Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 28 Januari 2011

Tentang Obrolan di Dapur sampai Wakil Rakyat (tulisan ngalor-ngidul)


Tulisan ini ada demi menuruti hasrat untuk kembali membuat blogpost lagi. Itu saja. :D

Entah kenapa saya dilahirkan dari seorang ayah aktivis merangkap jurnalis merangkap politisi dengan seorang ibu ‘pengajar’ yg aktivis juga, aktivis keluarga maksudnya. Hal ini membuat saya terbiasa di-demokratis-kan sejak orok dan dibiasakan belajar sejak dilahirkan. Nilai-nilai ini membuat saya terbatasi, terbebani, sekaligus terluaskan. *bingung*

Ah, saya tidak akan banyak membahas tentang curat-murat pribadi. Pembicaraan dimulai dari sekelumit ceritera di dapur rumah.

Ketika itu, ayah, ibu, dan saya sedang sarapan di dapur. Mereka duduk berhadapan dan saya sengaja miring di belakang ibu saya.
Tiba-tiba ayah saya nyeletuk, “saiki wong-wong podo wani lungo-lungo gak usah rapat”.
Ibu saya kontan tertawa terbahak, bernada mengejek.
Lantas, saya ikut nimbrung, “pelesiran?” tanya saya.
Ibu saya mengangguk.
Benar dugaan saya.

Ayah saya pernah mendapat tongkat untuk duduk di kursi DPRD Kabupaten periode 2004-2009 lalu, dan periode selanjutnya harus istirahat karena tidak terpilih. Kalah sama moneypolitics, katanya. Hm. Ibu saya bersyukur karena merasa tidak merugi oleh arus politik uang. Saya yang waktu itu masih belia sekali sudah banyak digerojok curhatan ibu tentang ketakutannya kalau-kalau ayah saya terseret kasus korupsi. Alhasil, saya fine saja dengan tidak terpilihnya beliau. Toh, juga sama saja selama semuanya ikhlas, hehe.
Lanjut ke obrolan tadi.
Pelesiran yang dimaksud dalam percakapan di atas adalah pelesiran oleh anggota-anggota DPRD Kabupaten periode sekarang. Ayah saya curhat masalah itu karena ia empat hari lagi akan bekerja lagi di sana. Jadi staf ahli katanya. Para anggota DPRD Kabupaten saya sekarang itu, menurut sumber, senang sekali mengadakan pelesiran, bahkan sampai melangkahi Bamus. Kasarannya, mau pergi, tinggal pergi, ga pake rapat-rapatan, apalagi musyawarah. Katanya, saat periode ayahku, mereka merasa terbatasi karena sang ketua adalah orang yang notabene gak mau macem-macem.
Hm.. ngenes sekali.

Ibu saya akhirnya melontarkan pertanyaan untuk mengetes ayah saya, “kalau begitu terus, apa yang dilakukan papa untuk menyikapinya?” tandasnya.
“Ya itu kan bisa dihindari tho,Ma. Pake aja alasan aku ono urusan puenting. Biar mereka tidak sakit hati.” Jawab ayahku enteng.
“Lha mosok ngunu terus??” protes ibu saya.
“Ya he-eh. Itu kan sudah termasuk upaya menghindari. Orang-orang di DPR RI itu yang terjerat kasus korupsi kan yang ikut-ikut make uang. Kalau tidak mengambil uangnya kan ga kena.” Jawab ayah saya gampangan.
Saya diam. Berbicara dalam hati. Ibu saya mengangguk takzim. Sembari berdoa mungkin.

Akh.. tiba-tiba saya lupa tulisan ini mau ke arah mana. =.=

Hm, dalam hati, saya bersyukur dihadapkan pada lingkungan yang sedikit banyak mendekatkan dengan dunia politik pemerintahan. Dengan begini, saya tidak punya dalih untuk memandang sesuatu dari satu perspektif.

Hari ini semakin mendekatkan ayah saya dengan hari dimana beliau bekerja di gedung itu lagi. Bagi ibu saya, mungkin ada ‘ketakutan’ tersendiri dibalik ke-tawakkal-annya. Bagi saya, setidaknya ayah saya sudah ada upaya untuk menghindari hal keji itu sehingga saya tidak punya alasan untuk tidak mempercayainya.

Mungkin, bekerja dalam sistem adalah seperti bekerja dalam pusaran mesin yang sudah kuat, ketika daya sudah tidak lagi bisa membenahi kendali yang mulai meleset beberapa derajat dari tujuan, lebih baik menghindar, karena arus terlalu kuat dan telalu kotor untuk diikuti.

Kiranya, begitulah Indonesia yang sangat luas. Bentang alam terhampar luas, beragam suku, beragam bahasa, dan sebagainya. Namun, jangan lupa, Indonesia juga punya potensi yang sangat luas untuk dikorupsi, sedangkan Negara adalah sistem. Ketika sistem sudah kacau dan ternoda di sana-sini, kiranya apa yang harus dilakukan untuk tetap berjalan di jalan yang wajar seperti kata Pancasila? Apakah memang harus menghindar? Hehe.. Tanyakan sendiri. © Jan2011


Mulai 9:20 WIB Selesai 11:11 WIB --280111--
@ruangtengah

sumber gambar

Sabtu, 26 Juni 2010

Sebuah Persembahan untuk Piala Dunia 2010 dan Bonek: Ada Apa dengan Berita Olahraga??

under construction

Inspirasi: Bukan Sekedar Menggetarkan Hati



Sugiarto-Muntamah: Dua (Malaikat) Cerdas, Gigih, dan Ramah. Bahkan, kata malaikat atau pahlawan manusiawi pun tidak cukup mewakili. Tak dinyana, beruntunglah saya yang lahir dari keduanya. Tak terelakkan, bagi saya, mereka adalah inspirasi yang lebih dari sekedar menggetarkan hati.


Sejarah (?): Secara Fisik Mirip ‘Sampah’, secara Jiwa itu ‘Nyawa’ (Bagian 1)*

Baiklah, obrolan ini sejatinya dimulai dari kata ‘sejarah’. Saya pernah hampir muntah sewaktu SMA hanya karena mendengar kata ‘sejarah’. Saya pikir, hal itu wajar, laiknya kebanyakan siswa lain. Bukan menjadi suatu kebanggaan, hanya ingin memaparkan bahwa saya pernah mengalami rasa mayoritas. Ya, saya benci mata pelajaran Sejarah dan segala tetek bengeknya. Akhirnya, takdir berkata, saya masuk jurusan IPA dan Good Bye S.E.J.A.R.A.H…! Merdeka!, pikir saya saat itu.

Dua tahun saya lewati, hidup tanpa mata pelajaran Sejarah. Pikiran siswa seperti saya waktu itu, sejarah cuma hal-hal yang berbau jadul alias jaman dulu, berhubungan dengan politik, sosial, ekonomi. Sungguh membosankan dan bikin ngantuk! Saya sempat sedikit antipati dengan guru sejarah. Alasannya adalah karena saya tidak tahu-menahu apa itu sejarah dan mengapa kita harus belajar sejarah.

Ya. Buku-buku pelajaran sejarah itu pun tidak pernah berhasil memotivasi saya. Kala itu, buku yang saya pelajari terlalu memaksa saya untuk terburu-buru belajar tentang sejarah manusia, sejarah indonesia, sejarah dunia, dll tanpa tahu sebenarnya darimana datangnya sejarah, apa sesungguhnya hakikat sejarah, dan seberapa penting sejarah untuk manusia. Kalaupun ada penjelasan mengenai hal itu, itu hanya sebatas retorika. Kalau kata saya, itu tidak membumi (wkeke…). Boleh jadi, ini salah satu faktor penyebab pelajaran sejarah menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Apalagi, tidak banyak siswa Indonesia yang punya kemauan mengkaji sejarah secara lebih arif dan manusiawi. Kalau seperti ini, wajar lah kalau misalnya sejarah itu dikatakan membosankan.

Sebenarnya, saya tidak berniat berdialektika panjang lebar tentang bagaimana mengajar pelajaran sejarah kerena saya bukan sejarahwan ataupun guru sejarah. Biarlah, mereka lebih mampu daripada saya. Tapi, saya akan memberanikan diri mengobral untaian ingatan dan gagasan sederhana saya tentang sejarah. Jika kurang valid, boleh lah disalahkan. :D

Sebelum semakin tersesat, mari kita sisir lebih dahulu sejarahnya Sejarah. Jika dirunut dari makna katanya, sebagaimana yang dikatakan kitab wajib saya (hehe..), yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘sejarah’ ini bermakna leksikal ‘pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau’. Kali ini, saya berani berpandangan bahwa pemaknaan ini kurang lengkap. Yah, sebelumnya, saya ingin berapologi bahwa perspektif selalu bergantung pada sudut pengelihatan masing-masing. Saya juga tidak ingin membatasi pada suatu pemaknaan yang saklek.

Baik, sebelum saya memaparkan rumusan saya tentang ‘sejarah’, barangkali lebih afdhol jika dipaparkan bukti-buktinya. Boleh jadi, ini wujud pembebasan pemaknaan sebelum berpanjang lebar bergulat dengan pendefinisian ‘sejarah’. Suatu penyederhanaan, ya mencoba pola induktif. (©26Jun10-Ar)

(bersambung…)

*) judul pengganti dari tulisan Kunamai Mereka sebagai Sejarah
.

Kamis, 24 Juni 2010

PENGARUH BAHASA MELAYU TERHADAP BAHASA INDONESIA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DAN MEDIA INTEGRITAS BANGSA INDONESIA

Oleh :
Ariny Rahmawati
Fakultas Ilmu Budaya, UGM


I. Pengantar

Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Demikianlah, bunyi ikrar ketiga sumpah pemuda yang telah dirumuskan oleh para pemuda bangsa Indonesia. Bunyi ikrar ketiga dalam sumpah pemuda itu menjelaskan bahwa yang menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Berdasarkan ikrar tersebut, bahasa Indonesia menjadi sangat jelas keberadaannya sebagai media integritas bangsa.

Latar Belakang Masalah

Dari sudut intern linguistik, bahasa Indonesia merupakan salah satu varian historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa Melayu. Dikatakan varian historis karena bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari bahasa Melayu, bukan dari bahasa lain di Asia Tenggara ini. Dikatakan varian sosial karena bahasa Indonesia dipergunakan oleh sekelompok masyarakat yang menamakan diri bangsa Indonesia yang tidak sama dengan bangsa Malaysia atau bangsa Brunei yang mempergunakan varian bahasa Melayu lain. Dikatakan varian regional karena bahasa Indonesia dipergunakan di wilayah yang sekarang disebut Republik Indonesia (Kridalaksana, 1991 : 2).

Berdasarkan paparan tersebut, dapat diketahui bahwa ada hubungan erat antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Hubungan tersebut menimbulkan banyak efek. Diantaranya adalah banyaknya penggunaan kata serapan dari bahasa Melayu dalam aktivitas komunikasi verbal di Indonesia. Sebagaimana dalam sejarah, bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan mengenai keterkaitan antara dua bahasa ini. Hal ini merupakan suatu upaya untuk membuka sejarah dan menilik fakta dibalik pemakaian bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Selain itu, pembahasan ini juga didedikasikan sebagai sikap objektif dan reflektif bangsa Indonesia terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia.

Rumusan Masalah

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia ternyata berakar dari bahasa Melayu. Hal ini telah menimbulkan perdebatan sejak lama. Bahkan, Malaysia yang merupakan negara tetangga dan serumpun dengan Indonesia tengah melakukan upaya klaim terhadap bahasa Indonesia yang telah menjadi alat komunikasi di Indonesia selama bertahun-tahun. Maka, dalam makalah ini, pembahasan difokuskan pada perkembangan bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia kaitannya dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Rumusan masalah yang mendasar adalah berikut ini.
(1) Bagaimana perkembangan bahasa Melayu di dunia dan di Indonesia?
(2) Bagaimana kata-kata serapan dari bahasa Melayu mempengaruhi bahasa Indonesia sebagai media integritas bangsa Indonesia?

Tujuan

Secara historis, banyak teori mengatakan bahwa bahasa Indonesia diadopsi dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai varian dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, tujuan mendasar pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui perkembangan bahasa Melayu di dunia dan di Indonesia. Selain itu, pembahasan topik ini juga bertujuan mengetahui bagaimana kata-kata serapan Melayu mempengaruhi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama di Indonesia.

II. Bahasa Melayu dalam Perkembangannya sebagai Alat Komunikasi

Slametmuljana di dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara menunjukkan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang ada di daerah sekitar Indocina, meliputi Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, Jarai, Sedang, Mergui, Khaosan, Shan, dan sejenisnya. Para pakar lainnya mencari asal usul bahasa Melayu sampai ke Melayu Purba, Proto-Malay, dan Proto-Malayic. Proto-Malay adalah bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa rumpun Melayu pertama (1987:21).

Bersamaan dengan itu, para pakar bahasa membagi bahasa Melayu ke dalam tujuh zaman. Dimulai dari bahasa tertua, dikenal: (1) bahasa Austronesia Purba, (2) bahasa Melayu Purba, (3) bahasa Melayu Kuno, abad ke-7 sampai ke-14, (4) bahasa Melayu Klasik atau Tengahan, abad ke-14 sampai ke-18, (5) bahasa Melayu Peralihan, abad ke-19, (6) bahasa Melayu Baru, abad ke-20, dan (7) bahasa Melayu Modern meliputi bahasa Indonesia, bahasa Malaysia, serta bahasa Melayu Brunei dan Singapura.

Bahasa Melayu Kuno terdapat pada zaman Sriwijaya. Bahasa ini, menurut banyak pakar, ditemukan dalam prasasti Talang Tuwo yang bertahun 684 Masehi dan terdiri atas 14 baris. Selain prasasti Talang Tuwo, masih terdapat sejumlah prasasti dari zaman itu sampai abad ke-13 yang menunjukkan perkembangan bahasa Melayu, meliputi prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi, 10 baris), Kota Kapur (686 Masehi, 10 baris), dan lain-lain.

J.J. de Hollander mengemukakan dalam bukunya Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu bahwa tulisan Melayu Klasik sejak akhir abad ke-13 telah menggunakan huruf Arab. Meskipun demikian, terdapat lafal Arab yang tidak dikenal di dalam bahasa Melayu serta sebaliknya. Oleh karena itu, diciptakan huruf Arab khusus untuk bahasa Melayu. Bahasa Melayu Peralihan pada abad ke-19, selain ditulis dalam huruf Arab, sudah mulai ditulis dalam huruf Latin. Sejak akhir abad ke-19, mulai berkembang bahasa Melayu Rendah yang dikenal sebagai bahasa Melayu Cina. Banyak cerita yang ditulis dalam bahasa ini sebagai hasil karya para sastrawan Cina Indonesia. Bahasa ini bertahan sampai awal 1950-an.

Pada 1901, dikenal ejaan van Ophuijsen yakni ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang dibakukan. Kemudian melalui pendirian Balai Pustaka, pada 1917, dikembangkanlah bahasa Melayu Tinggi yang disusul dengan sejumlah karangan klasik seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, dan sejenisnya. Pada 1928, melalui Sumpah Pemuda, bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada 1938, di Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan disusul dengan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan pada 1954. Kini, secara teratur Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan lima tahun sekali.

Pada 1947, ketika Suwandi menjadi Menteri Pendidikan, diadakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai ejaan Suwandi. Setelah Malaysia merdeka, mereka menyusun ejaan bahasa Malaysia yang berpedoman kepada ejaan bahasa Inggris. Kemudian terjadi pendekatan di antara pakar bahasa Indonesa dan pakar bahasa Malaysia. Meskipun istilah yang digunakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia masih banyak yang berbeda, namun mereka berusaha untuk menyamakan ejaannya.

Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia ketika Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Selain tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928, hal ini juga tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab XV Pasal 36. Berdasarkan kedua hal tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan adalah kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Di samping itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mempunyai andil dalam menciptakan integritas bangsa.

III. Pengaruh Bahasa Melayu terhadap Bahasa Indonesia sebagai Media Integritas Bangsa

Tampaknya, pada zaman Sriwijaya dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan. Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah, waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu, dikenal juga awalan ni- seperti pada kata niminum, niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu, terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.

Kata ‘akan’ tertentu pada zaman itu, kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan imbuhan –nda seperti pada kata ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula, pada zaman itu, dikenal banyak kata yang seperti pada kata yang wala, yang kayu, yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman sekarang, kata yang masih digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih, dan yang terhormat.

Hal-hal yang telah tersebut di atas merupakan sebagian kecil pengaruh kata serapan dari bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Kenyataannya, bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu. Maka, secara langsung dan tidak langsung, pengaruhnya sangat besar. Bahkan, hal ini sudah bukan isu lagi. Secara resmi, bahasa Indonesia telah diakui dan digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari di Indonesia. Jadi, sangat disesali apabila terdapat satu atau dua bangsa yang mengaku memiliki bahasa Melayu secara sepenuhnya. Tentunya, hal ini mengakibatkan perpecahan antar bangsa-bangsa di dunia.

Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai varian sosial dan varian regional, bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di tempat yang berbeda. Perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia, begitu pula bahasa lainnya. Dengan demikian, dari tahun ke tahun, perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa negara tetangga semakin besar. Bagaikan saudara yang diasuh di rumah berbeda, bukan tidak mungkin kedua bahasa ini tidak saling mengenal lagi ketika sudah tua nanti.

IV. Penutup

Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan bahasa Indonesia erat kaitannya dengan bahasa Melayu. Berbagai teori mengatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan varian dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia yang telah menjadi alat komunikasi sehari-hari di Indonesia mempunyai banyak kata serapan yang didapat dari bahasa Melayu. Maka, sikap merasa memiliki bahasa Melayu secara seutuhnya itu bukan merupakan sikap yang arif karena bahasa Melayu bukan milik satu atau dua bangsa tertentu.

Bahasa Melayu adalah bukti eksistensi peradaban dunia. Sebagai varian sosial dan varian regional, hal yang harus diperhatikan adalah bahasa Indonesia dan bahasa lain digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di tempat yang berbeda. Selain dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan bahasa asing, perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia, begitu pula bahasa lainnya.

V. Daftar Pustaka

Kridalaksana, Harimurti. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti (ed). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Hollander, J.J. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Terj. T.W. Kamil. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Pedoman Umum Ejaan Ba-hasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.

Slametmuljana. 1987. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.

Kunamai Mereka sebagai Sejarah

'underconstruction.....'
=D

Senin, 03 Mei 2010

Satu Mei 2010 Bicara

Seandainya burung Garuda di teras Istana Negara Gedung Agung itu bisa bicara, mungkin ia akan berkata, “Kubentang tubuhku di sini sebagai simbol kebijaksanaan dan kepribadian bangsa. Tapi ternyata, yang menduduki pilar-pilar kenegaraan ini justru busuk tersuruk di bawah bantal-bantal kapitalis. Aku seperti tanpa daya. ”
Lalu, seandainya peluh tenaga para demonstran pejuang buruh itu bisa bicara, mereka pun akan berkoar, “Kami tantang angkasa siang ini karena kami telah hadir dalam tubuh dan jiwa para pejuang keadilan untuk buruh. Kami menjadi saksi atas perjuangan mereka.”


Ternyata, satu Mei 2010 bicara. Kawasan jalan Malioboro, siang itu (1/5), menjadi tempat ratusan buruh menyuarakan tuntutannya. Mereka menuntut, antara lain, penghapusan sistem kontrak serta jaminan sosial bagi tenaga kerja.

Pelaksanaan aksi para demonstran menyuarakan tuntutannya berlangsung cukup tertib dan damai. Orasi turun ke jalan diawali oleh Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK) di kawasan nol kilometer Yogyakarta. Aksi tersebut juga dilakukan untuk menyambut para demonstran lainnya. Mereka mengusung tema Bersatu Rebut Kesejahteraan, Lawan Penindasan.

Secara nyata, tak hanya AMUK, sekitar pukul 11.27 WIB, iring-iringan demonstrasi dari Forum Mahasiswa Yogyakarta (FMY) tiba di kawasan nol kilometer. Mereka berorasi di simpang empat Kantor Pos Besar Yogyakarta. Selanjutnya, sekitar pukul 12.09 WIB, para demonstran dari KASBI, SPCI, FORI, AMUK, dan aliansi lainnya turut memenuhi kawasan tersebut. Mereka melangsungkan orasi bersama.

Suasana mulai memanas ketika Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) memenuhi kawasan depan Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. ARM merupakan gabungan dari berbagai aliansi gerakan buruh. Mereka membawa replika babi bergambar SBY-Budiono. Menurut orator ARM, replika babi tersebut merepresentasikan rezim SBY-Budiono. Secara lantang, mereka suarakan 15 tuntutan ARM, diantaranya adalah penolakan terhadap Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang dianggap sebagai awal bagi kehancuran industri manufaktur.

Sekitar pukul 13.01 WIB, terdapat aksi pembakaran replika babi tersebut. Kawanan anggota ARM melingkar dan berlari-lari mengelilingi kobaran api pembakaran replika babi tersebut. Saat itu, tidak ada indikasi pemadaman dan penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Aksi demonstrasi di kawasan nol kilometer tersebut berakhir sekitar pukul 13.28 WIB. Iring-iringan demonstran bergerak jalan bersama menuju Alun-alun Utara Yogyakarta. Oleh karenanya, lalu lintas yang sekitar setengah jam terhambat itu pun harus segera ditertibkan. Sekawanan polisi berusaha memadamkan bara api bekas aksi demonstrasi tersebut untuk melancarkan arus lalu lintas.

Ketika dikonfirmasi, Kapoltabes Yogyakarta, Ahmad Dofiri, menegaskan bahwa ia telah mengerahkan sekitar 500 aparat yang disebar di beberapa titik, yakni kawasan Stasiun Tugu Yogyakarta, gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, kantor Gubernur DIY di Kepatihan, dan Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Dofiri juga menyatakan pendapatnya terhadap aksi demonstrasi peringatan hari buruh 2010 ini. “Kami memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan aksi demonstrasi asal tidak melakukan tindak anarki. Namun, kebersihan jalanan pasca demonstrasi harus juga diperhatikan oleh para pelaku aksi,” tuturnya. [Arin]

Jumat, 30 April 2010

Calo Kursi Perusak Reputasi

Minggu pagi (28/3), Jalan Flora Universitas Gadjah Mada (UGM) tampak padat. Peserta Ujian Tulis (UTUL) UGM memenuhi jalan yang terletak di sebelah barat Fakultas Pertanian. Data Kepala Humas dan Protokoler UGM mencatat, peserta UTUL UGM mencapai angka 46.617.

Diam-diam, tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk UGM dimanfaatkan oleh para “penjual kursi”.

Mereka menawarkan dan menjamin satu tempat dengan harga yang tidak wajar. Salah satu pelaku berinisial MF menyebutkan harga untuk tiap fakultas. Untuk Fakultas Kedokteran Umum dihargainya Rp 260 juta dan Fakultas Kedokteran Gigi Rp 200 juta. Untuk fakultas lainnya diobral Rp 120 juta. “Peluang diterimanya 99%,” kata MF yang juga berstatus mahasiswa Fakultas Kehutanan 2008.

Tak hanya tahun ini, isu tentang penjualan kursi di UGM juga pernah menyeruak pada tahun 2008. Budiyanto, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM 2008, pernah berusaha menguak kasus tersebut. Keinginannya diperkuat oleh pengakuan Mahfudz MD, sosok yang kini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia. “Mahfudz MD pernah ditawari satu kuota untuk anaknya,” ucap Budiyanto. “Pihak yang menawari adalah temannya sendiri yang mengaku mempunyai jaringan di kampus,” tambahnya.

Oleh karena hal itu, ia kemudian membentuk tim untuk menginvestigasi praktik penjualan kursi di UGM. Sayangnya, tim itu gagal membedah kasus tersebut. Mereka belum dapat menemukan bukti valid untuk mendukung terungkapnya kasus ini. “Model kasusnya sangat rapi, sehingga sulit untuk dibawa ke ranah hukum,” tambah Budiyanto, alumni Fakultas Hukum tersebut.

Kasus ini ternyata didalangi oleh oknum internal UGM. Hal ini diungkapkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya berinisial VH. “Ada dosen yang menjadi calo masuk UGM. Bayarannya tidak dimakan sendiri, akan tetapi juga untuk jajarannya,” ujar anak salah satu dosen di UGM.

Fenomena “penjualan kursi” di UGM pun mengundang berbagai tanggapan dari mahasiswa. Salah satunya adalah Finalia Vinanthi, mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan 2007. Dia kecewa dengan adanya praktik “penjualan kursi” di UGM. Baginya, hal itu telah menodai citra baik UGM. “Kalau calo kursi itu ada, berarti pendidikan di UGM memang terbukti sudah dikomersilkan,” tuturnya.

Ketika dikonfirmasi perihal masalah ini, pihak rektorat menanggapi dengan serius. “UGM tidak pernah menarik dana lebih dari yang tercantum dalam leaflet maupun website. Selain yang tercantum disana adalah penipuan,” tutur Drs. Haryanto, M.Si selaku Kepala Bidang Kemahasiswaan. Ia mengatakan UGM sudah melakukan upaya maksimal untuk mencegah praktik penjualan kursi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Salah satunya dengan membentuk satuan tugas penanggulangan penipuan. Haryanto menghimbau agar masyarakat turut membantu dengan tidak tergiur oleh tawaran penjual kursi. “Banyak korban penipuan yang tidak berani lapor ke polisi. Padahal, hal itu bisa membantu dalam mengungkap jejaring calo kursi,” tambahnya. [Adib, Arin, Opik]


--(dimuat di buletin Balkon—salah satu produk BPPM Balairung UGM—edisi 128, 30 April 2010)

ANALISIS PLOT NASKAH DRAMA KOMEDI SATU BABAK “PAGI BENING” (Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero serta Terjemahan oleh Sapardi Djoko Damono)

Oleh:
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM


I. Deskripsi Naskah Drama

Naskah Drama Pagi Bening adalah naskah drama komedi satu babak yang berasal dari tanah Spanyol, diciptakan oleh Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero dan diterjemahkan oleh Drs. Sapardi Djoko Damono pada tahun 2006. Tempat kejadian (setting tempat) drama ini di Madrid-Spanyol, di suatu taman terbuka, pada masa ini juga.

Sementara itu, tokoh yang disajikan adalah Donna Laura, wanita berumur 70 tahun dan ditampilkan masih nampak jelas bahwa dulunya adalah seorang gadis cantik dan segala tindak tanduknya mencerminkan mental yang baik. Selain itu, ada Don Gonzalo, lelaki tua kira-kira berumur 70 tahun lebih, agak congkak dan selalu tampak tidak sabaran. Kemudian, sebagai tokoh pembantu, terdapat Petra dan Juanito. Petra, seorang gadis pembantu Laura, sedangkan Juanito adalah pemuda pembantu Gonzalo.

II. Sinopsis

Dikisahkan bahwa Donna Laura adalah seorang nenek yang kerap kali pergi dan duduk di taman. Setiap hari, ia duduk di tempat duduk yang sama sehingga menganggap tempat duduk itu seolah-olah miliknya. Ia duduk di bangku taman sambil memberikan remah roti kepada merpati-merpati di taman.

Sementara itu, datanglah Don Gonzalo yang tampak bingung karena bangku taman yang biasa ia tempati telah diduduki oleh tiga orang pendeta. Karena tidak ada pilihan lain, Gonzalo duduk disamping Laura. Pembicaraan dimulai disini. Dari mulai mempermasalahkan hal kecil hingga sampai pada pembicaraan tentang Villa Maricella. Keduanya tampak membicarakan dua orang, Laura membicarakan Laura Liorento “Perawan Bagai Perak” dan Gonzalo menceritakan Gonzalo.

Mereka mencoba flashback. Namun, tak disangka ternyata mereka berdua membicarakan diri mereka sendiri. Laura menceritakan masa mudanya Laura dulu, dan Gonzalo menceritakan masa mudanya. Sejatinya, mereka berdua adalah dua orang yang saling mencintai. Mereka berdua mencoba mengatakan isi hati mereka walaupun sebenarnya mereka masing-masing telah menikah dengan orang lain. Hal menduga-duga yang dilakukan oleh keduanya, semisal yang dikatakan Laura, “Mungkinkah dia itu benar orangnya?” dan yang dikatakan Gonzalo,”Ya Allah, dialah orangnya itu?”, semua ini berlanjut hingga akhir drama
.

III. Analisis Plot

3.1 Landasan Teori
Plot merupakan kerangka dasar yang amat penting. Plot mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain (kausalitas), serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Perrine dalam bukunya Literature: Structure, Sound and Sense menjelaskan bahwa “plot is the sequence of incident or events which the story is composed and it may conclude what character says or thinks, as well as what he does, but it leaves out description and analysis and concentrate ordinarily on major happening” (1974:41).

Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction menyatakan “the comflict moves the story because it is generating center out of which the plot grows which becomes the core of the story’s structure. (1965: 16). William Kenney dalam bukunya How To Analyze Fiction menyatakan “the structure of plots divided into three parts. They are the beginning which consists of the exposition on introduction, the middle which consists of conflict, complication and climax and the end which converses denouement or resolution” (1966:13).

Dalam bentuk sederhana, plot dibagi menjadi 3, yaitu:
3.1.1 Beginning atau awal cerita
Bagian awal berfungsi sebagai eksposisi yaitu bagian yang memberikan informasi yang diperlukan oleh pembaca agar bisa memahami jalan cerita selanjutnya. Dibagian awal ini biasanya berisi nama tokoh-tokoh, gender, usia, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal, dan hal-hal yang menurut penulis penting untuk diketahui oleh pembaca. Pada awal ini biasanya diakhir dengan cerita yang tidak stabil karena cerita yang tidak stabil inilah yang akan memicu kejadian yang akan terjadi berikutnya.
3.1.2 Middle atau tengah cerita
Bagian tengah cerita diawali dengan hal-hal yang bisa memicu konflik karena pada bagian tengah cerita ini berupa rangkaian konflik yang intensitasnya semakin tinggi dan mencapai kepuncak dan disebut dengan klimaks sebuah cerita. bagian inilah yang biasanya paling ditunggu oleh pembaca.
3.1.3 End atau akhir cerita
Bagian akhir cerita ini berisi penyelesaian atas masalah-masalah yang terjadi dibagian tengah cerita.

Menurut Hartoko dalam bukunya yang berjudul Pemandu di Dunia Sastra (1985:48), plot dibedakan menjadi dua jenis: (1) plot flash-back (alur campuran), teknik ini digunakan pengarang untuk menampilkan kembali kejadian di masa lalu, (2) plot flash-forward (alur maju).

Dalam suatu cerita, teknik ini lebih mudah di pahami pembaca karena cerita yang ditampilkan maju terus ke depan. Melalui plot pembaca dapat mengikuti urutan cerita lebih mudah. Tatanan plot dalam sebuah cerita yang lebih rinci menurut Mochtar Lubis (1981:17) meliputi:
1. Perkenalan
Dalam bagian perkenalan berisi mengenai tokoh, konflik, dan latar dari cerita yang dibahas dalam novel.
2. Pemaparan masalah
Bagian dimana cerita mulai berkembang sebelum konflik mencapai puncak.
3. Klimaks
Bagian dimana permasalahan dalam novel mencapai puncaknya.
4. Anti klimaks
Bagian dimana permasalahan dalam cerita mulai ada solusinya.
5. Penyelesaian masalah.
Bagian dimana permasalahan dalam cerita dapat diselesaikan.

Sementara itu, Aristoteles membagi struktur cerita atas lima bagian, yaitu : (1) pemaparan (eksposisi), (2) penggawatan (komplikasi), (3) klimaks, (4) peleraian (anti klimaks), dan (5) penyelesaian (catasthrope). (Boen S. Oemaryati, 1971 : 70)

3.2 Analisis Plot Naskah Drama Pagi Bening

Naskah drama Pagi Bening karangan Serafin dan Joaquin ini menganut plot flash-back (alur campuran). Hal ini dapat diketahui dari jalan cerita dramanya berupa penampilan-penampilan peristiwa di masa lalu melalui apa yang dikatakan oleh tokoh (Donna Laura dan Don Gonzalo). Drama komedi ini membahas secara intens maksud pembicaraan kedua tokohnya dan memaparkan secara jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan tokoh tersebut, dibuktikan dengan perkataan yang disampaikan tokoh di luar dialognya dengan tokoh lain. Berikut ini dipaparkan kutipan dialog dalam drama tersebut.

GONZALO : Jadi nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?
LAURA : Tentu saja, tuan.
GONZALO : Setua itu? Ahai, nyonya main-main saja!
LAURA : Coba saya pinjam buku tuan itu!
(MENGAMBIL BUKU DAN MEMBACANYA KERAS-KERAS)
“ Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, dimana oranya itu? “
GONZALO : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan nyonya.
LAURA : (KESAMPING) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.

Teks sampingan “(kesamping)” tersebut mengisyaratkan hal sebenarnya yang terjadi pada Laura. Oleh karena itu, pembaca menjadi mudah memahami jalan ceritanya. Tidak hanya pada dialog tersebut, terdapat juga beberapa hal serupa pada dialog-dialog yang lain.

Mengenai struktur cerita, naskah drama ini menganut lima aspek yang dikemukakan oleh Aristoteles sehingga dapat dikatakan bahwa naskah drama ini menganut plot konvensional. Seperti yang diungkapkan oleh Gustaf Freytag dari Jerman, bahwa alur itu menggambarkan bentuk segitiga sama sisi dengan klimaks terletak persis di bagian tengah cerita. Berikut ini dipaparkan bagian-bagian dari plot tersebut.

3.2.1 Pemaparan (exposition)

Pada umumnya berisi informasi yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahapan awal adalah memberikan informasi dan penjelasan seperlunya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Dalam naskah drama Pagi Bening diceritakan pemaparan pada bagian awalnya, yakni pada saat Donna Laura (salah satu tokoh utama) masuk panggung dengan ditemani Petra (pembantunya). Di situ, dijelaskan posisi Petra sebagai pembantu, sedangkan Laura sebagai majikan atau yang dibantu. Hal tersebut juga dibuktikan dengan panggilan “Senora” oleh Petra yang ditujukan pada Laura. Senora merupakan panggilan yang berarti ‘nyonya’ dalam bahasa Spanyol. Selain itu, dalam tahap pemaparan juga dijelaskan mengenai latar tempat dan suasana. Hal ini ditunjukkan dalam dialog berikut ini.

LAURA : Aku selalu merasa gembira sekali di sini. Syukur bangkuku tidak ditempati orang lain. Duhai, pagi yang cerah! Cerah sekali.
PETRA : Tapi matahari agak panas, Senora.
LAURA : Ya, kau masih duapuluh tahun (IA DUDUK DI BANGKU BELAKANG). Aku merasa lebih letih dari biasanya (MELIHAT PETRA YANG NAMPAK TAK SABAR), pergilah kalau kau ingin ngobrol dengan tukang kebunmu itu!
PETRA : Dia bukan tukang kebunku, Senora, dia tukang kebun taman
ini!

Selain itu, terdapat pula penjelasan mengenai Gonzalo dan Juanito. Dalam hal ini, Juanito sebagai pembantu Gonzalo. Motif pengenalannya sama dengan motif pengenalan Petra dan Laura.

Singkatnya, tahap pemaparan / eksposisi dimulai pada bagian awal saat Laura dan Petra masuk panggung kemudian bertemu dengan Gonzalo dan Juanito (Petra pada saat itu keluar panggung sebelum Gonzalo dan Juanito datang). Lalu, sampai pada awal dari keributan kecil yang dilakoni oleh Laura dan Gonzalo. Hal ini yang akan menjadi latar belakang dari komplikasi (penggawatan) selanjutnya.

3.2.2 Penggawatan (komplikasi)

Dalam naskah drama karangan Serafin dan Joaquin ini, tahap komplikasi dimulai ketika terjadi keributan kecil yang dilakoni oleh Laura dan Gonzalo. Ketika itu, terdapat percekcokan mengenai bangku taman. Pada saati itu, bangku taman yang biasa ditempati oleh Gonzalo telah ditempati oleh tiga orang pendeta. Alhasil, karena tidak ada pilihan lain, Gonzalo duduk di sebelah Laura. Disinilah penampilan awal masalah diungkapkan. Tahap penggawatan.komplikasi ini terus berlanjut hingga sampai pada cerita tentang masa lalu yang dikemukakan oleh Gonzalo. Ia menceritakan tentang sajak-sajak karangan penyair lama. Dalam hal ini, dia mengaku sebagai teman dari penyair-penyair tersebut. Lalu, pembicaraan mengarah pada Amerika, Raja Ferdinand, Ratu Isabella, dan Valensia. Berikut ini dipaparkan beberapa dialognya.

LAURA : Eh, tuan pernah ke Amerika?
GONZALO : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 6 tahun.
LAURA : Tentunya dulu tuan ikut Colombus.
GONZALO : (TERTAWA) Yah, tidak sejelek itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah kenal Raja Ferdinand serta Ratu Isabella!
(KEDUANYA TERTAWA). Saya juga teman Campoamor, berjumpa pertama kali di Valensia. Saya warga kota di sana.
LAURA : Apa sungguh?
GONZALO : Saya dibesarkan disana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa nyonya pernah ke Valensia?
LAURA : Pernah! Tiada jauh dari Valensia ada sebuah villa dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa musim di sana. Tapi sudah lama lampau. Villa itu dekat laut, tersembunyi antara pohon jeruk. Mereka menyebutnya ... ah ... lupa ... o ya, Villa Maricella.

Semua dialog pada tahap penggawatan ini menjadi sebab dari tahap-tahap selanjutnya. Terlebih lagi, ketika pembicaraan sampai pada Villa Maricella. Pada tahap selanjutnya, konflik akan dimulai dengan pembahasan mengenai Villa Maricella dan segala peristiwa yang berhubungan dengan hal tersebut.

3.2.3 Klimaks

Dalam naskah drama terjemahan Sapardi Djoko Damono ini, klimaks dimulai ketika terjadi obrolan mengenai Villa Maricella. Dalam hal ini, pembicaraan terus berlangsung hingga orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Villa Maricella tersebut. Di sinilah sesuatu yang ganjil terjadi. Laura mencoba menceritakan tentang gadis yang tinggal dalam Villa tersebut, yakni Laura Liorento yang dijuluki Perawan bagai Perak. Ia menceritakan tentang kisah cintanya dengan Gonzalo. Dalam hal ini, perlu diketahui, mereka belum tahu nama dari mitra wicaranya. Laura belum mengetahui nama lawan bicaranya (Gonzalo), begitu pula sebaliknya.

Gonzalo pun menceritakan tentang Gonzalo yang mencintai Laura Liorento. Ia menceritakan segala perjuangannya dalam mendapatkan Perawan bagai Perak tersebut. Di sini, ada dialog yang menyatakan keheranan satu sama lain karena masing-masing sepertinya begitu mengetahui detail cerita. Namun, keduanya berkilah dengan alasan-alasan yang menurut mereka masuk akal. Berikut ini dipaparkan sebagian dialognya.

GONZALO : Ya, waktu matahari terbit, di tepi pantai, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
LAURA : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.
GONZALO : Nyonya pun begitu agaknya.
LAURA : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.
GONZALO : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya.
(KE SAMPING) Heh, inilah Laura itu! Tak salah!
LAURA : (KE SAMPING) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga apa-apa.
GONZALO : (KE SAMPING) Dia sama sekali tak bersalah.
LAURA : Dan apakah tuan pula yang menasihati saudara tuan itu untuk melupakan Laura?
GONZALO : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.

Dalam dialog di atas, juga dijelaskan jikalau keduanya saling membela diri. Namun, ternyata, keduanya pun mulai menyadari jika lawan bicara masing-masing adalah Laura dan Gonzalo yang dimaksudkan dalam cerita-cerita mereka. Di sinilah sebab dari tahap peleraian.

3.2.4 Peleraian (antiklimaks)

Tahap peleraian dalam naskah drama ini dimulai dengan upaya saling mengakui jika mereka telah menikahi gadis dan pemuda yang lain. Namun, pengakuan ini hanya diungkapkan di belakang, tidak di depan lawan bicara. Hal ini menjadi akibat dari adanya kesadaran dari masing-masing pihak jika lawan bicaranya adalah Gonzalo dan Laura.

Tahap peleraian ini berlangsung sampai pada Laura yang menyadari bahwa pertemuannya dengan lawan bicaranya sebagai sesuatu hal yang aneh. Begitu pula Gonzalo, ia mengamininya. Berikut ini dipaparkan dalam dialog di bawah ini.

LAURA : Nasib memang selalu aneh. Di sini, tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!
GONZALO : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.
LAURA : Tuan juga yang tadi mengganggu merpati-merpati saya.
GONZALO : Memang agak kasar saya tadi.
LAURA : Memang kasar. (RAMAH) Tuan datang lagi besok pagi?
GONZALO : Tentu, asal pagi secerah ini. Dan takkan lagi mengganggu merpati-merpati itu, tapi saya akan membawa remah-remah roti besok.
Begitu sebagaimana diungkapkan dalam dialog di atas, tahap peleraian diakhiri dengan kesediaan Gonzalo untuk datang besoknya dan membawakan remah roti untuk merpati-merpati itu. Di sinilah konflik berakhir dan Laura memanggil Petra, begitu pula Gonzalo memanggil Juanito.

3.2.5 Penyelesaian (catasthrope)

Tahap ini dimulai dengan adegan Laura memanggil Petra, begitu pula Gonzalo memanggil Juanito. Mereka beranjak pulang. Pada tahap ini ditampilkan pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan oleh Laura dan Gonzalo saat melambai pulang. Berikut ini dipaparkan dalam dialog di bawah ini.

GONZALO : Sampai besok, nyonya!
LAURA : Sampai besok, tuan!
GONZALO : Agak panas hari ini!
LAURA : Pagi yang cerah. Tuan besok pergi ke bangku tuan?
GONZALO : Tidak, saya akan kemari saja. Itu kalau nyonya tidak berkeberatan.
LAURA : Bangku ini selalu menanti tuan!
GONZALO : Akan saya bawa remah-remah roti!
LAURA : Besok pagi, jadilah!
GONZALO : Besok pagi. (LAURA MELANGKAH KE KANAN BERPEGANG PADA PETRA. GONZALO MEMBUNGKUK SUSAH PAYAH MEMUNGUT BUNGA YANG JATUH TADI, DAN LAURA MENENGOK KETIKA ITU)
LAURA : Apa yang tuan kerjakan?
GONZALO : Juanito, tunggu dong!
LAURA : Tak salah, dialah Gonzalo!
GONZALO : (KE SAMPING) Tak salah, dialah Laura!
(MEREKA MASING-MASING MELAMBAIKAN TANGAN)
LAURA : Mungkinkah dia itu benar orangnya?
GONZALO : Ya Allah, diakah orangnya itu?
(KEDUANYA TERSENYUM)

Begitulah adegan terakhir dari naskah drama Pagi Bening ini. Tahap penyelesaian dituliskan secara halus, dimana petemuan yang diawali pertengkaran kemudian diakhiri dengan saling melambaikan tangan dan mengharap besok dapat bertemu lagi. Walaupun begitu, keduanya masih memertanyakan jati diri lawan bicara masing-masing.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis plot, dapat disimpulkan bahwa naskah drama Pagi Bening ini menganut plot flash-back (alur campuran). Selain itu, subplot yang dimaksud terdiri dari lima tahap, yaitu tahap pemaparan, komplikasi, klimaks, anti klimaks, dan penyelesaian. Naskah drama Pagi Bening masih mengandung plot konvesional. Oleh karena itu, dasar teori yang digunakan adalah teori plot yang dikemukakan oleh Aristoteles.(©12Apr10)

Sinergitas Movies dengan Mentalitas Bangsa Indonesia

Oleh:
Ariny Rahmawati
Universitas Gadjah Mada

Film merupakan salah satu media efektif penyampai pesan karena film dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi. Dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Saat ini, kebanyakan film Indonesia menempatkan film hanya sebagai movies. Artinya, mayoritas film di Indonesia hanya sebagai barang dagangan. Pembuatan film hanya dititikberatkan pada permintaan konsumen, bukan atas kepentingan pendidikan atau sinematografinya. Oleh karena itu, muncul film-film Indonesia dalam genre populer. Genre horror bernuansa seks menduduki peringkat tertinggi. Hal ini terlihat dari jumlah produksi film horror yang mencapai angka lebih dari 100 pada kisaran tahun 2006 sampai 2009.

Selintas Perkembangan Industri Perfilman Indonesia
Industri perfilman Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Usianya tidak bisa dikatakan muda. Film pertama kali yang diproduksi di Indonesia adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Film ini disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp, dua orang yang berkebangsaan Belanda. Kendati seperti itu, film ini dimainkan oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Java NV di Bandung. Peluncuran film ini dilakukan pada tanggal 31 Desember 1926 di teater Elite dan Majestic. Setelah itu, sekitar puluhan ribu film diproduksi di Indonesia.
Dunia perfilman Indonesia sempat menjadi raja di negeri sendiri sekitar tahun 1970-an sampai 1980-an. Pada saat itu, film Indonesia sempat merajai bioskop-bioskop lokal. Film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan Si Boy, Blok M, dan sebagainya. Pun beberapa bintang film yang terkenal kala itu adalah Onky Alexander, Meriam Belina, Nike Ardilla, dan Paramitha Rusady. Selain itu, sineas-sineas yang berhasil menghasilkan film-film berkualitas pada masa itu, yakni Arifin C. Noer, Benjamin Sueb, Bing Slamet, Teguh Karya, Eros Djarot, dan lain-lain. Mereka berhasil menyuguhkan karya seni secara total dan tidak hanya aji mumpung belaka.
Setelah masa kejayaan itu, para produser mulai mengeksploitasi para konsumen. Karena satu dan lain hal, kualitas perfilman Indonesia semakin menurun pada tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan dominasi tema-tema khusus orang dewasa pada hampir semua film Indonesia. Film-film horror, seks, atau horror bernuansa seks mulai muncul memenuhi bioskop-bioskop lokal. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Akibatnya, film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi film Indonesia di negeri sendiri.

Setelah masa-masa itu, pada kisaran abad baru, muncul film berjudul Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, bintang cilik berbakat. Drama musikal tersebut diproduksi oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. Pada kenyataannya, film tersebut mampu menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Secara komersil, film ini mampu menguasai bioskop-bioskop lokal Indonesia. Setelah itu, muncul film-film lain dengan genre berbeda namun telah sukses secara komersil, yakni Jelangkung, Ada Apa dengan Cinta, Biarkan Bintang Menari, Di sini Ada Setan, dan sebagainya.

Sementara itu, film-film berkualitas dan nonkomersil juga mampu memenangkan penghargaan nasional dan internasional. Film-film tersebut diproduksi oleh sineas-sineas berkualitas, diantaranya adalah Christine Hakim dan Deddy Mizwar. Film-film nonkomersil tersebut, diantaranya berjudul Pasir Berbisik, Daun di atas Bantal, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Marsinah, dan lain-lain. Selain itu, pada masa ini, Festival Film Indonesia kembali digelar setelah vakum selama 12 tahun.

Sepanjang perjalanan dunia perfilman Indonesia, saat ini, kembali diguncang film-film bernada seks dan horror. Pada tahun 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia mencekal film berjudul Suster Keramas, Hantu Puncak Datang Bulan, dan film-film lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan karena film-film tersebut dianggap mampu mengusik perasaan susila masyarakat. Sayangnya, meskipun telah dicekal, film tersebut tetap tayang dengan judul yang berbeda. Di sinilah dunia perfilman Indonesia kembali mengalami degradasi substansi.

Sejarah penetapan Hari Film Nasional jatuh pada 30 Maret, diambil dari hari pertama proses pengambilan gambar Darah dan Doa, sekaligus film pertama yang diproduseri Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Usmar Ismail, adalah tokoh penting yang diberi kehormatan menyandang semua kebesaran ini. Ia adalah sutradara sekaligus ketua dari badan yang dibentuk di tahun1950 ini. Kelak, Usmar juga menyandang gelar Bapak Film Nasional dengan sebuah gedung film dan pusat data yang dinamai sesuai dengan namanya.

Bukan sebuah kebetulan, ketika seorang Suzanna, legenda hidup dalam sejarah film horor Indonesia ternyata mengawali karirnya dibawah arahan Usmar. Asrama Dara (1958), film yang memberinya peran kecil itu ternyata membawa Suzanna pada jenjang yang terus menanjak hingga 50 tahun kemudian, 2008, sekaligus membuktikan ketajaman intuisi Usmar sebagai maestro.tuisi Usmar sebagai maestro.

Jika pada tahun ini fokus peringatan jatuh pada Suzanna, tentu tak dimaksudkan untuk terjebak pada kultus bintang. Sebagai legenda hidup, tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari dari sosok dan konsistensi seorang Suzanna dalam dunia film. Peringatan Hari Film Nasional kali ini juga berupaya untuk membaca fenomena Suzanna melalui diskusi dan pemutaran beberapa filmnya yang legendaris, mengingat ikonoklastik Suzanna dalam posisi film horor dunia.

Kecenderungan Genre Horror pada Film-film Indonesia
Dalam perkembangannya, ada beberapa jenis film horor. Pada masa awal perkembangannya di Barat, film-film horor mengambil ilham dari tokoh-tokoh dalam sastra klasik Barat seperti Dracula, Wolfman, Frankenstein, Dr. Jekyll & Mr. Hyde, The Mummy, The Phantom of The Opera, dan lain sebagainya. Setelah Perang Dunia II, berkembang tiga jenis (sub genre) film horor yang dominan di Amerika, yaitu horror-of-personality, horror-of-Armageddon, dan horror-of-the-demonic (Derry : 1977).

Wicaksono Adi dan Nurruddin Asyhadie pun turut membahas jenis horror dalam perkembangan film-film Indonesia. Dalam tulisannya berjudul Paramarupa Film Horor Kita (Majalah F, no. 3, Februari-Maret 2006), ada ketegangan film horor berjenis demonic horror dan pyschological horror. Film horor berjenis demonic horror adalah film horor dengan tokoh-tokoh setanwi, atau supernatural. Sedangkan film horor berjenis pyschological horror adalah film horor yang bersumber dari persoalan kejiwaan.

Kedua jenis film horor tersebut turut menyumbangkan warna dalam genre film horor di Indonesia. Film horor pertama di Indonesia yang menggunakan jenis demonic horror adalah film berjudul Tengkorak Hidoep yang diproduksi pada tahun 1941 oleh Tan Tjoei Hok. Sedangkan film horor pertama Indonesia yang menggunakan jenis pyschological horror adalah film berjudul Lisa yang diproduksi oleh M. Shariefudin pada tahun 1971. Kedua film ini menjadi tonggak munculnya genre horor di Indonesia hingga saat ini.

Berdasarkan pemaparan pada poin I dan II di atas, disebutkan bahwa genre horor sempat mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia. Genre horor menjadi yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Kiranya, perlu sebuah telaah sebab mengapa film horor Indonesia kian diproduksi secara terus-menerus. Dalam hal ini, perlu dikaji tujuan mayoritas para sineas Indonesia memperoduksi film-film tersebut.

Sebagaimana disebutkan dalam pengantar, mayoritas film Indonesia diproduksi untuk kepentingan finansial. Hal tersebut mengakibatkan para sutradara dan penulis naskah memproduksi film sejauh permintaan kebanyakan konsumen saja, bukan atas tujuan pendidikan atau kritik sosial. Intinya, film Indonesia diproduksi sebagai hiburan belaka. Terbukti dengan munculnya puluhan film horor di Indonesia. Memang, hal tersebut wajar karena sineas-sineas Indonesia ingin memberikan suasana hiburan bagi masyarakat Indonesia. Namun, dominasi film horor tersebut juga membuat para penikmat film Indonesia menjadi jenuh. Akibatnya, film Indonesia tergeser oleh film Hollywood atau film luar lainnya.

Sejauh pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa kualitas kebanyakan film Indonesia perlu dipertanyakan. Ironisnya, film-film horor yang jelas-jelas tidak punya substansi itu menggunakan stimulan seks dalam menjaring penonton. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Majelis Ulama Indonesia pun berkali-kali mencekal film-film berbau perusak moral. Namun, film-film sejenis kian diproduksi hingga kini.

Film Indonesia dan Bangsa Indonesia
Yudi Prakasa, pengamat film dari Institut Kesenian Jakarta, berpendapat mengenai kualitas dan kuantitas produk dunia perfilman Indonesia. Ia mengatakan bahwa kemunculan film-film Indonesia berkualitas rendah seperti yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari sebuah siklus yang selalu berulang. Dunia perfilman Indonesia senantiasa bergerak naik dan turun, mengalami masa keemasan di satu saat dan terpuruk di saat lainnya.

Yudi bukannya tidak menyadari bahwa penonton sekarang telah menjadi lebih arif dalam menilai sebuah film. Akan tetapi, menurut Yudi, para produser telah mengantisipasi bertambah pintarnya para penonton. Pengamat film ini menggunakan teori psikologi Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs) dalam menjelaskan pandangannya. Teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow ini menyatakan bahwa ketika manusia memenuhi kebutuhan dasarnya, ia akan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang ditunjukkan diagram dibawah ini.



Singkatnya, menurut Yudi, produser pada masa 1990-an memproduksi film-film yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti yang ditunjukkan Hirarki Maslow pada bagian diagram yang berwarna merah, era 1990-an diwarnai film-film bertema seks. Selain itu, saat ini, film Indonesia telah berada satu tingkat di atas merah. Sekarang para produser membuat film-film dengan tema horor yang intinya mengusik rasa keamanan yang diperlukan manusia.

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa dalam hal kualitas, masyarakat Indonesia masih berada dalam taraf rendah. Hal ini tentu saja menyangkut kepribadian bangsa Indonesia. Dalam batasan-batasan yang ketat, film akan berdampak positif bagi para pemirsanya. Namun, film akan menjadi masalah ketika isi yang terkandung atau pesan yang diusung film tersebut keluar dari batas dan norma dan etika.

Keadaan masyarakat pada suatu bangsa sangat tergantung pada jenis tontonan kesehariannya. Ketika meyaksikan film produksi India yang bernilai positif pada muatan budayanya, dapat ditemukan bahwa memang demikianlah keadaan masyarakat India yang begitu mengahargai dan mencintai kebudayaannya. Sementara film keseharian bangsa Indonesia didominasi muatan-muatan yang berbau takhayul dan horor belaka. Hal ini menjadi sebab lemahnya cita menuju kemajuan teknologi dan kemajuan bangsa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa antara film dan kecerdasan para pemirsanya (baca : masyarakat) jelas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Film mempengaruhi kepribadian bangsa.

Akhirnya, baik tidaknya film yang beredar di negeri ini sangat bergantung pada kebijakan badan perfilman Indonesia yang mengatur tentang batasan-batasan norma dan adab film-film di pasaran. Namun, bangsa Indonesia harus tetap berusaha kritis dan memfilterasi berbagai tayangan ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjerembab pada keterpurukan akhlak akibat pengaruh negatif dari berbagai program tersebut, terutama para generasi penerus bangsa Indonesia.

Film sebagai salah satu media komunikasi di Indonesia berperan penting dalam pola pikir dan kepribadian masyarakat Indonesia. Film Indonesia didominasi oleh genre horor sebagai akibat dari pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung dicampuri oleh hal-hal berbau mistis dan takhayul. Oleh karena itu, bangsa Indonesia, terutama para generasi muda, dituntut kritis terhadap berbagai tayangan yang ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjun pada keterpurukan akhlak yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari berbagai program tersebut.

Maraknya produksi film dokumenter ataupun film indie di kalangan pelajar dan mahasiswa mengindikasikan adanya perhatian terhadap sepak terjang dunia perfilman Indonesia. Meskipun begitu, meningkatnya produksi film-film berkualitas tidak serta-merta meningkatkan taste mentalitas bangsa Indonesia. Hal tersebut hanya salah satu penunjang yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan demokrasi dan monarki yang sedang gembor-gembor dibicarakan. Oleh karena itu, meningkatkan yang kecil tidak menutup kemungkinan akan meningkat pula hal-hal lain yang dianggap vital bukan? Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Semoga.

*) Tulisan ini (katanya) masuk dalam nominasi 99 Tulisan Terbaik pada Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa Bagi Bangsa dan Negara di UGM 20 Desember 2010