Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 11 Mei 2011

Pranyoto: Berdayakan Nasionalisme yang Realistis Sejak dalam Diri


Suasana pelataran belakang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siang itu (16/3) terlihat lengang dengan beberapa pekerja sedang menyapu reruntuhan dedaunan yang berserak. Beberapa staf mulai berjalan kearah pintu keluar, rupanya jam aktif Museum Kareta telah habis. Tampak seorang abdi dalem mengucapkan semacam doa lalu membunyikan lonceng sebanyak dua kali.

Penulis berjalan pelan mendekati bapak abdi dalem tersebut. Lantas, penulis pun dibawa ke tempat berkumpulnya para abdi dalem. Sepertinya mereka sedang rehat sejenak sebelum melaksanakan amanah selanjutnya. Sambutan hangat a la warga Yogyakarta memulai segmen keakraban kami. Ketika menyatakan maksud kedatangan, penulis dihadapkan pada lelaki tua yang tampak enerjik dengan uban di seluruh rambut kepalanya.

Beliau adalah Mas Kliwon Pranyoto Pawoko, seorang abdi dalem yang telah mengabdi sejak tahun 1984. Karena sedang rehat, beliau mengaku tak memakai pakaian dinasnya—semacam beskap, sarung, dan blankon. Lelaki bernama asal Sugya Pranyoto ini sangat antusias ketika saya lontarkan topik penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mata berbinar-binar, beliau memulai argumentasi dengan bercerita tentang sejarah Yogyakarta dan Indonesia. Beliau bertutur bahwa sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta telah menjadi Negara tersendiri dan diakui. “Republik Indonesia ini sebenarnya pernah dipelihara oleh Jogja. Ini betul, bukan ngarang,” tukasnya sembari menghisap setangkai rokok di buku-buku jarinya. “Kekayaan Jogja itu diincar pusat dan mereka kurang tahu sejarah. Oleh karenanya, ada konflik semacam ini,” tambah lelaki asal Yogyakarta ini.

Ketika ditanya masalah nasionalisme yang luntur pasca konflik penetapan DIY, bapak berkaos biru ini berpendapat bahwa cinta tanah air itu tidak harus dengan menuruti segala kemauan yang Negara dicintai. “Yang namanya cinta itu, menurut dalang Parmo almarhum, harus diikuti kasih dan sayang. Jadi, harus memberi dan ngeman, bukan menuruti semua kemauannya,” ujarnya sembari menyeruput segelas kopi hingga habis. Menurutnya, nasionalisme bangsa Indonesia harus realistis, bukan lantas membutakan diri dari segala kenyataan yang ada. “Sampai Negara pun, kalau memang salah, akan saya tunjukkan. Kebenaran itu hanya Tuhan yang punya. Hal ini dimulai dari diri saya sendiri,” tambahnya dengan berapi-api.

Untuk menjelaskan perihal ini, abdi dalem yang mengaku lupa tahun lahirnya ini menganalogikan persoalan ini dengan agama. “Islam itu kan mengajarkan sesama muslim, kalau ada yang didzolimi itu harus dibela. Kalau sesama muslim mendzolimi, harus dibina, bukannya disingkirkan. Nah, kalau kemudian pemerintah itu mau mendzolimi, kita harus membina,” tuturnya. Meskipun begitu, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko tetap mempertahankan konsep imam dan makmum mengingat posisinya sebagai abdi dalem yang berada di bawah raja.

Sikap nasionalisme yang realistis ini ia tanamkan sejak dalam dirinya dan keluarganya sejak lama. “Argumen saya ini bukan tanpa alasan, saya mengikuti alur Negara ini sudah sejak lama. Abdi dalem jangan melulu dilihat sebagai yang awam,” kata bapak empat anak ini.

Sesuatu yang istimewa adalah ketika ditanya seputar ke-abdidalem-an di Keraton Ngayogyakarta, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko mengaku bahwa ia benar-benar mengabdi untuk rakyat dan Negara. Ia pun mengatakan bahwa menjadi abdi dalem adalah sebuah pilihan hidup. “Di sini saya bisa men-charge otak dan pikiran, disamping mengharap berkah. Tidak ada yang tidak berguna yang saya lakukan di sini,” tambahnya.

Langit mulai mendung ketika penulis mengajukan pamit. Kembali salam hangat mengiringi perpisahan kami. “Kalangan akademik hendaknya tidak bersikap apatis terhadap fenomena sosial,” tutupnya sembari menyalami penulis. Ironis, abdi dalem yang telah 27 tahun mengabdi dan telah setua itu saja masih mempunyai perhatian besar terhadap bangsa dan Negara, bagaimana dengan generasi muda Indonesia. Mari memikirkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar