Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Rabu, 11 Mei 2011

Dunia akan Tetap Hancur pada Waktunya


Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau


Salah satu bait lagu Manusia Setengah Dewa milik Iwan Fals ini seakan menggaung-gaung di telinga saya ketika mencuat berita tentang Arifinto, seorang anggota parlemen, yang tertangkap basah sedang menikmati video porno saat sidang paripurna pembangunan gedung baru. Bagaimana tidak, kalau mau ditilik, tidak hanya saat ini fenomena tersebut terjadi. Tahun 2009 lalu, gejala semacam ini sudah mencuat dimana para pejabat mengumbar pornografi pornoaksi dalam sidang. Tercatat dalam majalah Tempo edisi 3835 19-25 Oktober 2009, dalam rubrik opini, dipaparkan bahwa rekaman pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum Cirus Sinaga terhadap Antasari menunjukkan adanya pembacaan dakwaan seperti deskripsi sebuah film dewasa alias porno. Kisah yang dibacakan itu adalah pertemuan dua kali antara Rhani Juliani, salah satu istri Nasrudin Zulkarnain, dan Antasari di kamar 803 Hotel Grand Mahakam.

Fenomena ‘pariporno’ tersebut cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar mengingat kecenderungan manusia menyukai hal-hal biologis urusan pria wanita. Sebelum mengupas lepas analisis dalam esai ini, perlu dipaparkan bahwa tulisan ini tidak akan membicarakan hal moral dan akhlak, justru membicarakan betapa sederhananya kasus di atas yang telah menyita perhatian banyak orang sehingga kasus yang berkaitan dengan perut, aturan, dan kelangsungan hidup seakan terkubur diam-diam.

Berdasarkan pengalaman menonton DVD “Sejarah Pornografi dan Pornoaksi” yang dibuat oleh Harun Yahya, pornografi dan pornoaksi sejatinya telah ada kurang lebih sejak 3000 SM. Bahkan, pornografi dan pornoaksi yang terjadi masa lalu lebih parah dan lebih keji. Hal ini disebabkan keprcayaan terhadap mitos-mitos. Pada peradaban mesir kuno yang berlangsung pada 3000 SM di Afrika Utara, mereka percaya mitos bahwa seks merupakan cara dewa untuk menjaga dunia ini tetap hidup, maka itu ukiran-ukiran patung pada zaman ini banyak yang melambangkan pornografi seperti ukiran wanita tanpa penutup dada dan ada juga simbol seseorang yang sedang melakukan masturbasi di tempat umum. Di zaman ini juga terjadi hubungan incest, yaitu hubungan dengan saudaranya sendiri, demi mempertahankan kekuasaannya. Selanjutnya, pada peradaban Yahudi yang muncul pada 1200 SM, kaum yang hidup di zaman ini berpikiran sebaliknya, bahwa rasa malu pada tubuh yang bertelanjang adalah benar dan alami. Namun, keyakinan ini akhirnya pudar seiring meninggalnya dua utusan Tuhan, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Daud AS. Pada peradaban India kuno yang ada pada 1000 SM di daerah Khajuraho, India Utara, terdapat kuil-kuil yang berukiran wanita telanjang dan ukiran yang menggambarkan sedang melakukan seks. Bahkan, di dalam kuil tersebut, terdapat suatu patung yang menggambarkan alat kelamin laki yang di beri nama Palus yang kemudian di kenal dengan Dewa Syiwa.
Pada zaman Yunani kuno, perilaku seks semakin tak terkendali. Dimana-mana terdapat tempat pelancuran. Bagi mereka, nafsu seks harus di penuhi sepuas-puasnya. Homoseksual pada masa ini sangat dominan sehingga banyak lukisan yang menggambarkan hubungan seks antar pria baik dengan yang sebaya maupun dengan anak laki-laki. Peradaban ini juga memandang cinta dan seks adalah sesuatu yang terpisah, istri mereka di kurung dalam rumah dan mereka mendapatkan kepuasaan seks dari budak.

Sementara itu, pada peradaban Romawi kuno, pornografi, seks bebas, dan erotisme merajalela hampir di semua tempat. Terdapat pula ukiran marmer yang menjadi simbol Dewa Pan, ukiran ini menggambarkan seseorang yang sedang melakukan hubungan seks dengan binatang. Kepercayaan terhadap patung ini menimbulkan ritual Hipertalia yang pada zaman Kristen berubah menjadi Valentine’s Day. Tahun 78 SM, gunung Fisufius meletus dan dengan letusannya itu Allah SWT mengeraskan tubuh semua penduduk Pompei seperti batu.

Catatan dalam sejarah pornografi dan pornoaksi tersebut menunjukkan betapa dunia sangat ramai dengan kasus berbau lacur. Sejak lahir pun manusia telah disibukkan dengan hal semacam itu. Ketika pornoaksi dan pornografi dikaitkan dengan masalah moralitas, teringat oleh saya tentang paparan Kohlberg (1976) yang menggambarkan tiga tingkatan moralitas. Moralitas yang dikaitkan dengan perspektif sosial tersebut, meliputi: (1) preconventional, (2) conventional, dan (3) post conventional atau principled. Pada tingkat preconventional, (tingkatan moralitas yang paling rendah) perspektif sosial moralitas seseorang menunjukkan bahwa dirinya merupakan individu yang konkret. Oleh karena itu, perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat moralitas ini. Dalam tingkatan moralitas ini kita sering menjumpai perilaku seseorang dengan penalaran yang menunjukkan perspektif sosial. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif yang kemudian mencerminkan suatu moralitas bangsa.

Jika membaca dua hal di atas, yakni sejarah pornografi pornoaksi dan klasifikasi moralitas, masyarakat Indonesia seakan dibawa ke muka cermin. Betapa pornoaksi pornografi ini adalah hal yang lumrah selagi hanya berhubungan dengan pribadi masing-masing dan tidak merugikan kepentingan banyak orang. Tentu, saya bukan berniat menghalalkan tindakan Cirus Sinaga dan Arifinto. Hanya saja, moralitas bangsa Indonesia masih dalam tahap preconventional sehingga cenderung suka membicarakan hal-hal yang resiprokal dan pribadi macam ini. Sebagai umat beragama, saya tentu menolak tindakan Arifinto dan mendambakan segala sesuatu wajar dan berjalan di jalan yang lurus.

Indonesia ini telah dibangun berdasar pada kepribadian bangsa yang sangat halus dan beradab. Tengok saja Pancasila yang sangat beradab, mengandung nilai-nilai luhur, dan mengacu pada kepentingan masyarakat. Hanya saja, kadang-kadang implementasi kurang teliti sehingga urusan remeh-temeh dibesar-besarkan seakan dunia akan hancur akibat pornografi pornoaksi. Padahal, dunia akan tetap hancur pada waktunya.

Teringat oleh saya perkataan Anies Baswedan yang dikecam habis-habisan pada 13 Januari 2011 di situs detik.com. Anies mengemukakan bahwa ‘lebih baik mengurusi pajak RIM daripada pornografi’. Pernyataan tersebut diklaim tak agamis, materialistis, sekuler, dan sebagainya. Pasalnya, hal tersebut justru membuka mata bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang termarginalkan oleh kasus-kasus remeh-temeh hingga kasus ekonomi, hukum, HAM, dan lain sebagainya mangkrak tidak jelas jluntrungannya. Agaknya, sebagai warga Negara dan pribadi yang berbangsa, setidaknya kemampuan memilah yang primer, sekunder, dan tersier perlu diasah setajam tuntutan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar