Sinema merupakan salah satu media efektif penyampai pesan karena dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi. Dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.
Sebagaimana yang dikatakan oleh James Monaco dalam How to Read a Film, film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Pengkajian film dalam beberapa aspek kiranya juga dapat ditelusuri dalam buku yang akan dibicarakan dalam tulisan ini, yakni buku berjudul Mau Dibawa Kemana Sinema Kita?: Beberapa Wacana Seputar Sinema Indonesia yang diterbitkan oleh Binus Publishing, Sekolah Film Binus, Penerbit Salemba Empat, dan Asian Cinema.
Dalam buku tersebut, setidaknya terdapat pandangan awal pembaca bahwa selama ini sinema sebagai subjek kajian kian hari kian diminati, termasuk sinema Indonesia. Penikmatnya pun tak hanya dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Sejatinya, buku tersebut adalah terjemahan dari jurnal Asian Cinema Special Issue: Indonesian Cinema Today-Asian Cinema Journal, Vol. 21, No. 2, Fall/Winter 2010 (Temple University, USA) yang beredar November 2010. Editornya adalah Khoo Gaik Cheng dari Australian National University dan Thomas Barker dari National University of Singapore. Sementara itu, Ekky Imanjaya sebagai penyunting edisi Indonesia.
Dipaparkan oleh editor, edisi khusus Asian Cinema ini merupakan hasil dari kolaborasi antara editor dengan beberapa akademisi muda, penulis skenario film, dan para kritikus yang bekerja di sinema Indonesia. Beberapa yang tergabung dalam jurnal tersebut adalah Khoo Gaik Cheng, Thomas Barker, Ekky Imanjaya, Charlotte Setijadi-Dunn, Eric Sasono, Budi Irawanto, Intan Paramaditha, Katinka van Heeren, dan Maimunah. Sementara itu, dalam edisi Indonesia ini, terdapat tambahan tulisan dari Veronika Kusumaryanti yang membahas tentang film-film horror Indonesia dan Nosa Normanda yang membahas tentang film-film Joko Anwar. Penambahan tulisan tersebut dilakukan untuk (setidaknya) menambal koleksi tulisan tentang teorisasi tersendiri terhadap genre horor yang dianggap spesial, bahkan telah menjadi topik dari beberapa skripsi atau tesis.
Buku ini menawarkan keberagaman gagasan dan telaah, mulai dari pertanyaan-pertanyaan seputar gagasan “Film Nasional” yang dipaparkan oleh Thomas Barker dan Charlotte Setijadi-Dunn. Terdapat dua tulisan mengenai hal ini, yang pertama adalah tulisan berjudul Mempertanyakan Gagasan “Film Nasional” oleh Thomas Barker, kemudian disusul oleh Membayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan yang ditulis oleh Charlotte Setijadi-Dunn bersama Thomas Barker pula. Kedua tulisan ini menggiring film Indonesia dalam konteks historis. Pembicaraan ini seputar sejak kapan dan mana yang patut disebut sebagai permulaan film Indonesia yang ‘Indonesia’ sebagai respons atas pernyataan Misbach Yusa Biran (2009:45) dalam Sejarah Film 1900-1950 bahwa semua film yang diproduksi sebelum tahun 1950 ‘bukan film Indonesia’. Sementara itu, terdapat sisi lain sejarah produksi film di Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam tulisan kedua oleh Charlotte Setijadi-Dunn dan Thomas Barker. Film-film pranasionalis dan komersial tidak dihargai. Kedua penulis itu mengemukakan bahwa penonjolan yang dilakukan oleh Biran merupakan indikasi dari bias etno-nasionalisme yang tersebar luas kemudian menghasilkan historiografi sempit. Tulisan ini mengemukakan adanya sumbangsih yang sangat berarti oleh film-film produksi etnis Tionghoa yang dianggap telah merintis pembuatan film panjang di Indonesia, mengonstruksi gambaran awal alam, orang-orang, dan kebudayaan lokal Indonesia di atas layar. Membicarakan film dalam konteks historis ini sebenarnya sudah kerap ditemui dalam tulisan-tulisan dalam negeri. Pembicaraannya pun tidak jauh-jauh dari yang dikemukakan oleh dua penulis di atas. Namun, tulisan ini cukup memantik kesadaran-kesadaran dan pertanyaan-pertanyaan baru sebagai tulisan pembuka dalam buku ini sebagai penguatan bahwa interpretasi sejarah tetap menjadi tugas penting.
Beralih pada tulisan selanjutnya, pembaca dihadapkan pada tiga tulisan tentang fenomena film-film Islam yang belakangan ini menjadi penting. Tulisan-tulisan tersebut, diantaranya adalah berjudul Film-film Indonesia Bertema Islam Dewasa Ini: Jualan Agama atau Islamisasi? oleh Eric Sasono, “Passing” dan Naratif “Pindah Agama”: Ayat-ayat Cinta dan Performativitas Muslim Indonesia Komtemporer oleh Intan Paramaditha, dan Kemandang “Kantata Takwa” oleh Katinka van Heeren. Tulisan-tulisan ini membuka perdebatan tentang hubungan agama dan kebudayaan. Debat dan diskusi yang berkembang menyusul popularitas genre tersebut semakin meningkat. Eric Sasono member gambaran menyeluruh tentang film-film bertema Islam sejak periode Orde Baru ketika film-film bertema Islam memiliki dimensi sosial yang lebih kuat, hingga kecenderungan sekarang ketika Islam sangat dihubungkan dengan gaya hidup. Sementara itu, Intan Paramaditha mendiskusikan lebih jauh soal hubungan antara penampilan (appearance) dan praktik Islam di film-film masa kini. Intan melacak performativitas Islam, baik di layar kaca maupun pada pembuat-pembuat film yang diidentikkan dengan genre ini. Lalu, pada tulisan ketiga, Katinka van Heeren menganalisis Kantata Takwa (2008) dengan menyoroti bagaimana Islam masih sangat kuat sebagai bentuk perlawanan politik. Tiga tulisan ini sebenarnya bukan bahasan ‘baru’ dalam perbincangan seputar film di Indonesia. Namun, dengan fokus yang berbeda-beda, tetapi tetap mengacu pada film bergenre Islam, tiga esai tersebut beriringan memperkaya gambaran sinema Islam di Indonesia.
Sementara itu, setelah berkutat pada film-film genre Islam, pembaca seperti digiring pada pandangan oposisinya. Sebagai jurnal yang berfokus pada perkembangan-perkembangan baru satu dekade terakhir, tulisan-tulisan di dalamnya juga bermaksud untuk meletakkan film-film kontemporer dalam konteks historis dan sosialnya. Persoalan gender dan seksualitas merupakan diskursus yang muncul dalam tulisan berikutnya dalam jurnal ini, yakni dalam Queer Indonesia dan Sentralistis Keluarga Heteronormatif yang ditulis oleh Maimunah. Tulisan ini berusaha menggunakan teori queer untuk melihat representasi gay dan lesbian pada film-film Indonesia. Representasi ini terlihat jelas dalam film-film yang diproduksi oleh Kalyana Shira Productions, termasuk diantaranya yang terbaru, yakni At Stake (Pertaruhan, 2008).
Berikutnya, pembaca dihadapkan pada kemunculan film-film independen dan alternatif yang bekerja lintas jenis film, seperti film panjang, film pendek, documenter, dan iklan. Edwin merupakan satu contoh menonjol. Oleh karena itu, film-film Edwin disoroti khusus dalam jurnal ini melalui tulisan Khoo Gaik Cheng, yakni Menyoroti Film-film Edwin. Dikatakan oleh Khoo Gaik Cheng, seperti lampu yang berkedip, karya-karya Edwin, cacat maupun tidak, meminta perhatian. Tulisan ini memberikan cukup gambaran sekaligus contoh analisis bagi akademisi-akademisi maupun semua kalangan yang berniat membicarakan film dari sudut pandang penyutradaraan atau produsernya.
Masih dalam koridor film-film independen dan alternatif, tulisan berikutnya merambah pembicaraan tentang evaluasi dan pandangan tentang film-film dokumenter. Tulisan berikutnya berjudul Catatan dari Kursi Juri Festival Film Dokumenter: Wacana Film Dokumenter Independen Kontemporer oleh Budi Irawanto selaku juri dalam festival tersebut. Menurut Budi, menonton film-film documenter independen Indonesia seperti tengah memasuki labirin penuh dengan persoalan sosial dimana kebanyakan film dokumenter menggambarkan orang-orang yang terpinggirkan sebagai ‘yang lain’ dan berjarak, dibingkai dengan pandangan turistik dan dengan kecenderungan eksotisasi. Hal ini barangkali mencerminkan keengganan para pembuat film untuk mendekati subjek mereka secara intim. Pembicaraan seputar film dokumenter ini dirasa mengandung banyak potensi untuk memunculkan lebih banyak pertanyaan tentang kompleksitas masyarakat Indonesia yang sedang berubah.
Sementara itu, tulisan selanjutnya membahas tentang Hantu-hantu dalam Film Horor Indonesia oleh Veronika Kusumaryati dan Tiga Film Joko Anwar: Kebebasan Kreasi di Perfilman Indonesia Pasca-Soeharto oleh Nosa Normanda. Kemudian, pembicaraan dalam buku ini ditutup indah oleh tulisan pendek yang cukup dianggap baru, yakni Senarai Publikasi Berbahasa Inggris Seputar Sinema Indonesia yang ditulis Ekky Imanjaya.
Mau dibawa kemana film Indonesia di masa depan belumlah jelas. Para pembuat film dari spectrum yang berbeda menyetujui dan mengonsolidasikan energi mereka—baik mereka yang memiliki film-film seni yang ‘serius’ dan mereka yang memproduksi film komersial—untuk bersama-sama melawan UU film baru (UU No.33/1999, disahkan September 2009) yang dibuat tanpa konsultasi dengan produser, sutradara, dan pihak-pihak lain yang selama ini aktif di dunia perfilman Indonesia. Buku ini layak sebagai bacaan yang memantik wacana-wacana lanjutan seputar sinema-sinema Indonesia. (2012)