“Aku pengen ada yang menulis tentang kita.”
“Iyaaa… Kamu dong.”
“zzzzz… wong liyo wae. Nek kita mah enek subjektif2 e.”
“Pengen ada yang diam-diam mengamati kita, hehee.. menuliskan atau memfilmkan xD”
***
Obrolan itu mungkin telah terjadi lebih dari tiga kali, dengan oknum-oknum yang sama, tapi subjek yang berbeda. Mungkin ini juga efek dari generasi who got in the movie. Untuk itu, izinkan aku sedikit mengabadikan satu fragmen ya, daripada cuma sekedar jadi angan—yang kalau dibiarkan begitu saja akan cepat menguap dan lenyap. Urusan subjektif atau tidaknya, belakangan lahh. Oke? xDHari Minggu di bulan Maret, menjelang senja, sekitar pukul 17.00 WIB.
Aku bersama dua bandit yang usianya mau beranjak jadi 20 tahun itu gowes dari kos ke swalayan dekat warung pempek. Sebenarnya, perjalanan ini bukan tanpa alasan atau Cuma rea reo saja. Saya yang pengen banget keluar karena persediaan kebutuhan-kebutuhan vital sudah wafat tak tersisa. Sementara itu, teman hidupku—Bandit Pertama—yang terkenal kecil sekecil bisul itu sih cuma ikut-ikutan, entah sebenarnya tujuannya mau apa, haha xD.
Sedangkan, teman hidupku yang lain—Bandit Kedua—yang tergolong paling gede diantara kami itu kupikir masih punya tujuan yang sama denganku, belanja kebutuhan pokok! Disamping juga pengen pempek dan es krim :D
Dengan menunggangi kendaraan pusaka kami yang tiada duanya dan merupakan satu-satunya harta benda (lumayan) bergharga milik kami di Jogja, kami meluncur menyusuri jalan sambil sesekali memainkan laju kerja sepeda onthel kami. Khusus Bandit Pertama, posisinya paling sering di depan, secara pit-nya masih GRESS.. wkwk.. Lalu, disusul Bandit Kedua. Dan di posisi terakhir, saya dengan sepeda paling tua :D Wusss… Gowes. Gowess..
Dipercepat saja ya ceritanya…. xD
Sekitar pukul 19.30 WIB kami selesai belanja, ibadah, makan pempek, dan beli es krim. Semua rencana sudah terkover, tinggal satu yang belum, KAMI BELUM MAKAN ES KRIM! Lantas, saya nawarkan ide untuk makan es krim di bunderan UGM sembari menikmati malam dan menonton mas-mas yang unjuk gigi pakai sepeda fixie. Apik to sepedane, pengen njajal..! Bandit kedua dan saya :mupeng: sekali, tapi Bandit pertama justru bilang, “Ah, kui ki cuma nggo gaya-gaya’an tho?”
Okelah, kamu mungkin agak benar Cinta, tapi kami cuma pengen njajal, njuk lampune ki apik e, lap..lap.. trus cara ngerem’e piye toh. ---Okeh? :D
Lanjut.
Kami memilih tempat di bunderan sisi barat. Hmm.. lumayan banyak yang lagi berdua-duaan. Ada juga yang berkelompok, ntah ngapain. Lantas, ada satu mbak-mbak yang lagi sendirian menghadap ke tulisan UNIVERSITAS GADJAH MADA yang gede-gede itu. Busananya hot pants, kaus hitam, sandal. Berkali-kali melihat jam tangan dengan muka pias, layu. Mbaknya cantik sih, tapi terlihat sedang menunggu. Sepertinya, sudah menunggu lama, tapi yang ditunggu belum juga tampak. Pemandangannya semacam adegan di sinetron-sinetron Indonesia begitu lahh...
Bandit Kedua : “yooh.. mbak e mesakne. Wajahe i lho..”
Bandit Pertama : “kui kii.. pacare lagi karo pacar sing liyanee…”
Aku : “ndi tho?” **celingak-celinguk** “Eh hooh, haduh mesakne. Dewean diantara banyak pasangan.”
Bandit pertama : “Jane sing mesakne ki mbak’e opo kita yoh??” (backsound: toeeeiiingggg…)
Bandit kedua & Aku : (tertawa ngakak campur getir,wkwk)
Ini intinya. Hadehh.. Mesakne mbak’e lah.. Aku emoh dimelas-melasne, wkwk…
Pernyataan barusan benar2 dari hati lho. Yahh..secara, saya bersyukur punya teman sebanyak ini. Bahkan, tergolong jarang merasa kesepian saat malam sabtu atau malam minggu, kalau galau-nya jelas masih jalan laa.. :D Paling-paling jurusnya menghabiskan waktu dengan dua bandit yang telah tersebut di atas, dan kawan-kawannya.
Sedikit banyak terbesit syukur dan manfaat atas kesedirian yang membawa kita pada ‘koloni’ ini. Kalaupun saya punya pacar di Jogja, bukan berarti akan lebih baik dari ini semua. Bisa-bisa malah tercebur ke lembah UGM, Astaghfirullah xD
Bersepeda sekedar menyegarkan pikiran, makan pempek dan es krim sama-sama, diskusi ilmiah sampai diskusi saru, saling olok, atau sekedar guyon a la OVJ di kamar kos, ini semua terasa lebih bernilai daripada harus memaksakan mengikuti ‘zaman’.
Jadi ingat, kakak kosku yang lumayan akrab juga, alias kakaknya si Bandit pertama pernah guyon-guyon ke aku: “Makane Riinn.. duwe pacar. Ben ono sing ngeterne kesana-kemari nek meh lungo adoh2. Ono ojek’e.”
Hahahaha… Hiyaa, saya masih percaya ada yang sudah menunggu saya di sana kok, dan saya juga tengah menunggunya. Yang jelas, ia bukan sekadar tukang OJEK! :)
Kami percaya bahwa kami semua punya pangeran sendiri-sendiri, Saudara.. Entah kapan kami dipertemukan. Kupikir semua wanita begitu. Dan kami memilih : Tidak harus yang seperti di bunderan itu. Tidak harus juga kami dijemput kesana-kemari.
Aku pun percaya, bandit pertama dan bandit kedua adalah perempuan-perempuan yang tangguh, super romantis, dan taat beribadah. Wkwk.. Mereka tahu benar bagaimana memperlakukan siapapun dan apapun yang dicintainya. Dan aku berharap, kalian menularkan itu padaku Kawan! :D
***
Sudah. Sejengkal saja ya.. Yang sedepa ataupun lebih, nanti dulu, ditabung dulu. Belum waktunya meledak! Haha.
Sekali lagi, tulisan ini cuma catatan kecil sebagai wujud khawatirku kalau-kalau memori ini menguap geliatnya untuk ditulis. Kalaupun tulisan ini norak, cupu, subjektif, ambigu, rasis, tak tepat waktu, atau apa lah.. itu bisa diperbaiki nanti. Yang terpenting, aku cuma menuliskan rasa syukur. (Ah, aku yakin, bandit-bandit itu seneng karena sudah eksis! Haha :P)
Penasaran oknumnya?
Ini oknum I (Bandit Pertama tampak samping) :
Ini Oknum II (Bandit Kedua tampak samping) :
Ada waktu untuk kita bertemu.
Ada waktu untuk kita sekedar dipisahkan sementara.
Tak perlu bicara cinta dan kasih sayang kita seluas lapangan basket luar angkasa,
Toh Tuan Hati dan Profesor Pikiran lebih paham dari Ibu Lidah yang sering bergoyang.
Peluk dan cium dari hati untuk Kalian dan Kau yang nun jauh di sana.
Done at 23:39 WIB 20’03’11