Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Minggu, 01 Juni 2008

Matahari dalam Matahati

Angin semilir menggoyangkan ujung jilbabku saat aku mengayuh sepedaku pagi ini. Lebih pagi dari biasanya. Mentari pun belum sepenuhnya menampakkan teriknya dan bulan pun juga masih belum mengucapkan selamat tinggal. Hari ini ada jadwal les pagi. Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku, masih menunjukkan setengah enam pagi. Lampu-lampu jalan masih menyala, kabut menyebar di sana sini menambah kekhasan suasana pagi.

Lima menit kemudian aku sampai di gerbang sekolah. Pak Bon masih menyelesaikan tugasnya membersihkan sekolah. Kusapa beliau dengan senyumku. Pak Bon membalasnya dengan hal yang sama, namun sangat terlihat keikhlasannya. Pak Bon itu masih beberapa hari bekerja di sekolahku, agaknya beliau lebih rajin dari yang lain, ntah karena masih baru sehingga masih semangat. Tapi semoga saja tidak begitu.

Tempat parkir masih terlihat sepi saat aku meletakkan sepedaku. Hanya ada beberapa sepeda motor dan satu sepeda angin yang tak lain adalah sepedaku sendiri. Sejenak kemudian aku menyusuri koridor sekolah dan sampai di kelasku, kelas XI IPA 1 yang memang letaknya tak jauh dari gerbang kedua. Terlihat teman-temanku sedang asyik bercengkerama. Tampaknya Madam Rina belum datang. Beliau memang tak bisa diduga kedatangannya, kadang-kadang bisa pagi sekali dan kadang-kadang juga bisa sangat terlambat.

”PR-mu dah selesai, Biru?” tanya Lisa seraya menyapaku. Ya Lisa, teman sebangkuku dua minggu ini.
”Sudah, tapi begitulah masih ada yang bingung.”jawabku sambil meletakkan tas di laci bangku.
”Boleh dilihat?” ujar Lisa bermaksud minta izin.
”Boleh...., Ini...!”. Kusodorkan buku tugas Matematikaku padanya dan Lisa mulai membuka lembar demi lembar bukuku.
”Eh, Biru. Tadi waktu kamu lewat ruang guru, Bu Lisa ada nggak?” tanya Resi padaku sambil meneruskan menulis di bangkunya yang tepat berada di belakangku.
”Emm.... Insya Allah ga ada. Tadi disana kalo ga salah lihat,cuma ada Mas Rido sama Pak Bon.Emangnya da apa?”. Hari ini ada ulangan Geografi, Bu Lisa terkenal sadis kalau bikin soal. Mungkin karena itu Resi bertanya hal ini.
”Yang namanya Bu Sita dari gue sekolah di sini sampe sekarang, ga da tuh ceritanya beliau dateng pagi-pagi gini. Ada-ada aja lo! Ha...Ha...Ha...” Rio menyahut dengan pedenya.
”Dapet kabel dari mana lo bisa nyambung omongan gue ma Biru?” sergah Rsei membalas Rio yang rese’.
”Dari PLN Cabang Pohon di depan kelas. Emangnya napa? Lagian lo lucu banget sih nyariin Bu Sita setengah enem pagi, masih mandiin anaknya di rumah,non! Ha...Ha..Ha....” ujar Rio tak mau kalah. Mereka memang sudah kebiasaan otot-ototan nggak penting di kelas. Sampai-sampai ada anak iseng yang mau menjodohkan mereka berdua. Ada-ada saja, pikirku. Namun, Rio semakin mengeluarkan jurus-jurus mautnya, begitu juga Resi yang juga tak mau kalah. Tapi, perang adu mulut itu segera selesai ketika Madam Rani masuk kelas. Kali ini waktu les tinggal 45 menit.
***
Jam tanganku menunjukkan pukul tiga belas empat lima saat aku beranjak dari bangkuku untuk pergi ke musholla. Aku belum sholat Dhuhur. Segera aku dan Lisa mempercepat langkah.
Di tengah jalan, aku dan Lisa berpapasan dengan Fian. Anak kelas sebelah, XI IPA 2. Dia menyapa kami dan memberikan senyumnya yang memang manis itu. Aku dan Lisa membalasnya dengan hal serupa sambil menganggukkan kepala tanda hormat. Dia berlalu, begitu juga dengan aku dan Lisa.

”Eh, Biru... Gimana kamu ma Fian?“. Pertanyaan Lisa kali ini membuatku bingung.
’’Apanya?“ tanyaku balik. Kali ini mungkinLisa tampak kesal karena aku balik nanya.
”Huh... Capek deh. Ya.........gimana hubungan kamu ma Fian? Dia kan pernah bilang ke anak PMR kalau dia mengagumimu. Cieee....Yang lagi pedekate...” jawab
Lisa sembari menggodaku.
”Apa? Kamu salah ngomong kali... ” ujarku memastikan apa yang ku dengar itu salah. Aku kaget setengah pingsan kalau sampai apa yang dikatakan Lisa itu benar.
”Ya nggak lah... . Jadi kamu belum tahu tho? Atau sebenarnya tau tapi gak mau mengakui?” tanya Lisa penuh selidik. Kali ini aku kaget plus penasaran buangetz.
”Bener kok Lis, aku belum tahu. Emangnya gimana sih ceritanya? Kamu gak bohong kan, Lis?” ujarku meyakinkan Lisa sambil melepas sepatuku.
”....” Lisa tak menjawab
”Lis, ceritain dong! Please... “
“….” Lisa tetap tak menjawab dan beranjak dari sebelahku. Aku mengikutinya.
”Lisa, Lis, kamu kok diem aja sih?..... Lisa... Lisa!” panggilku setengah berbisik. Kali ini aku sudah di depan kran air wudlu dan bersiap membasuh anggota wudluku.
”Kamu bener-bener belum tahu?” tanya Lisa saat aku akan berkumur dan akhirnya kuurungkan.
Aku hanya menggeleng dan meneruskan berwudlu. Ya Tuhan, jadikan air wudlu ini penyejuk bagi jiwa-jiwa orang yang ikhlas. This time for my God!

***
Selesai sholat, aku dan Lisa pergi ke kantin untuk makan siang. Sore ini aku ada jadwal kelompokan Fisika dan Lisa ada ekskul PMR. Aku memesan mie ayam plus es jeruk dan Lisa pesan Bakso plus teh botol.
”Kamu benar2 ga tau?” tanya Lisa mengingatkanku pada kasus tadi siang.
”Bener Lis, aku ga tau. Aku mesti bilang apa lagi coba? Lha wong kenyataannya aku emang gak tau apa-apa.” jawabku sambil mempermainkan jariku di atas meja.
”Ok deh, aku percaya. Tadinya aku sempat percaya gak percaya sebab ada sumber yang mengatakan kalau sebenarnya kamu sama Fian itu sudah saling kenal sejak dulu. Trus kamu juga katanya udah menanggapi pernyataan Fian waktu itu.”
Perkataan Lisa cukup membuat jantungku sempat berhenti berdegup.
”Pernyataan yang mana?Yang katanya dia mengagumiku itu ta?Aku sama Fian sebenernya emang sudah kenal dari dulu. Lha wong dia itu temenku SD. Tapi soal menanggapi pernyataan, murni 100% hanya nonsens, aku gak pernah tau soal itu gimana bisa menanggapi coba? Bener kan ?” jelasku panjang lebar ke Lisa.
Seketika itu, Lisa terbelalak setelah mendengar penjelasanku. Bakso yang dia kunyah seakan mau keluar. Spontan kusodorkan teh botol miliknya. Dia tampak pucat dan matanya sedikit berair.
”Apa?Aku salah dengar kan, Biru?Kamu salah ngomong kan?” respon Lisa sama seperti saat aku baru mendengar kabar tentang ’pernyataan’ Fian.
”Kamu gak salah dengar dan aku nggak salah ngomong.” jawabku singkat seraya menekuk sedotanku agar tidak dihinggapi lalat.
”Jadi semuanya bener kalau sebenarnya kamu dan Fian pernah jadian?” tanya Lisa penuh emosi.
”What? Jadian? Jadian dari Hongkong?? He..he... Lucu banget sih beritanya, kamu dapet dari biang gosip mana?Beritanya bagus loh, dapet honor berapa dia? Biar kutegaskan ya Lis, aku dan Fian tidak pernah jadian!Titik!Sekarang gantian kamu yang menjelaskan bagaimana kronologis kejadian tentang ’pernyataan’ Fian?” ujarku menegaskan yang sebenarnya. Karena kasus ini aku jadi dihinggapi
sejuta tanda tanya. Uhh... sebel!
”Ooh...jadi gitu ta non, kirain gimana. Jadi ceritanya gini, minggu kemarin aku kan kemah sama anggota PMR se-kabupaten, saat ada waktu luang kami anggota PMR SMANSa main game putar botol, jadi kalau botolnya mengarah ke aku, aku harus menuruti apapun yang diinginkan teman-teman. Tapi untungnya saat itu yang ikut Cuma dikit, jadi gak begitu heboh. Putaran pertama mengarah ke Heru. Dia disuruh nyeritain apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Rudi hingga ada insiden tonjok muka. Kemudian, putaran kedua mengarah ke Fian. Anak-anak berpikir apa yang akan dilakukan oleh si Fian, tadinya dia disuruh mintain kita jagung bakar ke anggota PMR sekolah lain, tapi terlalu gampang. Trus ntah kenapa tiba-tiba Tya dateng dan minta izin ikut game, ya dibolehin ma anak-anak. Lalu dia mengajukan pertanyaan ke Fian, pertanyaannya sangat mengagetkan,”Fi, apa yang kamu rasakan saat kamu bertemu Biru?”. Aku dan teman-teman heran, kenapa Fian ada sangkut pautnya sama kamu. Awalnya Fian tampak gelisah, namun dia mampu menjawab dengan lembut, ”Aku merasakan sesuatu hal yang aneh, hatiku berdesir saat melihatnya dan aku juga merasa nyaman walau hanya melihat dia tersenyum. Aku mengaguminya.” Duerr!!. Seketika itu kami ternganga, terheran-heran mendengar jawaban Fian. Sejenak kemudian Tya pergi dan tak kembali lagi sampai game selesai. Fian tampak menundukkan kepalanya setelah dia berkata seperti itu. Ada apa dengan Fian dan Tya? Kami masih belum tahu jawabannya saat itu, tapi saat jalan-jalan pagi, Nia, saudara sepupu Fian yang tak lain adalah anggota PMR SMAGa menceritakan kepada Puri tentang apa yang sebenarnya terjadi. Nia mengatakan bahwa Fian dan Tya pernah jadian dan putus karena Fian berkata jujur pada Tya kalau sebenarnya dia suka gadis lain. Tya ga terima dan menyelidiki siapa sebenarnya gadis itu dan akhirnya itu semua terjawab saat game itu. Kamulah gadis itu, Biru. Lalu semakin banyak orang yang tau tentang itu dan berkembang berita bahwa kamu sebenarnya sudah pernah jadian sama Fian.” jelas Lisa panjang sekali dan lebar sekali. Aku hanya melongo
dan mengangguk tanda mengerti.
”Jadi karena itu, Tya bersikap dingin padaku?” kataku seraya menyimpulkan sendiri apa yang terjadi padaku.
”He-eh”. Lisa hanya mengannguk dan menyedot teh botolnya yang kedua.
Aku terpaku. Mungkinkah seorang Fian mengagumiku? Bukankah aku hanya seseorang yang gak ada apa-apanya jika dibandingkan gadis lain yang modis, smart, cantik,dll.
Sejuta tanda tanya hinggap di otakku siang itu.

***

Malam ini aku kembali berkutat dengan buku-buku pelajaranku. Ritual yang sudah lama aku jalani. Tapi, kali ini aku kurang konsen. Memoriku me-flash back kejadian tadi siang bersama Lisa. Apa mungkin seorang Fian mengagumiku, pikirku. Tapi sesegera mungkin aku menghapusnya dan menggantinya dengan hafalan rumus matematikaku. Tuhan, aku bukan apa-apa karenamu. Tolong aku dari kegelisahan ini dan bantu aku menghapusnya karena aku hanya milikMu.
Tiba-tiba telepon rumahku berdering. Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Karena dering itu tak lagi menggema di telingaku. Aku melanjutkan mengejakan soal-soal di buku paketku. Tapi, dering telepon berbunyi lagi. Aku tetap tak bergeming dari tempatku karena biasanya adekku yang langsung mengangkatnya. Benar, pikirku. Tapi,..
”Kak Biru... ada telepon.” panggil adekku lantang.
Aku berdiri dan menuju ruang tengah dimana telepon itu berada.
”Halo.. Assalamualaikum...” ujarku memulai pembicaraan.
”Walaikumsalam... Biru ya?” jawabnya dari seberang.
”Iya benar... Ini dengan siapa ya?”
”Ini Fian,.. Biru. Apa kabar?”
Duerr! Seketika itu aku terkaget-kaget. Ada angin apa Fian bisa menelponku malam ini. Dia terlihat santai tanpa ragu. Aku berusaha menyembunyikan gugupku.
”Ee.... baik kok. Kak Fian gimana?” ujarku seraya menjawabnya. Sekuat tenaga aku menyembunyikan gugupku. Aku memang sudah dari dulu memanggilnya dengan sebutan ’Kak’ walaupun kita hanya terpaut sepuluh bulan. Ini kebiasaan mamaku yang menyuruhku memanggil dengan sebutan kakak untuk temanku yang lebih tua dari aku. Meskipun sudah dari SD dulu, tapi panggilan itu tetap tak berubah. Mungkin karena aku dan Kak Fian jarang bertemu.
”Aku juga baik kok, kamu lagi ngapain?”
”Emm... aku...ya lagi ditelpon ma kakak, iya kan?”
”Ha..ha.. Iya ya, pertanyaan yang kurang bagus.” ujarnya sembari tertawa renyah.
”Ada apa Kak?Kok tumben telpon aku?”. Kuberanikan diri menanyakan hal itu.
”Ooh... nggak kok Cuma mau nanya, kalau nggak salah, kamu punya buku judulnya Seratus Tokoh karya Michael H.Hart, boleh aku pinjam?” jawabnya santai namun
kali ini lebih terkesan gugup.
”Oh itu... Kirain ada apa. Ya boleh dong kak. Besok insya Allah aku bawa.”
”Makasih ya Biru, besok aku ambil istirahat pertama di kelasmu. Ok!”
”Ok kak.”
”...” tiba-tiba tak ada respon dari seberang.
”Halo... Kak Fian?Masih ada kan?” tanyaku untuk memastikan bahwa sambungan belum putus.
”Eh.. iya... iya masih hidup kok. He..he..he.. . Ya udah ya Biru, thanks banget buat semuanya. Assalamualaikum…”. Klik. Tut..tut..tut.. sambungan terputus.
“Waalaikumsalam…” jawabku seraya meletakkan gagang telepon.
Benar kan, kataku dalam hati. Fian cuma membutuhkanku karena buku itu. Bukan untuk yang lain. Huhh.... hembusku lega.
Malam ini aku bisa tidur nyenyak di atas kasurku yang bermotif catur. ’Bismika Allahumma Ahya wa bismika amuut.. Amin.’ Ya Tuhan, atas namamu aku hidup dan mati.
Lalu aku terlelap dalam heningnya malam.
***
Istirahat pertama aku berniat tidak ke kantin walaupun Lisa mengajakku dan menjanjikan untuk mentraktirku. Karena menurutku, janji adalah kewajiban. Akhirnya, Lisa pergi bersama Resi ke kantin. Tiga menit kemudian Fian muncul di pintu kelas dan mengisyaratkanku untuk menghampirinya. Kubawa buku itu dan bejalan menuju teras kelas.
”Ini... kak bukunya.” kataku sambil menyodorkan buku yang beisi sekitar lima ratus halaman itu.
”Makasih ya, Biru.”
”Sama-sama.” Aku beranjak masuk ke kelas lagi. Namun, Fian mencegahku. Dia kembali memanggilku.
”Eh.. Biru.. Biru... ” panggilnya setengah berteriak.
”Ya...” aku berbalik dan mendapati dia sudah tepat dibelakangku. Aku kaget dan mundur beberapa langkah untuk sedikit menjaga jarak dengannya.
”Ini untukmu. Maafkan aku.”. Fian menyodorkan kertas biru kecil yang terlipat rapi. Aku segan menerimanya. Namun, ia mengangguk untuk mengisyaratkan bahwa aku harus menerimanya. Aku mengambilnya dan Fian berlalu. Aku masih terpaku dan memandang kertas itu dengan penuh keheranan. Tak lama, aku memasukkannya dalam saku seragamku dan masuk kelas.
Bel berbunyi, anak-anak berhamburan masuk kelas dan pelajaran Bahasa Inggris pun dimulai.

***

Sore ini seperti biasa aku pulang les dengan mengendarai sepeda pancal bututku. Otakku masih saja memikirkan isi kertas biru yang disodorkan Fian pagi tadi. Jadwalku hari ini padat, jadi aku belum sempat membukanya. Berbagai macam anggapan positif dan negatif berseliweran dalam pikiranku. Akh, mungkin ia hanya ingin mengucapkan terima kasih, pikirku untuk sedikit menenangkan pikiranku.
Aku melewati jembatan kecil di atas sebuah sungai. Kutengok kanan kiri, banyak anak-anak kecil sedang berenang di sungai. Mereka bersuka cita. Di sini memang masih tergolong pedesaan, jadi masih banyak anak-anak yang ’adus kali’, ’jumpritan’, ’dakon’, dan mainan-mainan lain yang biasa dilakukan anak-anak desa. Salah satu anak kecil itu menoleh padaku dan mulai tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyumku. Lambat-laun aku mulai lupa dengan kertas biru itu.

***

Malam ini saat aku akan memjamkan mataku, siap untuk mengarungi samudera mimpi, aku kembali teringat dengan kertas biru yang diberikan Fian tadi pagi. Aku mulai merogoh saku di seragamku yang kugantung di lemariku. Aku mendapatkannya dan mulai membacanya :

Mungkin caraku ini terlalu kuno untuk mengungkapkan maksudku. Aku tahu kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memberikan kertas biru ini untukmu, padahal sebelumnya kita tak saling dekat. Aku hanya ingin kamu mengetahui yang sebenarnya. Enam tahun yang lalu mungkin aku tak memandangmu sebagai apa-apa. Aku hanya memandangmu sebagai gadis kecil lugu yang punya sejuta cita-cita karena kamu punya banyak mimpi yang mungkin bisa kau wujudkan dengan segala kemampuanmu.
Namun, seiring hari-hari yang kulalui, aku semakin tahu dan mengerti siapa sebenarnya dirimu. Tapi, aku hanya sedikit sekali mengerti tentang hatimu. Akhirnya kuputuskan untuk menulis di kertas ini karena aku cukup tak punya nyali untuk berhadapan denganmu. Mungkin kamu tak pernah mengerti bahwa selama ini aku sedikit banyak menaruh perhatian padamu. Akh, mungkin ini tak terlalu penting, lupakanlah!. Tapi, aku hanya ingin kau mengetahui bahwa aku mengagumimu. Aku selalu berharap aku bisa menjadi bagian dalam hidupmu. Kau mungkin tak percaya, tapi sungguh, aku jujur dihadapanmu.
Kata-kataku ini mungkin terlalu tabu untuk seorang Fian. Tapi ntah kenapa aku rela melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu.
Saat rasa hati mengingatmu, aku termenung. Saat rasa hati merindukanmu, aku merenung. Saat rasa hati mencintaimu, aku tersenyum.
Maafkan aku karena aku telah membuatmu bertanya-tanya. Aku hanya ingin mengungkapkan ini, sesuatu hal yang mungkin tak terlalu penting bagi sebagian orang.
Maafkan aku jika tulisanku membuatmu kaget atau mungkin kecewa. Aku yakin kau tak akan pernah menyangka bahwa aku akan berkata seperti ini. Maafkan aku untuk semuanya. Maafkan aku untuk seribu kali lagi.
Semoga kau tak pernah menyesal membaca ungkapan ini. Jika kau tak keberatan, aku mengharapkan jawabanmu.
Terima kasih Biru, karena telah memberi warna dalam gelap terang hariku.

Fian

Hatiku bagai disengat listrik beratus-ratus volt. Tulisan ini mampu membuat jiwaku merinding dan rasa kantukku hilang ntah berganti dengan rasa apa. Ntah bagaimana Fian bisa menulis kata-kata seperti ini. Akh, itu mungkin tak penting! Seperti kata Fian di kertas itu. Yang penting adalah makna dari tulisan Fian. Aku tak menyangka dia akan jujur mengatakan bahwa dia mengagumiku. Aku belum seratus persen percaya bahwa dia benar-benar dan sungguh-sungguh mengatakan hal itu.
Aku merenung sejenak, memikirkan apa yang harus kulakukan setelah membaca surat itu. Apakah Fian benar-benar yakin dengan kata-katanya?.... Aku menjatuhkan diriku di atas kasur. Lima menit kemudian, aku kembali duduk. Aku telah menemukan jawabannya.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju buku bersampul biru di atas meja belajar. Kuambil satu lembar kertas berwarna biru langit di dalamnya. Aku mulai menulis :

Assalamualaikum wr.wb.
Terima kasih, Kak Fian, untuk semuanya. Aku sudah membacanya. Kata-katanya sangat indah dan ekspresif dari hati. Mungkin kakak berbakat untuk bisa menjadi seorang penulis terkenal. Amin..
Aku minta maaf sebelum aku menjelaskan semuanya. Menurutku, bukan hal yang mudah untuk mengungkapkan semua isi hati kita seperti yang sudah dilakukan kakak padaku. Aku sangat menghargai hal itu. Oleh karena itu, aku tak ingin mengecewakan kakak.
Aku sangat menghormati Kak Fian. Enam tahun yang lalu, kita sudah bertemu dan menjadi teman hingga sekarang. Waktu yang cukup lama untuk mengerti satu sama lain. Tapi, itu tidak terjadi padaku, sampai saat ini aku belum mengerti seperti apa kakak sebenarnya. Di mataku kakak sempurna, kelebihan fisik dan intelektual kakak juga membuatku terkagum-kagum. Aku tak pernah memandang orang lain lebih rendah dariku, begitu juga dengan kakak.
Kak,aku tau maksud kakak menulis seperti itu. Tapi maaf aku bukan perempuan yang mudah untuk berkata-kata indah. Terima kasih kakak sudah mengagumiku. Tapi, apakah layak seorang Biru dikagumi? Aku perempuan desa yang sangat sederhana, aku tidak modis, smart ataupun cerdas. Aku hanya punya mimpi dan motivasi. Aku hanya punya Dia. TanpaNya aku bukan apa-apa. Jadi, kagumi dan cintai Dia sebelum mencintai orang lain. Dia yang pantas untuk dikagumi dan dicintai.
Sebagai remaja, kita menyadari akan datangnya perasaan ini, tapi alangkah lebih baik jika kita bisa mengontrol dan mengarahkannya untuk hal yang bermanfaat. Bukan untuk hal-hal yang berlabel ’just for fun’ saja. Kakak mengerti pernyataanku kan?
Maaf kak, jika ini semua membuat kakak kecewa terhadapku...
Terima kasih untuk kebaikan dan keberanian kakak mengungkapkannya padaku.
Semoga kakak tidak pernah menyesal karena mengenalku.
Wassalamualaikum wr.wb.
Biru

Aku melipat kertas itu menjadi empat lipatan dan memasukkannya dalam saku seragamku untuk besok. Aku lega telah menulisnya. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih dua puluh lima menit. Aku menguap, saraf-sarafku seakan sudah kendur. Aku mengantuk. Kurebahkan tubuhku diatas kasur yang bermotif catur itu. Kulantunkan doa, kemudian aku tak tau sudah ada dimana.

***

Pagi ini, suasana hatiku agak berubah. Ada satu jerawat muncul di dahiku. Rupanya si hormon ikut andil dalam penulisan surat tadi malam. Aku tertawa dalam hati. Aku mengayuh sepedaku agak tidak bersemangat. Ntah kenapa sendi-sendiku agak sakit pagi ini. Mungkin aku akan menjalani rutinitas bulanan hari ini.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju kelas dan duduk dibangkuku sampai bel masuk berbunyi. Lisa tampaknya mengetahui gelagat tak beres dari dalam diriku.
”Ssst... Biru, ada apa? Kok mukanya dilipet-lipet gitu? Ada masalah?” tanya Lisa saat pelajaran Biologi.
Aku memalingkan mukaku dan menjawabnya dengan gelengan kepala.
”PMS mbak?” tanya Lisa sambil sibuk mencatat tabel sistem respirasi pada hewan.
”Mungkin..” jawabku sekenanya.
”Huuh...” hembusan nafas Lisa seakan tak ikhlas menerima jawabanku yang super singkat itu.
Bel tanda istirahat pertama berbunyi satu jam kemudian, anak-anak berhamburan keluar, kecuali aku dan Lisa.
”Kamu gak ke kantin?” tanya Lisa.
”... ” Lagi-lagi gelengan kepala yang kutunjukkan.
”Aku duluan ya.” ujar Lisa sambil berlalu. Namun, ia kembali ke kelas dengan muka lebih ceria.
”Biru, ada yang nyariin. Ciee.... siapa nih?” kata Lisa dengan nada menggoda.
”Siapa?” tanyaku sambil beranjak dari kursiku.
”Tau.. deh!” jawab Lisa kemudian diikuti dengan tawa kecil dari bibirnya.
Aku melangkahkan kaki keluar kelas dan mendapati Fian ada di teras kelas sambil membawa buku kecil. Ntah apa itu. Seketika itu aku teringat akan kertas biruku yang sudah kutulis tadi malam. Aku meraba saku untuk memastikan kertas itu ada.
”Kak Fian mencariku?” tanyaku datar.
”Biru... Kau sudah membacanya?” tanya Fian tanpa menjawab pertanyaanku.
”Sudah. Ini...” jawabku sambil menyodorkan kertas biru langitku tadi malam.
Fian menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Ia mengatakan bahwa ia senang karena aku menghargai tulisannya.
***
Dua hari setelah aku memberikan jawabanku padanya, ada satu ungkapan baru yang ditempel di mading. Anehnya, ungkapan itu ditujukan untuk Biru. Hanya satu yang mempunyai nama dengan unsur Biru di sekolah ini, dan itu aku. Aku mulai mencermati kata-katanya :

Untuk : Biru
Jangan berpikir bahwa aku akan kecewa. Sebaliknya, aku sangat bahagia karena aku sudah menemukan jawaban mengapa aku sampai begitu mengagumimu.
Katakan pada hatimu, izinkan aku menunggumu.
Semoga kau tetap menjaga cahaya itu dalam dirimu.
Sampaikan salamku untuk Sang Pangeran Cinta.

F-A2

Aku tersenyum setelah membaca ungkapan itu. ’F-A2’ sama dengan Fian-IPA 2. Aku bernafas lega telah memberikan jawaban yang tidak membuatnya kecewa. Semoga ia juga tetap menjaga cahayanya dalam dirinya. Untuk Sang Pangeran Cinta kami, ada salam terindah dari aku dan Fian. (End)

arinee.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar