yang berpedoman kepada ejaan bahasa Inggris. Kemudian terjadi pendekatan di antara pakar bahasa Indonesa dan pakar bahasa Malaysia. Meskipun istilah yang digunakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia masih banyak yang berbeda, namun mereka berusaha untuk menyamakan ejaannya.

Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia ketika Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Selain tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928, hal ini juga tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab XV Pasal 36. Berdasarkan kedua hal tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan adalah kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Di samping itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mempunyai andil dalam menciptakan integritas bangsa.

III. Pengaruh Bahasa Melayu terhadap Bahasa Indonesia sebagai Media Integritas Bangsa

Tampaknya, pada zaman Sriwijaya dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan. Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah, waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu, dikenal juga awalan ni- seperti pada kata niminum, niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu, terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.

Kata ‘akan’ tertentu pada zaman itu, kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan imbuhan –nda seperti pada kata ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula, pada zaman itu, dikenal banyak kata yang seperti pada kata yang wala, yang kayu, yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman sekarang, kata yang masih digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih, dan yang terhormat.

Hal-hal yang telah tersebut di atas merupakan sebagian kecil pengaruh kata serapan dari bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Kenyataannya, bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu. Maka, secara langsung dan tidak langsung, pengaruhnya sangat besar. Bahkan, hal ini sudah bukan isu lagi. Secara resmi, bahasa Indonesia telah diakui dan digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari di Indonesia. Jadi, sangat disesali apabila terdapat satu atau dua bangsa yang mengaku memiliki bahasa Melayu secara sepenuhnya. Tentunya, hal ini mengakibatkan perpecahan antar bangsa-bangsa di dunia.

Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai varian sosial dan varian regional, bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di tempat yang berbeda. Perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia, begitu pula bahasa lainnya. Dengan demikian, dari tahun ke tahun, perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa negara tetangga semakin besar. Bagaikan saudara yang diasuh di rumah berbeda, bukan tidak mungkin kedua bahasa ini tidak saling mengenal lagi ketika sudah tua nanti.

IV. Penutup

Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan bahasa Indonesia erat kaitannya dengan bahasa Melayu. Berbagai teori mengatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan varian dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia yang telah menjadi alat komunikasi sehari-hari di Indonesia mempunyai banyak kata serapan yang didapat dari bahasa Melayu. Maka, sikap merasa memiliki bahasa Melayu secara seutuhnya itu bukan merupakan sikap yang arif karena bahasa Melayu bukan milik satu atau dua bangsa tertentu.

Bahasa Melayu adalah bukti eksistensi peradaban dunia. Sebagai varian sosial dan varian regional, hal yang harus diperhatikan adalah bahasa Indonesia dan bahasa lain digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di tempat yang berbeda. Selain dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan bahasa asing, perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia, begitu pula bahasa lainnya.

V. Daftar Pustaka

Kridalaksana, Harimurti. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti (ed). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Hollander, J.J. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Terj. T.W. Kamil. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Pedoman Umum Ejaan Ba-hasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.

Slametmuljana. 1987. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.

Kunamai Mereka sebagai Sejarah

'underconstruction.....'
=D

Senin, 03 Mei 2010

Satu Mei 2010 Bicara

Seandainya burung Garuda di teras Istana Negara Gedung Agung itu bisa bicara, mungkin ia akan berkata, “Kubentang tubuhku di sini sebagai simbol kebijaksanaan dan kepribadian bangsa. Tapi ternyata, yang menduduki pilar-pilar kenegaraan ini justru busuk tersuruk di bawah bantal-bantal kapitalis. Aku seperti tanpa daya. ”
Lalu, seandainya peluh tenaga para demonstran pejuang buruh itu bisa bicara, mereka pun akan berkoar, “Kami tantang angkasa siang ini karena kami telah hadir dalam tubuh dan jiwa para pejuang keadilan untuk buruh. Kami menjadi saksi atas perjuangan mereka.”


Ternyata, satu Mei 2010 bicara. Kawasan jalan Malioboro, siang itu (1/5), menjadi tempat ratusan buruh menyuarakan tuntutannya. Mereka menuntut, antara lain, penghapusan sistem kontrak serta jaminan sosial bagi tenaga kerja.

Pelaksanaan aksi para demonstran menyuarakan tuntutannya berlangsung cukup tertib dan damai. Orasi turun ke jalan diawali oleh Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK) di kawasan nol kilometer Yogyakarta. Aksi tersebut juga dilakukan untuk menyambut para demonstran lainnya. Mereka mengusung tema Bersatu Rebut Kesejahteraan, Lawan Penindasan.

Secara nyata, tak hanya AMUK, sekitar pukul 11.27 WIB, iring-iringan demonstrasi dari Forum Mahasiswa Yogyakarta (FMY) tiba di kawasan nol kilometer. Mereka berorasi di simpang empat Kantor Pos Besar Yogyakarta. Selanjutnya, sekitar pukul 12.09 WIB, para demonstran dari KASBI, SPCI, FORI, AMUK, dan aliansi lainnya turut memenuhi kawasan tersebut. Mereka melangsungkan orasi bersama.

Suasana mulai memanas ketika Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) memenuhi kawasan depan Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. ARM merupakan gabungan dari berbagai aliansi gerakan buruh. Mereka membawa replika babi bergambar SBY-Budiono. Menurut orator ARM, replika babi tersebut merepresentasikan rezim SBY-Budiono. Secara lantang, mereka suarakan 15 tuntutan ARM, diantaranya adalah penolakan terhadap Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang dianggap sebagai awal bagi kehancuran industri manufaktur.

Sekitar pukul 13.01 WIB, terdapat aksi pembakaran replika babi tersebut. Kawanan anggota ARM melingkar dan berlari-lari mengelilingi kobaran api pembakaran replika babi tersebut. Saat itu, tidak ada indikasi pemadaman dan penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Aksi demonstrasi di kawasan nol kilometer tersebut berakhir sekitar pukul 13.28 WIB. Iring-iringan demonstran bergerak jalan bersama menuju Alun-alun Utara Yogyakarta. Oleh karenanya, lalu lintas yang sekitar setengah jam terhambat itu pun harus segera ditertibkan. Sekawanan polisi berusaha memadamkan bara api bekas aksi demonstrasi tersebut untuk melancarkan arus lalu lintas.

Ketika dikonfirmasi, Kapoltabes Yogyakarta, Ahmad Dofiri, menegaskan bahwa ia telah mengerahkan sekitar 500 aparat yang disebar di beberapa titik, yakni kawasan Stasiun Tugu Yogyakarta, gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, kantor Gubernur DIY di Kepatihan, dan Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Dofiri juga menyatakan pendapatnya terhadap aksi demonstrasi peringatan hari buruh 2010 ini. “Kami memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan aksi demonstrasi asal tidak melakukan tindak anarki. Namun, kebersihan jalanan pasca demonstrasi harus juga diperhatikan oleh para pelaku aksi,” tuturnya. [Arin]