Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Minggu, 15 Mei 2011

Kartini = Yang Mampu ‘Keluar’ dari Biasa


Bagi saya, saat ini, R.A. Kartini hanyalah simbol, simbol wanita pejuang pendidikan dan kesetaraan. Memang, perjuangan R.A. Kartini dapat dikatakan ‘keluar’ dari kebanyakan wanita pada masanya, para wanita Indonesia patut berterima kasih atas jasa-jasanya ‘memerdekakan’ sesamanya. Namun, untuk konteks saat ini, dimana era globalisasi menuntut keterbukaan akses informasi dan komunikasi yang tak terbatas, Kartini haruslah beda dan lebih dari sekadar pengentasan buta aksara. Kartini yang dapat bersaing sesuai dengan tuntutan jaman, tapi tak harus terseret arus :)

Baiklah, bertolak dari pertimbangan bahwa semangat paling besar dan paling berpengaruh adalah semangat yang datang dari diri sendiri, izinkan saya bernarsis ria dengan semua ini :D

Kartini Muda bagi saya adalah jiwa dan raga saya sendiri. Hehe. Upaya ini bukan untuk meninggikan diri atau malah bersombong ria, ini hanya wujud kepercayaan diri sebagai anak pertama seorang petani dengan mantan guru SD dan sebagai kakak dari tiga perempuan-perempuan kecil :)

Namun, keluar dari itu semua, Kartini kali ini justru hadir karena Kartini-Kartini yang lain, empat Kartini yang sangat menyita hidup saya, yakni R.A. Kartini, ibu saya, dan tiga adik perempuan saya. Kartini kali ini tidaklah hadir karena kekosongan, Kawan! :D

Beranjak pada konsep Kartini, bagi saya, menjadi Kartini ‘kali ini’ berarti sebuah upaya melawan stereotipe, melawan ‘yang biasa’. Sejauh mata ini memandang, globalisasi sangat berpotensi membangun stereotipe-stereotipe baru yang justru cenderung dangkal dan praktis. Sebut saja, budaya hedonis di kalangan remaja, trend pakaian, dan aspek-aspek gaya hidup lain yang begitu gampangnya masuk dan diterima oleh otak-otak bangsa Indonesia. Apalagi, perempuan menjadi lahan yang sangat basah :)

Maka, saya memilih menjadi ‘keluar’ dari yang biasa, ‘keluar’ dari yang stereotipe, demi masuk ke ruangan selanjutnya yang lebih konsisten dan konsekuen.

Konkretnya?

Tuhan memberi saya rasa malu untuk mengikuti tren pakaian hingga tren kawat gigi :D hingga saya hadir dalam pribadi ‘yang sederhana’ dengan kemeja, kaos, dan jeans. Tuhan pula yang memberi saya semangat untuk kuliah di luar propinsi walaupun di desa saya, hanya dua orang yang mengenyam pendidikan tinggi.

Ibu memberi saya wejangan tentang malunya seorang wanita hingga (syukurlah) saya bukan remaja dengan pergaulan yang sangat bebas hingga melewati batas-batas agama walaupun budaya tersebut bukan barang aneh lagi. Ibu saya pun yang memberi tauladan sebagai seorang wanita yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan ‘semampunya’ hingga saya tak pernah malu mengendarai sepeda onthel setiap kali berangkat ke kampus atau berangkat mengajar, walaupun mayoritas teman-teman saya memilih motor atau mobil.
Selain itu, wanita yang ‘keluar’ dari biasa adalah wanita yang rela merasakan memungut rupiah sebelum masanya. Ya, itulah yang kulakukan saat ini. Demi pengalaman dan tambahan pemasukan, saya menjalani sebagai guru privat Bahasa Indonesia di sebuah lembaga bimbingan belajar di Yogyakarta. Bagi saya, ada sensasi tersendiri berhubungan dengan murid-murid dan transfer ilmu yang dimiliki demi meyakini bahwa ini adalah pengabdian bagi bidang ilmu saya.

Tak hanya itu, Kartini ‘saat ini’ adalah wanita yang berani ‘keluar’ dari stereotipe, yang lebih memilih melakukan penelitian-penelitian daripada hunting pakaian dan barang-barang kewanitaan di mall atau swalayan. Baiklah, saya bisa melakukan ini juga karena Kartini yang lain, yakni adik-adik perempuan saya. Bagi saya, melihat senyum mereka karena kubawakan buku bacaan dan alat-alat tulis seadanya lebih bernilai dan lebih membahagiakan daripada sekedar mempercantik http://www.blogger.com/img/blank.gifdiri dengan barang-barang kewanitaan yang harusnya bisa saya manage nanti ketika punya penghasilan pribadi. Selain itu, mereka inilah yang membawa saya pada juara Kompetisi Penulisan Untuk Bangsa dan Negara di UGM dan juga menggiring saya pada salah satu peraih Hibah Penelitian, hanya karena senyum mereka. :)

Singkatnya, menjadi Kartini Muda saat ini adalah menjadi wanita yang mampu ‘keluar’ dari stereotipe, ‘keluar’ dari biasa, atau mampu melawan ‘biasa’. Namun, Kartini hadir bukan beranjak dari kekosongan, Kartini hadir karena Kartini-Kartini yang lain atau malah Kartono-Kartono pula. Semoga timbul Kartini-Kartini selanjutnya yang menjalani, berprestasi, dan menginspirasi :)

*) Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba Kartini Muda Honda 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar