Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 16 Maret 2011

Buat Para 'Tukang Naik Busway'


Buat para tukang naik busway, setiap momen dalam shelter adalah jeda sebelum sampai pada perjalanan selanjutnya. Bisa jadi hanya dalam shelter itulah, organ paling bawah manusia yang menempel di bumi bergeming. Sebelum ia beranjak mendekati orientasi-orientasi yang bercokol ketika diucapkan pada petugas shelter, sebelum ia terbawa oleh alat pemindah raga dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya.

Alat pemindah raga yang ditunggu-tunggu itu pun tidak lebih dari sekedar mesin yang bersistem. Sistem yang statis. Layaknya roda atau kumparan yang senantiasa berotasi, setia pada gaya sentripetal yang melingkupinya. Kecuali ketika sentrifugal mengusik, semua yang ada di atas roda atau kumparan itu melesat jauh dan sentripetal menjadi kacau. Namun, oleh karena manusia adalah penyetir sistem, busway lantas tidak sesederhana sentripetal dan sentrifugal. Sebab manusia terlalu banyak lobi dan kompromi.

Para tukang naik busway pun tidak lebih dari manusia dengan segala orientasi. Bahkan, ada kaum-kaum tertentu yang kehilangan orientasinya. Mereka menunggu di shelter busway seperti menunggu kematian. Padanya, kompromi berjalan begitu melesat-lesat hingga tujuan awalnya begitu kabur. Namun, bisa kubilang, yang kehilangan orientasi itu yang lebih memandang setiap bagian dari perjalanannya. Oleh karena otaknya terus bekerja, berkompromi, melobi.

Para tukang naik busway yang punya orientasi jelas akan mengingat-ingat satu hal hingga sampai di pemberhentian yang diinginkan, lantas yang terjadi dalam proses perjalanan itu yang dapat giliran kabur.

Sekarang, kuberitahu. Posisiku sedang di shelter busway dekat SMP Nusantara 45. Kakiku menekuk, bergeming. Dengan kata lain, aku sedang duduk dengan pantat terjejal di bangku shelter yang dingin. Bersebelahan dengan seorang siswa SMP. Bawahan seragamnya yang biru tua itu lebih mirip kain pel di kos-kosanku. Kusam dan buluk. Namun, aku lebih melihatnya bak kakek-kakek memegang cerutu daripada siswa yang sedang memegang pena.

Tiba-tiba, rambut siswa SMP itu berubah putih keabu-abuan, mirip uban. Kulitnya yang sehat dan segar itu berubah keriput dan gelap, mirip kulit kakek 70 tahunan. Yang tak berubah adalah baju dan bawahan seragamnya. Oh! Ada lagi, sorot matanya juga tidak berubah. Tetap tajam dan membidik tepat.

Dua belas menit kemudian, seorang siswi SMP masuk shelter dan bersandar di dinding kaca. Ia tak kebagian bangku untuk duduk. Lalu, blast!! Sorot mata siswa SMP yang kubilang berubah menjadi kakek itu menembak siswi SMP. Seketika itu, ia berdiri dan mempersilakan siswi SMP untuk menggantikan dirinya.

Susah payah siswa SMP mirip kakek itu berdiri dan bersandar di dinding kaca. Payung biru muda pucatnya ia jadikan tongkat. Tapi pengelihatanku kabur, ia memegang pena ataukah cerutu.

Teman sebelahku telah berganti menjadi siswi SMP. Namun, busway belum juga datang. Sudah lewat 15 menit. Siswa SMP mirip kakek-kakek itu masih memainkan silinder di tangannya, tidak jelas apakah ia menulis atau berusaha menyalakan cerutu.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Ah, yehaa. Siswi SMP di sebelahku berbinar-binar, namun siswa SMP mirip kakek yang sedang bersandar di dinding kaca itu biasa saja. Sorot matanya tetap tajam, tapi cenderung datar, bukan berbinar.

Alat pemindah raga berwarna hijau itu semakin dekat. Semua orang dalam shelter itu menatap lekat. Bersiap. Dua belas detik kemudian, kepala busway sudah teronggok di depan shelter. Satu per satu mantan penumpang busway turun dan keluar shelter. Satu per satu tukang naik busway yang sedari tadi menunggu akhirnya masuk. Masuk ke dalam busway. Kuda-kudaku lemah, oleh karena itu memilih giliran akhir daripada tersuruk dada-dada penumpang lain dan tergelincir.

Tinggal aku bersama siswa SMP yang mirip kakek-kakek tadi. Tak kusangka, ia malah mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Kupersilakan ia, namun siswa itu masih ngotot menyuruhku masuk duluan daripadanya. Aku masuk. Tiba-tiba, mobil hijau yang mengangkutku ini bergerak maju, baru setelah satu kaki siswa itu masuk. Pintu busway menutup terlalu keras. Siswa itu terjepit, tergelincir, tertarik, dan akhirnya tergilas. Naas.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Sopir busway itu semakin melaju kecepatan tinggi. Entah karena tidak tahu atau bagaimana. Sang kenek busway juga terlihat biasa saja menghitung penumpang. Busway penuh. Aku mual oleh karena pola setir si sopir yang hewan saja pun akan mencemoohnya. Apa sopir ini tidak lulus ujian SIM B ya, pikirku. Tapi, bagaimana ia dapatkan SIM B kalau tak lulus ujian. Aiihh.. Baru kuingat, bisa saja kekuatan lobi dan komprominya yang bekerja untuk itu. Dasar manusia.

Di dalam busway, penumpang penuh.
Di pemberhentian dekat Pasar Sayang Mama, beberapa ibu-ibu gendut yang lebih mirip ikan paus berjalan dengan ekornya itu turun busway. Sekeluarnya mereka, bermol-mol molekul oksigen lebih banyak tersedia. Beberapa penumpang menghela napas.
Di pemberhentian dekat rumah sakit Panti Kusut, beberapa laki-laki tua beranjak keluar busway bersama bawaan-bawaan yang menyita tempat. Sekeluarnya mereka, bersenti-senti tempat tersedia kembali. Beberapa penumpang tampak meluruskan kaki.

Mual semakin menjadi. Busway seperti oleng ketika membelok. Berkali-kali sopir memancal rem mendadak. Benar-benar sopir tak lulus ujian SIM B! Umpatku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang lelaki seumuran bapakku dengan perut buncit menyanding disampingku. Mungkin karena posisiku tepat menghadap pintu busway. Kiranya, ia akan turun di pemberhentian berikutnya. Pun juga aku.

Di pemberhentian Koperasi Mahamurid, aku berjalan keluar busway. Namun, bapak-bapak tambun di sebelahku tadi menyerobot dan mendahuluiku keluar. Sekedipan mata, bapak tambun tadi sudah duduk di bangku shelter dan tak ada sisa bangku lagi untukku.

Aku bersandar di dinding kaca shelter, membuka tas selempangku yang sedari tadi kuhadapkan pada bokong. Kutemukan dompet hitam punyaku, ada foto wanita menyembul di antara selipan kartu identitas, kartu anggota, ATM, dan semcamnya. Hm.. Manusia modern memang terlalu banyak mendewakan validasi.

Foto wanita itu serasa bergerak-gerak dan melirik kearah bapak-bapak tambun tadi. Lantas, aku pun mengalih pandang ke bapak itu. Aneh, tiba-tiba kulihat ia lebih mirip anak kecil bertubuh montok daripada bapak-bapak tambun. Ia mempermainkan jempol tangannya, duduk di bangku shelter dengan kaki yang mekangkang. Terlalu aneh jika kusebut ia bapak-bapak tambun paruh baya.

Aku mulai merasa tak beres dengan orientasi otakku yang kian tak lazim.

Dua belas menit kemudian, seorang nenek masuk shelter dan nampak linglung. Nenek tak kebagian bangku untuk duduk. Kemudian, nenek itu ikut bersandar di dinding kaca sepertiku. Kulihat bapak-bapak tambun yang lebih mirip anak kecil itu tidak juga beranjak dari duduknya untuk sekedar memberi ruang duduk bagi nenek-nenek itu. Malah ia semakin menjadi dengan mengangkangkan kedua kakinya lebih lebar.

Mobil hijau panjang mulai melongok dari kejauhan. Nenek-nenek yang bersandar di sebelahku tampak bahagia, namun bapak-bapak tambun mirip anak kecil tengil itu masih sibuk dengan jempol tangannya.

Bak anak kecil yang terlalu sibuk dengan mainannya sehingga lupa daratan, bapak-bapak tambun itu tak segera naik ketika busway sudah di depan mata. Mungkin ia tidak berniat naik busway jalur ini, pikirku. Namun, ketika pintu mulai menutup, seketika mata bapak-bapak itu melongok ke arah pintu busway. Tangannya meraih-raih pintu. Namun, pintu kembali menutup terlalu kencang. Sistem memang tidak pernah manusiawi, sekalipun dikendalikan manusia.

Jantungku mogok berdetak barang tiga detik. Aikh, ngilu.

Di dalam busway, penumpang tidak penuh. Kursi banyak tersisa. Banyak tempat untuk selonjor kaki. Banyak oksigen tersedia.

Aku terhanyut oleh laju jalan. Kelopak mataku cenderung ingin menutup. Aih, ngantuk. Tapi, di pemberhentian berikutnya aku harus turun.

Dua belas detik kemudian, alat pemindah raga ini tiba di shelter Lembah Angan. Aku kembali teringat oleh orientasi otakku yang agak menyimpang di dua shelter sebelumnya.
Kali ini, yang menyerobot bukannya siswa SMP atau bapak-bapak tambun lagi. Kali ini yang menyerobot adalah anak perempuan kecil. Namun, kulihat ada yang tak beres. Ah! Anak kecil itu mirip dengan foto wanita dalam dompetku!

Kulekatkan pandangku sekali lagi. Ia tak tampak berubah tua atau berubah lebih muda. Gerak-gerik perempuan kecil itu sangat alami seumurannya. Aku menghela napas, oleh karena yakin kalau orientasi otakku kali ini sudah sembuh dari penyimpangan. Tapi, siapa dia.

Perjalananku dengan busway berakhir di shelter Lembah Angan. Aku melangkah keluar dari shelter. Melangkah menjauhi jeda, memaksimalkan kerja organ paling bawahku yang paling dekat dengan bumi.

Aku bukan tukang naik busway yang kehilangan orientasi. Aku bukan penunggu kematian. Tapi aku tetap manusia yang penuh lobi dan kompromi. Aku juga manusia yang mendewakan validasi.

Kuayun langkah menjauhi shelter penuh kontemplasi itu. Ruang sempit itu membantuku menyadari bahwa dunia itu luas.

Kulayangkan pandang ke sekeliling. Terkejut, kudapati lembah angan yang semestinya adalah tempat teduh, kini berubah gersang. Sangat gersang. Kembali terkejut, di bawah tiang-tiang yang entah berfungsi apa, kudapati siswa SMP, bapak-bapak tambun, dan perempuan kecil tadi. Otakku semakin berputar, mengapa arahku menjadi seperti ini. Baru kusadari lewat memori tentang potongan ayat di kitab suci yang kuanut, benar-benar Lembah Angan ini lebih mirip Padang Mahsyar!


Gua Sementara untuk Hidup, 2 Maret 2011
11:19 Waktu Indonesia Kamar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar