Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 16 Maret 2011

Jangan Main-main dengan Film (Indonesia) !


Industri perfilman Indonesia boleh jadi telah mengantongi sejarah panjang. Usianya pun sudah tak pantas dikatakan muda. Diawali dengan film berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang dianggap sebagai film paling tua di Indonesia hingga film sebangsa Catatan Si Boy dan Blok M pada dekade 1970-an sampai 1980-an yang sempat membawa film Indonesia berjaya di negeri sendiri. Setelah itu, wajah perfilman Indonesia sempat suram pada tahun 1990-an oleh karena usaha eksploitasi konsumen yang dilakukan oleh para sineas pada masanya. Namun, pada kisaran abad baru, muncul geliat positif dari sineas-sineas Indonesia yang menelurkan film-film inspiratif dan inovatif semacam Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, dan sebagainya. Fluktuatif!

Sementara itu, pada perkembangan selanjutnya, film-film Indonesia juga sempat diwarnai dengan film bergenre horror, seks, atau horror bernuansa seks, dan sebaliknya. Fenomena ini sempat mengundang beragam respons dari masyarakat Indonesia, dari yang menikmati, jenuh, sampai yang antipati. Selanjutnya, menyikapi kejenuhan masyarakat Indonesia, beberapa sineas lain mulai memproduksi film yang tak sekedar dipandang sebagai movies, tapi juga sebagai film dan sinema hingga muncullah film bernada edukasi dengan sinematografi yang bisa dibilang tidak asal-asalan. Sebut saja film Laskar Pelangi, Ruma Maida, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan lain-lain yang sempat memberi warna lain dalam perkembangan film Indonesia.

Sejatinya, telah dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Beberapa hal ini diperkuat oleh James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Movies memandang film hanya sebagai barang dagangan. Sinema memandaing film dari segi sinematografinya, dan sisanya dipandang dari segi pendidikan dan budayanya.

Beralih pada perkembangan industri film Indonesia, akhir-akhir ini, muncul kabar bahwa Motion Picture Association of America (MPAA) atau asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Hal ini merupakan reaksi keras atas dilayangkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor. Dalam surat edaran itu, dinyatakan bahwa penghasilan yang dibayarkan keluar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu, merupakan royalti yang dikenakan PPh 20 persen. Peraturan tersebut merupakan hasil penafsiran baru atas undang-undang dan peraturan tentang pajak bea masuk yang lama. Dengan pajak yang boleh dibilang sangat tinggi itu, jelas MPAA menjadi enggan beroperasi di Indonesia walaupun dalih penaikan pajak itu, seperti yang diberitakan media, adalah dalam upaya mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik.

Respons keras MPAA tersebut bisa jadi mengundang pihak distributor film non-Hollywood untuk ikut serta tidak mengedarkan filmnya ke Indonesia lantaran pajak ini berlaku untuk semua film impor. Apa jadinya Indonesia tanpa film-film impor yang pada kenyataannya justeru film-film inilah yang memenuhi jagat bioskop-bioskop Indonesia dan menjadi satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk datang ke exhibitor (bioskop-bioskop). Ironis memang, film nasional justru menjadi pilihan keberapa setelah film-film impor. Namun, fenomena ini agaknya jangan dianalisis dari satu sudut. Kecenderungan masyarakat Indonesia lebih memilih film impor bisa jadi karena kejenuhannya pada film-film nasional yang kebanyakan hanya memuat tema ‘itu-itu saja’, pesan dan amanatnya juga tidak jauh-jauh dari ‘semoga film ini laku dipasaran’. Analisis ini memunculkan pertanyaan, apa benar pengenaan pajak dan bea impor ini—yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop—akan meningkatkan jumlah dan kualitas film nasional?

Secara awam, pikir saja, kalau pola pikir para sineas Indonesia hanya sebatas ‘semoga film ini laku di pasaran’, tanpa mempertimbangkan pesan dan dampak yang terjadi pada masyarakat jika terus-menerus dicekoki film kualitas pas-pasan yang mudah bikin jenuh, masyarakat Indonesia akan semakin meninggalkan bioskop dan film Indonesia. Mereka akan cari cara cerdas untuk mendapatkan film luar demi memuaskan hasrat nonton film yang sesuai kebutuhan dan kemauan mereka.

Sementara itu, masyarakat Indonesia yang mentalnya terima-terima saja dicekoki film dangkal itu, lambat laun akan terpengaruh juga pola pikirnya. Kalau Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sudah tergolong tinggi dan mumpuni, ini tak jadi masalah lantaran mereka sudah bisa memilih, memilah, dan menyikapi. Namun, coba tengok masyarakat di belahan Indonesia lain yang masih butuh pengawasan dan pendampingan, berapa persen masyarakat Indonesia yang masih buta huruf, berapa persen masyarakat Indonesia yang belum disentuh pendidikan. Kalangan-kalangan tersebut yang akan berpotensi menjadi bebal oleh film-film Indonesia yang minim pesan. Bagaimanapun juga, yang terlihat itu akan lebih mudah diingat. Kalau begitu, kapan cita-cita Indonesia mencerdaskan kehiadupan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia seutuhnya dan seluruhnya berhasil.

Tak hanya berhenti sampai sineas dan pemirsa, dukungan pemerintah juga penting untuk mencipta film Indonesia yang berkualitas. Pemerintah tidak cuma menaikkan pajak untuk meningkatkan APBN, tapi juga memanfaatkannya untuk pemberian subsidi bagi sineas-sineas berprestasi, mengembangkan sekolah-sekolah film, dan memberikan perhatian pada elemen-elemen lain yang mendukung perfilman nasional, semacam festival-festival atau penganugerahan film. Dari sini, timbullah sinergi yang kuat.

Polemik seputar perpajakan film ini, baik langsung maupun tidak, akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perfilman Indonesia. Oleh karenanya, kita tunggu saja. Pasalnya, seperti diberitakan media, 30 Maret 2011 mendatang Jero Wacik beserta jajarannya akan mengumumkan hasil keputusan terkait pajak film nasional dan impor. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa film adalah cerminan budaya suatu bangsa, maka apapun keputusannya, membuat film kualitas rendah dan minim pesan berpotensi membuat masyarakat Indonesia jadi bebal. Mari renungkan.


14 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar