Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 20 Mei 2011

Di Balik Polemik Perpecahan


Judul : Tanah Air Beta
Tahun : Februari 2011
Penulis Skenario : Ari Sihasale, Nia Sihasale, Gunawan Rahardjo
Sutradara : T. Moty D. Setyanto
Produser : Ari Sihasale, Nia Sihasale
Pemain : Alexandra Gottardo, Asrul Dahlan, Yehuda Rumbindi, Griffit Patricia, Lukman Sardi, Ari Sihasale, Robby Tumewu, Thesa Kaunang, Marcel Raymond, Martalita Nadia
Jenis Film : Drama
Kategori : Remaja

Ketika pertama kali mendengar judul Tanah Air Beta, terbersit dalam benak bahwa film ini adalah film tentang nasionalisme dan sejenisnya. Penggunaan kata ganti ‘beta’ juga menunjukkan bahwa sebenarnya latar dalam film ini jelas bukan pulau Jawa yang tidak biasa menggunakan kata ganti ‘beta’. Jelaslah kiranya bahwa setting tempat di luar Jawa, yakni di sekitar Timor Barat (Propinsi Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur (Timor Leste).

Film ini meyoroti kehidupan warga Timor setelah Jajak Pendapat 30 Agustus 1999. Lebih dari 300.000 orang mengungsi dari Timor Timur ke Timor Barat. Konflik pelepasan diri Timor Timur dari Indonesia ini menyisakan kisah seputar perbatasan. Banyak anak-anak yang dipisahkan dari keluarganya, istri dari suaminya, guru dari muridnya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kisah seputar inilah yang diangkat menjadi permasalahan utama dalam film ini.

Seperti halnya film Denias yang juga besutan Alenia Productions, film Tanah Air Beta ini juga mengangkat aktor dan aktris pribumi Timor, yakni Yehuda Rumbindi (Carlo) dan Martalita Nadia (Merry kecil). Tentu saja, tidak semuanya dari kalangan pribumi Timor, tersebut juga Alexandra Gottardo (Tatiana) dan Asrul Dahlan (Abu Bakar) sebagai tokoh utama disamping Carlo dan Merry. Perjalanan tokoh-tokohnya hadir dalam latar Indonesia Timur dengan segala keadaan alamnya. Sebut saja ilalang, sabana, jalan berkelok-kelok naik-turun, gunung, dan lain sebagainya.

Film ini mengisahkan tentang seorang guru bernama Tatiana (Alexandra Gottardo) yang dipisahkan dari anaknya, bernama Mauro (Marcel Raymond) yang tertinggal di Timor Timur. Sementara di Timor Barat, ia tinggal bersama anak perempuannya, Merry (Griffit Patricia). Segala usaha ia lakukan untuk bertemu anaknya. Merry pun sangat rindu dengan kakaknya. Hingga pada suatu hari, Merry pergi sendiri ke daerah perbatasan hanya untuk mencari kakaknya. Carlo, teman Merry, menyusul Merry yang belum begitu jauh dan membujuknya agar pulang. Namun, Merry tak mau. Kemudian, mereka bertualang bersama untuk mencapai daerah perbatasan yang sangat jauh dari tempat tinggalnya.

Selain jalan cerita yang sederhana tapi mengena, Tanah Air Beta juga mengangkat profesi-profesi penting di daerah pedalaman, seperti Timor. Sosok guru, dokter, petugas keamanan perbatasan diperlihatkan sangat mengambil peran penting. Sosok guru Tatiana yang dipanggil ‘mama guru’ oleh murid-muridnya menjadi sosok yang dihormati dan diharapkan kedatangannya. Sosok dokter seperti dokter Joseph pun tak kalah penting perannya, beberapa fragmen mengisahkan bahwa kesehatan adalah hal yang sangat penting dan dokter masih minim sekali. Para petugas keamanan perbatasan digambarkan sebagai kawanan yang sadis dan bisa menembak sewaktu-waktu. Hal ini mengisyratkan adanya ketegasan pada hal-hal yang menyangkut ‘perbatasan’.

Sejauh ini, dianggap bahwa film Tanah Air Beta ini menarik karena mengisahkan tentang kehidupan diantara perbatasan. Film ini juga mengisyaratkan adanya kesusahan-kesusahan yang terjadi akibat polemik kenasionalan, tentang bagaimana anak yang menderita karena dipisahkan dari keluarganya, tentang anak yang sangat rindu dengan kakaknya, dan lain sebagainya. Film ini memberikan referensi bahwa ada fakta-fakta dan kehidupan lain di sana yang jauh dari kenyamanan. Secara kasat mata, film ini dinilai mampu membangun semangat persudaraan, persahabatan, kekeluargaan, dan cinta tanah air. Betapa perpisahan juga bisa menjadi sebuah tragedi, apalagi yang menyangkut perpisahan antara dua Negara. Semangat persatuan dan kesatuan senantiasa yang menjadi renungan dalam film berdurasi 94 menit ini. [AR]

Minggu, 15 Mei 2011

Kartini = Yang Mampu ‘Keluar’ dari Biasa


Bagi saya, saat ini, R.A. Kartini hanyalah simbol, simbol wanita pejuang pendidikan dan kesetaraan. Memang, perjuangan R.A. Kartini dapat dikatakan ‘keluar’ dari kebanyakan wanita pada masanya, para wanita Indonesia patut berterima kasih atas jasa-jasanya ‘memerdekakan’ sesamanya. Namun, untuk konteks saat ini, dimana era globalisasi menuntut keterbukaan akses informasi dan komunikasi yang tak terbatas, Kartini haruslah beda dan lebih dari sekadar pengentasan buta aksara. Kartini yang dapat bersaing sesuai dengan tuntutan jaman, tapi tak harus terseret arus :)

Baiklah, bertolak dari pertimbangan bahwa semangat paling besar dan paling berpengaruh adalah semangat yang datang dari diri sendiri, izinkan saya bernarsis ria dengan semua ini :D

Kartini Muda bagi saya adalah jiwa dan raga saya sendiri. Hehe. Upaya ini bukan untuk meninggikan diri atau malah bersombong ria, ini hanya wujud kepercayaan diri sebagai anak pertama seorang petani dengan mantan guru SD dan sebagai kakak dari tiga perempuan-perempuan kecil :)

Namun, keluar dari itu semua, Kartini kali ini justru hadir karena Kartini-Kartini yang lain, empat Kartini yang sangat menyita hidup saya, yakni R.A. Kartini, ibu saya, dan tiga adik perempuan saya. Kartini kali ini tidaklah hadir karena kekosongan, Kawan! :D

Beranjak pada konsep Kartini, bagi saya, menjadi Kartini ‘kali ini’ berarti sebuah upaya melawan stereotipe, melawan ‘yang biasa’. Sejauh mata ini memandang, globalisasi sangat berpotensi membangun stereotipe-stereotipe baru yang justru cenderung dangkal dan praktis. Sebut saja, budaya hedonis di kalangan remaja, trend pakaian, dan aspek-aspek gaya hidup lain yang begitu gampangnya masuk dan diterima oleh otak-otak bangsa Indonesia. Apalagi, perempuan menjadi lahan yang sangat basah :)

Maka, saya memilih menjadi ‘keluar’ dari yang biasa, ‘keluar’ dari yang stereotipe, demi masuk ke ruangan selanjutnya yang lebih konsisten dan konsekuen.

Konkretnya?

Tuhan memberi saya rasa malu untuk mengikuti tren pakaian hingga tren kawat gigi :D hingga saya hadir dalam pribadi ‘yang sederhana’ dengan kemeja, kaos, dan jeans. Tuhan pula yang memberi saya semangat untuk kuliah di luar propinsi walaupun di desa saya, hanya dua orang yang mengenyam pendidikan tinggi.

Ibu memberi saya wejangan tentang malunya seorang wanita hingga (syukurlah) saya bukan remaja dengan pergaulan yang sangat bebas hingga melewati batas-batas agama walaupun budaya tersebut bukan barang aneh lagi. Ibu saya pun yang memberi tauladan sebagai seorang wanita yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan ‘semampunya’ hingga saya tak pernah malu mengendarai sepeda onthel setiap kali berangkat ke kampus atau berangkat mengajar, walaupun mayoritas teman-teman saya memilih motor atau mobil.
Selain itu, wanita yang ‘keluar’ dari biasa adalah wanita yang rela merasakan memungut rupiah sebelum masanya. Ya, itulah yang kulakukan saat ini. Demi pengalaman dan tambahan pemasukan, saya menjalani sebagai guru privat Bahasa Indonesia di sebuah lembaga bimbingan belajar di Yogyakarta. Bagi saya, ada sensasi tersendiri berhubungan dengan murid-murid dan transfer ilmu yang dimiliki demi meyakini bahwa ini adalah pengabdian bagi bidang ilmu saya.

Tak hanya itu, Kartini ‘saat ini’ adalah wanita yang berani ‘keluar’ dari stereotipe, yang lebih memilih melakukan penelitian-penelitian daripada hunting pakaian dan barang-barang kewanitaan di mall atau swalayan. Baiklah, saya bisa melakukan ini juga karena Kartini yang lain, yakni adik-adik perempuan saya. Bagi saya, melihat senyum mereka karena kubawakan buku bacaan dan alat-alat tulis seadanya lebih bernilai dan lebih membahagiakan daripada sekedar mempercantik http://www.blogger.com/img/blank.gifdiri dengan barang-barang kewanitaan yang harusnya bisa saya manage nanti ketika punya penghasilan pribadi. Selain itu, mereka inilah yang membawa saya pada juara Kompetisi Penulisan Untuk Bangsa dan Negara di UGM dan juga menggiring saya pada salah satu peraih Hibah Penelitian, hanya karena senyum mereka. :)

Singkatnya, menjadi Kartini Muda saat ini adalah menjadi wanita yang mampu ‘keluar’ dari stereotipe, ‘keluar’ dari biasa, atau mampu melawan ‘biasa’. Namun, Kartini hadir bukan beranjak dari kekosongan, Kartini hadir karena Kartini-Kartini yang lain atau malah Kartono-Kartono pula. Semoga timbul Kartini-Kartini selanjutnya yang menjalani, berprestasi, dan menginspirasi :)

*) Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba Kartini Muda Honda 2011.

Rabu, 11 Mei 2011

Pranyoto: Berdayakan Nasionalisme yang Realistis Sejak dalam Diri


Suasana pelataran belakang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siang itu (16/3) terlihat lengang dengan beberapa pekerja sedang menyapu reruntuhan dedaunan yang berserak. Beberapa staf mulai berjalan kearah pintu keluar, rupanya jam aktif Museum Kareta telah habis. Tampak seorang abdi dalem mengucapkan semacam doa lalu membunyikan lonceng sebanyak dua kali.

Penulis berjalan pelan mendekati bapak abdi dalem tersebut. Lantas, penulis pun dibawa ke tempat berkumpulnya para abdi dalem. Sepertinya mereka sedang rehat sejenak sebelum melaksanakan amanah selanjutnya. Sambutan hangat a la warga Yogyakarta memulai segmen keakraban kami. Ketika menyatakan maksud kedatangan, penulis dihadapkan pada lelaki tua yang tampak enerjik dengan uban di seluruh rambut kepalanya.

Beliau adalah Mas Kliwon Pranyoto Pawoko, seorang abdi dalem yang telah mengabdi sejak tahun 1984. Karena sedang rehat, beliau mengaku tak memakai pakaian dinasnya—semacam beskap, sarung, dan blankon. Lelaki bernama asal Sugya Pranyoto ini sangat antusias ketika saya lontarkan topik penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mata berbinar-binar, beliau memulai argumentasi dengan bercerita tentang sejarah Yogyakarta dan Indonesia. Beliau bertutur bahwa sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta telah menjadi Negara tersendiri dan diakui. “Republik Indonesia ini sebenarnya pernah dipelihara oleh Jogja. Ini betul, bukan ngarang,” tukasnya sembari menghisap setangkai rokok di buku-buku jarinya. “Kekayaan Jogja itu diincar pusat dan mereka kurang tahu sejarah. Oleh karenanya, ada konflik semacam ini,” tambah lelaki asal Yogyakarta ini.

Ketika ditanya masalah nasionalisme yang luntur pasca konflik penetapan DIY, bapak berkaos biru ini berpendapat bahwa cinta tanah air itu tidak harus dengan menuruti segala kemauan yang Negara dicintai. “Yang namanya cinta itu, menurut dalang Parmo almarhum, harus diikuti kasih dan sayang. Jadi, harus memberi dan ngeman, bukan menuruti semua kemauannya,” ujarnya sembari menyeruput segelas kopi hingga habis. Menurutnya, nasionalisme bangsa Indonesia harus realistis, bukan lantas membutakan diri dari segala kenyataan yang ada. “Sampai Negara pun, kalau memang salah, akan saya tunjukkan. Kebenaran itu hanya Tuhan yang punya. Hal ini dimulai dari diri saya sendiri,” tambahnya dengan berapi-api.

Untuk menjelaskan perihal ini, abdi dalem yang mengaku lupa tahun lahirnya ini menganalogikan persoalan ini dengan agama. “Islam itu kan mengajarkan sesama muslim, kalau ada yang didzolimi itu harus dibela. Kalau sesama muslim mendzolimi, harus dibina, bukannya disingkirkan. Nah, kalau kemudian pemerintah itu mau mendzolimi, kita harus membina,” tuturnya. Meskipun begitu, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko tetap mempertahankan konsep imam dan makmum mengingat posisinya sebagai abdi dalem yang berada di bawah raja.

Sikap nasionalisme yang realistis ini ia tanamkan sejak dalam dirinya dan keluarganya sejak lama. “Argumen saya ini bukan tanpa alasan, saya mengikuti alur Negara ini sudah sejak lama. Abdi dalem jangan melulu dilihat sebagai yang awam,” kata bapak empat anak ini.

Sesuatu yang istimewa adalah ketika ditanya seputar ke-abdidalem-an di Keraton Ngayogyakarta, Mas Kliwon Pranyoto Pawoko mengaku bahwa ia benar-benar mengabdi untuk rakyat dan Negara. Ia pun mengatakan bahwa menjadi abdi dalem adalah sebuah pilihan hidup. “Di sini saya bisa men-charge otak dan pikiran, disamping mengharap berkah. Tidak ada yang tidak berguna yang saya lakukan di sini,” tambahnya.

Langit mulai mendung ketika penulis mengajukan pamit. Kembali salam hangat mengiringi perpisahan kami. “Kalangan akademik hendaknya tidak bersikap apatis terhadap fenomena sosial,” tutupnya sembari menyalami penulis. Ironis, abdi dalem yang telah 27 tahun mengabdi dan telah setua itu saja masih mempunyai perhatian besar terhadap bangsa dan Negara, bagaimana dengan generasi muda Indonesia. Mari memikirkan!

Dunia akan Tetap Hancur pada Waktunya


Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau


Salah satu bait lagu Manusia Setengah Dewa milik Iwan Fals ini seakan menggaung-gaung di telinga saya ketika mencuat berita tentang Arifinto, seorang anggota parlemen, yang tertangkap basah sedang menikmati video porno saat sidang paripurna pembangunan gedung baru. Bagaimana tidak, kalau mau ditilik, tidak hanya saat ini fenomena tersebut terjadi. Tahun 2009 lalu, gejala semacam ini sudah mencuat dimana para pejabat mengumbar pornografi pornoaksi dalam sidang. Tercatat dalam majalah Tempo edisi 3835 19-25 Oktober 2009, dalam rubrik opini, dipaparkan bahwa rekaman pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum Cirus Sinaga terhadap Antasari menunjukkan adanya pembacaan dakwaan seperti deskripsi sebuah film dewasa alias porno. Kisah yang dibacakan itu adalah pertemuan dua kali antara Rhani Juliani, salah satu istri Nasrudin Zulkarnain, dan Antasari di kamar 803 Hotel Grand Mahakam.

Fenomena ‘pariporno’ tersebut cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar mengingat kecenderungan manusia menyukai hal-hal biologis urusan pria wanita. Sebelum mengupas lepas analisis dalam esai ini, perlu dipaparkan bahwa tulisan ini tidak akan membicarakan hal moral dan akhlak, justru membicarakan betapa sederhananya kasus di atas yang telah menyita perhatian banyak orang sehingga kasus yang berkaitan dengan perut, aturan, dan kelangsungan hidup seakan terkubur diam-diam.

Berdasarkan pengalaman menonton DVD “Sejarah Pornografi dan Pornoaksi” yang dibuat oleh Harun Yahya, pornografi dan pornoaksi sejatinya telah ada kurang lebih sejak 3000 SM. Bahkan, pornografi dan pornoaksi yang terjadi masa lalu lebih parah dan lebih keji. Hal ini disebabkan keprcayaan terhadap mitos-mitos. Pada peradaban mesir kuno yang berlangsung pada 3000 SM di Afrika Utara, mereka percaya mitos bahwa seks merupakan cara dewa untuk menjaga dunia ini tetap hidup, maka itu ukiran-ukiran patung pada zaman ini banyak yang melambangkan pornografi seperti ukiran wanita tanpa penutup dada dan ada juga simbol seseorang yang sedang melakukan masturbasi di tempat umum. Di zaman ini juga terjadi hubungan incest, yaitu hubungan dengan saudaranya sendiri, demi mempertahankan kekuasaannya. Selanjutnya, pada peradaban Yahudi yang muncul pada 1200 SM, kaum yang hidup di zaman ini berpikiran sebaliknya, bahwa rasa malu pada tubuh yang bertelanjang adalah benar dan alami. Namun, keyakinan ini akhirnya pudar seiring meninggalnya dua utusan Tuhan, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Daud AS. Pada peradaban India kuno yang ada pada 1000 SM di daerah Khajuraho, India Utara, terdapat kuil-kuil yang berukiran wanita telanjang dan ukiran yang menggambarkan sedang melakukan seks. Bahkan, di dalam kuil tersebut, terdapat suatu patung yang menggambarkan alat kelamin laki yang di beri nama Palus yang kemudian di kenal dengan Dewa Syiwa.
Pada zaman Yunani kuno, perilaku seks semakin tak terkendali. Dimana-mana terdapat tempat pelancuran. Bagi mereka, nafsu seks harus di penuhi sepuas-puasnya. Homoseksual pada masa ini sangat dominan sehingga banyak lukisan yang menggambarkan hubungan seks antar pria baik dengan yang sebaya maupun dengan anak laki-laki. Peradaban ini juga memandang cinta dan seks adalah sesuatu yang terpisah, istri mereka di kurung dalam rumah dan mereka mendapatkan kepuasaan seks dari budak.

Sementara itu, pada peradaban Romawi kuno, pornografi, seks bebas, dan erotisme merajalela hampir di semua tempat. Terdapat pula ukiran marmer yang menjadi simbol Dewa Pan, ukiran ini menggambarkan seseorang yang sedang melakukan hubungan seks dengan binatang. Kepercayaan terhadap patung ini menimbulkan ritual Hipertalia yang pada zaman Kristen berubah menjadi Valentine’s Day. Tahun 78 SM, gunung Fisufius meletus dan dengan letusannya itu Allah SWT mengeraskan tubuh semua penduduk Pompei seperti batu.

Catatan dalam sejarah pornografi dan pornoaksi tersebut menunjukkan betapa dunia sangat ramai dengan kasus berbau lacur. Sejak lahir pun manusia telah disibukkan dengan hal semacam itu. Ketika pornoaksi dan pornografi dikaitkan dengan masalah moralitas, teringat oleh saya tentang paparan Kohlberg (1976) yang menggambarkan tiga tingkatan moralitas. Moralitas yang dikaitkan dengan perspektif sosial tersebut, meliputi: (1) preconventional, (2) conventional, dan (3) post conventional atau principled. Pada tingkat preconventional, (tingkatan moralitas yang paling rendah) perspektif sosial moralitas seseorang menunjukkan bahwa dirinya merupakan individu yang konkret. Oleh karena itu, perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat moralitas ini. Dalam tingkatan moralitas ini kita sering menjumpai perilaku seseorang dengan penalaran yang menunjukkan perspektif sosial. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif yang kemudian mencerminkan suatu moralitas bangsa.

Jika membaca dua hal di atas, yakni sejarah pornografi pornoaksi dan klasifikasi moralitas, masyarakat Indonesia seakan dibawa ke muka cermin. Betapa pornoaksi pornografi ini adalah hal yang lumrah selagi hanya berhubungan dengan pribadi masing-masing dan tidak merugikan kepentingan banyak orang. Tentu, saya bukan berniat menghalalkan tindakan Cirus Sinaga dan Arifinto. Hanya saja, moralitas bangsa Indonesia masih dalam tahap preconventional sehingga cenderung suka membicarakan hal-hal yang resiprokal dan pribadi macam ini. Sebagai umat beragama, saya tentu menolak tindakan Arifinto dan mendambakan segala sesuatu wajar dan berjalan di jalan yang lurus.

Indonesia ini telah dibangun berdasar pada kepribadian bangsa yang sangat halus dan beradab. Tengok saja Pancasila yang sangat beradab, mengandung nilai-nilai luhur, dan mengacu pada kepentingan masyarakat. Hanya saja, kadang-kadang implementasi kurang teliti sehingga urusan remeh-temeh dibesar-besarkan seakan dunia akan hancur akibat pornografi pornoaksi. Padahal, dunia akan tetap hancur pada waktunya.

Teringat oleh saya perkataan Anies Baswedan yang dikecam habis-habisan pada 13 Januari 2011 di situs detik.com. Anies mengemukakan bahwa ‘lebih baik mengurusi pajak RIM daripada pornografi’. Pernyataan tersebut diklaim tak agamis, materialistis, sekuler, dan sebagainya. Pasalnya, hal tersebut justru membuka mata bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang termarginalkan oleh kasus-kasus remeh-temeh hingga kasus ekonomi, hukum, HAM, dan lain sebagainya mangkrak tidak jelas jluntrungannya. Agaknya, sebagai warga Negara dan pribadi yang berbangsa, setidaknya kemampuan memilah yang primer, sekunder, dan tersier perlu diasah setajam tuntutan zaman.