Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 28 Januari 2011

Tentang Obrolan di Dapur sampai Wakil Rakyat (tulisan ngalor-ngidul)


Tulisan ini ada demi menuruti hasrat untuk kembali membuat blogpost lagi. Itu saja. :D

Entah kenapa saya dilahirkan dari seorang ayah aktivis merangkap jurnalis merangkap politisi dengan seorang ibu ‘pengajar’ yg aktivis juga, aktivis keluarga maksudnya. Hal ini membuat saya terbiasa di-demokratis-kan sejak orok dan dibiasakan belajar sejak dilahirkan. Nilai-nilai ini membuat saya terbatasi, terbebani, sekaligus terluaskan. *bingung*

Ah, saya tidak akan banyak membahas tentang curat-murat pribadi. Pembicaraan dimulai dari sekelumit ceritera di dapur rumah.

Ketika itu, ayah, ibu, dan saya sedang sarapan di dapur. Mereka duduk berhadapan dan saya sengaja miring di belakang ibu saya.
Tiba-tiba ayah saya nyeletuk, “saiki wong-wong podo wani lungo-lungo gak usah rapat”.
Ibu saya kontan tertawa terbahak, bernada mengejek.
Lantas, saya ikut nimbrung, “pelesiran?” tanya saya.
Ibu saya mengangguk.
Benar dugaan saya.

Ayah saya pernah mendapat tongkat untuk duduk di kursi DPRD Kabupaten periode 2004-2009 lalu, dan periode selanjutnya harus istirahat karena tidak terpilih. Kalah sama moneypolitics, katanya. Hm. Ibu saya bersyukur karena merasa tidak merugi oleh arus politik uang. Saya yang waktu itu masih belia sekali sudah banyak digerojok curhatan ibu tentang ketakutannya kalau-kalau ayah saya terseret kasus korupsi. Alhasil, saya fine saja dengan tidak terpilihnya beliau. Toh, juga sama saja selama semuanya ikhlas, hehe.
Lanjut ke obrolan tadi.
Pelesiran yang dimaksud dalam percakapan di atas adalah pelesiran oleh anggota-anggota DPRD Kabupaten periode sekarang. Ayah saya curhat masalah itu karena ia empat hari lagi akan bekerja lagi di sana. Jadi staf ahli katanya. Para anggota DPRD Kabupaten saya sekarang itu, menurut sumber, senang sekali mengadakan pelesiran, bahkan sampai melangkahi Bamus. Kasarannya, mau pergi, tinggal pergi, ga pake rapat-rapatan, apalagi musyawarah. Katanya, saat periode ayahku, mereka merasa terbatasi karena sang ketua adalah orang yang notabene gak mau macem-macem.
Hm.. ngenes sekali.

Ibu saya akhirnya melontarkan pertanyaan untuk mengetes ayah saya, “kalau begitu terus, apa yang dilakukan papa untuk menyikapinya?” tandasnya.
“Ya itu kan bisa dihindari tho,Ma. Pake aja alasan aku ono urusan puenting. Biar mereka tidak sakit hati.” Jawab ayahku enteng.
“Lha mosok ngunu terus??” protes ibu saya.
“Ya he-eh. Itu kan sudah termasuk upaya menghindari. Orang-orang di DPR RI itu yang terjerat kasus korupsi kan yang ikut-ikut make uang. Kalau tidak mengambil uangnya kan ga kena.” Jawab ayah saya gampangan.
Saya diam. Berbicara dalam hati. Ibu saya mengangguk takzim. Sembari berdoa mungkin.

Akh.. tiba-tiba saya lupa tulisan ini mau ke arah mana. =.=

Hm, dalam hati, saya bersyukur dihadapkan pada lingkungan yang sedikit banyak mendekatkan dengan dunia politik pemerintahan. Dengan begini, saya tidak punya dalih untuk memandang sesuatu dari satu perspektif.

Hari ini semakin mendekatkan ayah saya dengan hari dimana beliau bekerja di gedung itu lagi. Bagi ibu saya, mungkin ada ‘ketakutan’ tersendiri dibalik ke-tawakkal-annya. Bagi saya, setidaknya ayah saya sudah ada upaya untuk menghindari hal keji itu sehingga saya tidak punya alasan untuk tidak mempercayainya.

Mungkin, bekerja dalam sistem adalah seperti bekerja dalam pusaran mesin yang sudah kuat, ketika daya sudah tidak lagi bisa membenahi kendali yang mulai meleset beberapa derajat dari tujuan, lebih baik menghindar, karena arus terlalu kuat dan telalu kotor untuk diikuti.

Kiranya, begitulah Indonesia yang sangat luas. Bentang alam terhampar luas, beragam suku, beragam bahasa, dan sebagainya. Namun, jangan lupa, Indonesia juga punya potensi yang sangat luas untuk dikorupsi, sedangkan Negara adalah sistem. Ketika sistem sudah kacau dan ternoda di sana-sini, kiranya apa yang harus dilakukan untuk tetap berjalan di jalan yang wajar seperti kata Pancasila? Apakah memang harus menghindar? Hehe.. Tanyakan sendiri. © Jan2011


Mulai 9:20 WIB Selesai 11:11 WIB --280111--
@ruangtengah

sumber gambar