Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 16 Maret 2011

Tentang Hidup Korban PKI dan Seksualitasnya


Judul : Blues Merbabu
Pengarang : Gitanyali
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : Februari 2011
Tebal : vi + 186 halaman
Genre : Novel
ISBN : 978-979-91-0315-4
Harga : Rp 40.000,-


Sebagai Negara yang diperjuangkan dan lahir 65 tahun yang lalu, asam garam sejarah Indonesia bolehlah dikatakan telah bermacam ragam. Mulai dari perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga luka sejarah di sekitaran 1960-an. Peristiwa yang disebut terakhir itu masih cenderung gelap karena kesamaran bukti-bukti kesejarahannya. Sebut saja nasib para lakon PKI (Partai Komunis Indonesia) dan antek-anteknya yang hingga kini masih belum terungkap secara gamblang laiknya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

Blues Merbabu mencoba menyorot kehidupan salah seorang lakon PKI dan keluarganya dari sisi yang polos dan tak banyak mencaci penguasa saat itu. Pusatnya pada tokoh bernama Gitanyali Singayuda, anak dari Sutanto Singayuda, seorang lakon PKI yang sangat gigih, berkarakter, dan sangat mengutamakan pendidikan. Tak heran ketika melihat Gitanyali semasa masih bocah telah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tegas. Gitanyali merasa sangat menyatu dengan tanah kelahirannya, di lembah Gunung Merbabu.

Kesamaan nama antara pengarang dan tokoh utama menyiratkan kesan bahwa novel ini adalah semacam catatan harian sang pengarang. Bahkan, dituliskan pula, dalam kisahnya ia mengaku sangat gemar menulis catatan harian. Sebagai anak PKI yang orang tuanya diciduk pada sekitaran 1960-an, Gitanyali dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Segala kesialan dan nasib yang terpaksa tidak beruntung sebagai anak PKI ia hadapi dengan bertahan, bukan melawan. Ia menyebut perjuangannya menyikapi kehidupannya dengan suloyo.

Suloyo diartikan sebagai ‘mengingkari’, tidak akan memenuhi janji, menidakkan, meski di luar kelihatannya mengiyakan. Gitanyali pun menyadari bahwa mungkin ini adalah dorongan bersikap bagi orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Melalui gambaran ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sang tokoh bertindak seolah tidak ada apa-apa dalam kehidupan masa lalunya walaupun sebenarnya ia suloyo. Kekecewaan yang dirasakan Gitanyali sebagai anak PKI tidak ia gubris sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Bahkan, ia tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dalam hidupnya, ia telanjur menjalani apa yang ia jalani. Mungkin di sinilah daya tarik novel ini, ketegaran sikap seorang anak PKI.

Karakteristik Blues Merbabu adalah pada gaya penceritaan yang polos, lugas, dan tidak menggebu-gebu walaupun banyak sekali scene tentang petualangan seksual sang tokoh. Di buku ini juga banyak ditemui kisah-kisah pergaulan anak muda. Dari soal musik, film, sampai ke Mushroom Omelette yang memabukkan. Ia mampu mengkover yang vulgar dan panas menjadi sesuatu yang lazim dan normal. Ia menulisnya dengan mengalir, santai, angkuh, dan tak ada sedu sedan. Tak berlebihan bila dikatakan, di sinilah kekuatannya hingga dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa tak hanya seks belaka yang dieksplorasi, kekuatan karakter tokoh utamanya menggiring pembaca untuk ikut larut di dalamnya.

Novel ini tak dilengkapi keterangan latar belakang penulis seperti novel-novel lain meskipun karya ini adalah novel pertama Gitanyali. Entah apa yang menjadi latar belakang hal tersebut, entah untuk kepentingan politis atau kepentingan diplomatis. Tanpa berniat melebih-lebihkan, novel belatarbelakang sejarah ini cukup sempurna sebagai sebuah karya hasil transkripsi luka sejarah di era 1960-an. Pengaburan identitas penulis ini juga menguatkan adanya efek-efek kenyataan atau realitas. Sesuai diktum hiper-realitas yang dituliskan Gitanyali di bagian awal novelnya, “…semua yang ditulis ini benar adanya, kecuali bahwa dia sebuah kenyataan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar