Berkata ala Diri Sendiri, Berawal di Bumi Sendiri—Merah Putih!!—

Berupaya menyisir, menggeledah, membongkar sembari mencari, menyelidiki, ataupun nyantri pada Kiai Kehidupan untuk memilah dan berusaha menemukan apa yang pantas diperjuangkan dalam hidup...

Jumat, 30 April 2010

Calo Kursi Perusak Reputasi

Minggu pagi (28/3), Jalan Flora Universitas Gadjah Mada (UGM) tampak padat. Peserta Ujian Tulis (UTUL) UGM memenuhi jalan yang terletak di sebelah barat Fakultas Pertanian. Data Kepala Humas dan Protokoler UGM mencatat, peserta UTUL UGM mencapai angka 46.617.

Diam-diam, tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk UGM dimanfaatkan oleh para “penjual kursi”.

Mereka menawarkan dan menjamin satu tempat dengan harga yang tidak wajar. Salah satu pelaku berinisial MF menyebutkan harga untuk tiap fakultas. Untuk Fakultas Kedokteran Umum dihargainya Rp 260 juta dan Fakultas Kedokteran Gigi Rp 200 juta. Untuk fakultas lainnya diobral Rp 120 juta. “Peluang diterimanya 99%,” kata MF yang juga berstatus mahasiswa Fakultas Kehutanan 2008.

Tak hanya tahun ini, isu tentang penjualan kursi di UGM juga pernah menyeruak pada tahun 2008. Budiyanto, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM 2008, pernah berusaha menguak kasus tersebut. Keinginannya diperkuat oleh pengakuan Mahfudz MD, sosok yang kini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia. “Mahfudz MD pernah ditawari satu kuota untuk anaknya,” ucap Budiyanto. “Pihak yang menawari adalah temannya sendiri yang mengaku mempunyai jaringan di kampus,” tambahnya.

Oleh karena hal itu, ia kemudian membentuk tim untuk menginvestigasi praktik penjualan kursi di UGM. Sayangnya, tim itu gagal membedah kasus tersebut. Mereka belum dapat menemukan bukti valid untuk mendukung terungkapnya kasus ini. “Model kasusnya sangat rapi, sehingga sulit untuk dibawa ke ranah hukum,” tambah Budiyanto, alumni Fakultas Hukum tersebut.

Kasus ini ternyata didalangi oleh oknum internal UGM. Hal ini diungkapkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya berinisial VH. “Ada dosen yang menjadi calo masuk UGM. Bayarannya tidak dimakan sendiri, akan tetapi juga untuk jajarannya,” ujar anak salah satu dosen di UGM.

Fenomena “penjualan kursi” di UGM pun mengundang berbagai tanggapan dari mahasiswa. Salah satunya adalah Finalia Vinanthi, mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan 2007. Dia kecewa dengan adanya praktik “penjualan kursi” di UGM. Baginya, hal itu telah menodai citra baik UGM. “Kalau calo kursi itu ada, berarti pendidikan di UGM memang terbukti sudah dikomersilkan,” tuturnya.

Ketika dikonfirmasi perihal masalah ini, pihak rektorat menanggapi dengan serius. “UGM tidak pernah menarik dana lebih dari yang tercantum dalam leaflet maupun website. Selain yang tercantum disana adalah penipuan,” tutur Drs. Haryanto, M.Si selaku Kepala Bidang Kemahasiswaan. Ia mengatakan UGM sudah melakukan upaya maksimal untuk mencegah praktik penjualan kursi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Salah satunya dengan membentuk satuan tugas penanggulangan penipuan. Haryanto menghimbau agar masyarakat turut membantu dengan tidak tergiur oleh tawaran penjual kursi. “Banyak korban penipuan yang tidak berani lapor ke polisi. Padahal, hal itu bisa membantu dalam mengungkap jejaring calo kursi,” tambahnya. [Adib, Arin, Opik]


--(dimuat di buletin Balkon—salah satu produk BPPM Balairung UGM—edisi 128, 30 April 2010)

ANALISIS PLOT NASKAH DRAMA KOMEDI SATU BABAK “PAGI BENING” (Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero serta Terjemahan oleh Sapardi Djoko Damono)

Oleh:
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM


I. Deskripsi Naskah Drama

Naskah Drama Pagi Bening adalah naskah drama komedi satu babak yang berasal dari tanah Spanyol, diciptakan oleh Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero dan diterjemahkan oleh Drs. Sapardi Djoko Damono pada tahun 2006. Tempat kejadian (setting tempat) drama ini di Madrid-Spanyol, di suatu taman terbuka, pada masa ini juga.

Sementara itu, tokoh yang disajikan adalah Donna Laura, wanita berumur 70 tahun dan ditampilkan masih nampak jelas bahwa dulunya adalah seorang gadis cantik dan segala tindak tanduknya mencerminkan mental yang baik. Selain itu, ada Don Gonzalo, lelaki tua kira-kira berumur 70 tahun lebih, agak congkak dan selalu tampak tidak sabaran. Kemudian, sebagai tokoh pembantu, terdapat Petra dan Juanito. Petra, seorang gadis pembantu Laura, sedangkan Juanito adalah pemuda pembantu Gonzalo.

II. Sinopsis

Dikisahkan bahwa Donna Laura adalah seorang nenek yang kerap kali pergi dan duduk di taman. Setiap hari, ia duduk di tempat duduk yang sama sehingga menganggap tempat duduk itu seolah-olah miliknya. Ia duduk di bangku taman sambil memberikan remah roti kepada merpati-merpati di taman.

Sementara itu, datanglah Don Gonzalo yang tampak bingung karena bangku taman yang biasa ia tempati telah diduduki oleh tiga orang pendeta. Karena tidak ada pilihan lain, Gonzalo duduk disamping Laura. Pembicaraan dimulai disini. Dari mulai mempermasalahkan hal kecil hingga sampai pada pembicaraan tentang Villa Maricella. Keduanya tampak membicarakan dua orang, Laura membicarakan Laura Liorento “Perawan Bagai Perak” dan Gonzalo menceritakan Gonzalo.

Mereka mencoba flashback. Namun, tak disangka ternyata mereka berdua membicarakan diri mereka sendiri. Laura menceritakan masa mudanya Laura dulu, dan Gonzalo menceritakan masa mudanya. Sejatinya, mereka berdua adalah dua orang yang saling mencintai. Mereka berdua mencoba mengatakan isi hati mereka walaupun sebenarnya mereka masing-masing telah menikah dengan orang lain. Hal menduga-duga yang dilakukan oleh keduanya, semisal yang dikatakan Laura, “Mungkinkah dia itu benar orangnya?” dan yang dikatakan Gonzalo,”Ya Allah, dialah orangnya itu?”, semua ini berlanjut hingga akhir drama
.

III. Analisis Plot

3.1 Landasan Teori
Plot merupakan kerangka dasar yang amat penting. Plot mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain (kausalitas), serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Perrine dalam bukunya Literature: Structure, Sound and Sense menjelaskan bahwa “plot is the sequence of incident or events which the story is composed and it may conclude what character says or thinks, as well as what he does, but it leaves out description and analysis and concentrate ordinarily on major happening” (1974:41).

Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction menyatakan “the comflict moves the story because it is generating center out of which the plot grows which becomes the core of the story’s structure. (1965: 16). William Kenney dalam bukunya How To Analyze Fiction menyatakan “the structure of plots divided into three parts. They are the beginning which consists of the exposition on introduction, the middle which consists of conflict, complication and climax and the end which converses denouement or resolution” (1966:13).

Dalam bentuk sederhana, plot dibagi menjadi 3, yaitu:
3.1.1 Beginning atau awal cerita
Bagian awal berfungsi sebagai eksposisi yaitu bagian yang memberikan informasi yang diperlukan oleh pembaca agar bisa memahami jalan cerita selanjutnya. Dibagian awal ini biasanya berisi nama tokoh-tokoh, gender, usia, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal, dan hal-hal yang menurut penulis penting untuk diketahui oleh pembaca. Pada awal ini biasanya diakhir dengan cerita yang tidak stabil karena cerita yang tidak stabil inilah yang akan memicu kejadian yang akan terjadi berikutnya.
3.1.2 Middle atau tengah cerita
Bagian tengah cerita diawali dengan hal-hal yang bisa memicu konflik karena pada bagian tengah cerita ini berupa rangkaian konflik yang intensitasnya semakin tinggi dan mencapai kepuncak dan disebut dengan klimaks sebuah cerita. bagian inilah yang biasanya paling ditunggu oleh pembaca.
3.1.3 End atau akhir cerita
Bagian akhir cerita ini berisi penyelesaian atas masalah-masalah yang terjadi dibagian tengah cerita.

Menurut Hartoko dalam bukunya yang berjudul Pemandu di Dunia Sastra (1985:48), plot dibedakan menjadi dua jenis: (1) plot flash-back (alur campuran), teknik ini digunakan pengarang untuk menampilkan kembali kejadian di masa lalu, (2) plot flash-forward (alur maju).

Dalam suatu cerita, teknik ini lebih mudah di pahami pembaca karena cerita yang ditampilkan maju terus ke depan. Melalui plot pembaca dapat mengikuti urutan cerita lebih mudah. Tatanan plot dalam sebuah cerita yang lebih rinci menurut Mochtar Lubis (1981:17) meliputi:
1. Perkenalan
Dalam bagian perkenalan berisi mengenai tokoh, konflik, dan latar dari cerita yang dibahas dalam novel.
2. Pemaparan masalah
Bagian dimana cerita mulai berkembang sebelum konflik mencapai puncak.
3. Klimaks
Bagian dimana permasalahan dalam novel mencapai puncaknya.
4. Anti klimaks
Bagian dimana permasalahan dalam cerita mulai ada solusinya.
5. Penyelesaian masalah.
Bagian dimana permasalahan dalam cerita dapat diselesaikan.

Sementara itu, Aristoteles membagi struktur cerita atas lima bagian, yaitu : (1) pemaparan (eksposisi), (2) penggawatan (komplikasi), (3) klimaks, (4) peleraian (anti klimaks), dan (5) penyelesaian (catasthrope). (Boen S. Oemaryati, 1971 : 70)

3.2 Analisis Plot Naskah Drama Pagi Bening

Naskah drama Pagi Bening karangan Serafin dan Joaquin ini menganut plot flash-back (alur campuran). Hal ini dapat diketahui dari jalan cerita dramanya berupa penampilan-penampilan peristiwa di masa lalu melalui apa yang dikatakan oleh tokoh (Donna Laura dan Don Gonzalo). Drama komedi ini membahas secara intens maksud pembicaraan kedua tokohnya dan memaparkan secara jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan tokoh tersebut, dibuktikan dengan perkataan yang disampaikan tokoh di luar dialognya dengan tokoh lain. Berikut ini dipaparkan kutipan dialog dalam drama tersebut.

GONZALO : Jadi nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?
LAURA : Tentu saja, tuan.
GONZALO : Setua itu? Ahai, nyonya main-main saja!
LAURA : Coba saya pinjam buku tuan itu!
(MENGAMBIL BUKU DAN MEMBACANYA KERAS-KERAS)
“ Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, dimana oranya itu? “
GONZALO : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan nyonya.
LAURA : (KESAMPING) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.

Teks sampingan “(kesamping)” tersebut mengisyaratkan hal sebenarnya yang terjadi pada Laura. Oleh karena itu, pembaca menjadi mudah memahami jalan ceritanya. Tidak hanya pada dialog tersebut, terdapat juga beberapa hal serupa pada dialog-dialog yang lain.

Mengenai struktur cerita, naskah drama ini menganut lima aspek yang dikemukakan oleh Aristoteles sehingga dapat dikatakan bahwa naskah drama ini menganut plot konvensional. Seperti yang diungkapkan oleh Gustaf Freytag dari Jerman, bahwa alur itu menggambarkan bentuk segitiga sama sisi dengan klimaks terletak persis di bagian tengah cerita. Berikut ini dipaparkan bagian-bagian dari plot tersebut.

3.2.1 Pemaparan (exposition)

Pada umumnya berisi informasi yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahapan awal adalah memberikan informasi dan penjelasan seperlunya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Dalam naskah drama Pagi Bening diceritakan pemaparan pada bagian awalnya, yakni pada saat Donna Laura (salah satu tokoh utama) masuk panggung dengan ditemani Petra (pembantunya). Di situ, dijelaskan posisi Petra sebagai pembantu, sedangkan Laura sebagai majikan atau yang dibantu. Hal tersebut juga dibuktikan dengan panggilan “Senora” oleh Petra yang ditujukan pada Laura. Senora merupakan panggilan yang berarti ‘nyonya’ dalam bahasa Spanyol. Selain itu, dalam tahap pemaparan juga dijelaskan mengenai latar tempat dan suasana. Hal ini ditunjukkan dalam dialog berikut ini.

LAURA : Aku selalu merasa gembira sekali di sini. Syukur bangkuku tidak ditempati orang lain. Duhai, pagi yang cerah! Cerah sekali.
PETRA : Tapi matahari agak panas, Senora.
LAURA : Ya, kau masih duapuluh tahun (IA DUDUK DI BANGKU BELAKANG). Aku merasa lebih letih dari biasanya (MELIHAT PETRA YANG NAMPAK TAK SABAR), pergilah kalau kau ingin ngobrol dengan tukang kebunmu itu!
PETRA : Dia bukan tukang kebunku, Senora, dia tukang kebun taman
ini!

Selain itu, terdapat pula penjelasan mengenai Gonzalo dan Juanito. Dalam hal ini, Juanito sebagai pembantu Gonzalo. Motif pengenalannya sama dengan motif pengenalan Petra dan Laura.

Singkatnya, tahap pemaparan / eksposisi dimulai pada bagian awal saat Laura dan Petra masuk panggung kemudian bertemu dengan Gonzalo dan Juanito (Petra pada saat itu keluar panggung sebelum Gonzalo dan Juanito datang). Lalu, sampai pada awal dari keributan kecil yang dilakoni oleh Laura dan Gonzalo. Hal ini yang akan menjadi latar belakang dari komplikasi (penggawatan) selanjutnya.

3.2.2 Penggawatan (komplikasi)

Dalam naskah drama karangan Serafin dan Joaquin ini, tahap komplikasi dimulai ketika terjadi keributan kecil yang dilakoni oleh Laura dan Gonzalo. Ketika itu, terdapat percekcokan mengenai bangku taman. Pada saati itu, bangku taman yang biasa ditempati oleh Gonzalo telah ditempati oleh tiga orang pendeta. Alhasil, karena tidak ada pilihan lain, Gonzalo duduk di sebelah Laura. Disinilah penampilan awal masalah diungkapkan. Tahap penggawatan.komplikasi ini terus berlanjut hingga sampai pada cerita tentang masa lalu yang dikemukakan oleh Gonzalo. Ia menceritakan tentang sajak-sajak karangan penyair lama. Dalam hal ini, dia mengaku sebagai teman dari penyair-penyair tersebut. Lalu, pembicaraan mengarah pada Amerika, Raja Ferdinand, Ratu Isabella, dan Valensia. Berikut ini dipaparkan beberapa dialognya.

LAURA : Eh, tuan pernah ke Amerika?
GONZALO : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 6 tahun.
LAURA : Tentunya dulu tuan ikut Colombus.
GONZALO : (TERTAWA) Yah, tidak sejelek itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah kenal Raja Ferdinand serta Ratu Isabella!
(KEDUANYA TERTAWA). Saya juga teman Campoamor, berjumpa pertama kali di Valensia. Saya warga kota di sana.
LAURA : Apa sungguh?
GONZALO : Saya dibesarkan disana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa nyonya pernah ke Valensia?
LAURA : Pernah! Tiada jauh dari Valensia ada sebuah villa dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa musim di sana. Tapi sudah lama lampau. Villa itu dekat laut, tersembunyi antara pohon jeruk. Mereka menyebutnya ... ah ... lupa ... o ya, Villa Maricella.

Semua dialog pada tahap penggawatan ini menjadi sebab dari tahap-tahap selanjutnya. Terlebih lagi, ketika pembicaraan sampai pada Villa Maricella. Pada tahap selanjutnya, konflik akan dimulai dengan pembahasan mengenai Villa Maricella dan segala peristiwa yang berhubungan dengan hal tersebut.

3.2.3 Klimaks

Dalam naskah drama terjemahan Sapardi Djoko Damono ini, klimaks dimulai ketika terjadi obrolan mengenai Villa Maricella. Dalam hal ini, pembicaraan terus berlangsung hingga orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Villa Maricella tersebut. Di sinilah sesuatu yang ganjil terjadi. Laura mencoba menceritakan tentang gadis yang tinggal dalam Villa tersebut, yakni Laura Liorento yang dijuluki Perawan bagai Perak. Ia menceritakan tentang kisah cintanya dengan Gonzalo. Dalam hal ini, perlu diketahui, mereka belum tahu nama dari mitra wicaranya. Laura belum mengetahui nama lawan bicaranya (Gonzalo), begitu pula sebaliknya.

Gonzalo pun menceritakan tentang Gonzalo yang mencintai Laura Liorento. Ia menceritakan segala perjuangannya dalam mendapatkan Perawan bagai Perak tersebut. Di sini, ada dialog yang menyatakan keheranan satu sama lain karena masing-masing sepertinya begitu mengetahui detail cerita. Namun, keduanya berkilah dengan alasan-alasan yang menurut mereka masuk akal. Berikut ini dipaparkan sebagian dialognya.

GONZALO : Ya, waktu matahari terbit, di tepi pantai, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
LAURA : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.
GONZALO : Nyonya pun begitu agaknya.
LAURA : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.
GONZALO : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya.
(KE SAMPING) Heh, inilah Laura itu! Tak salah!
LAURA : (KE SAMPING) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga apa-apa.
GONZALO : (KE SAMPING) Dia sama sekali tak bersalah.
LAURA : Dan apakah tuan pula yang menasihati saudara tuan itu untuk melupakan Laura?
GONZALO : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.

Dalam dialog di atas, juga dijelaskan jikalau keduanya saling membela diri. Namun, ternyata, keduanya pun mulai menyadari jika lawan bicara masing-masing adalah Laura dan Gonzalo yang dimaksudkan dalam cerita-cerita mereka. Di sinilah sebab dari tahap peleraian.

3.2.4 Peleraian (antiklimaks)

Tahap peleraian dalam naskah drama ini dimulai dengan upaya saling mengakui jika mereka telah menikahi gadis dan pemuda yang lain. Namun, pengakuan ini hanya diungkapkan di belakang, tidak di depan lawan bicara. Hal ini menjadi akibat dari adanya kesadaran dari masing-masing pihak jika lawan bicaranya adalah Gonzalo dan Laura.

Tahap peleraian ini berlangsung sampai pada Laura yang menyadari bahwa pertemuannya dengan lawan bicaranya sebagai sesuatu hal yang aneh. Begitu pula Gonzalo, ia mengamininya. Berikut ini dipaparkan dalam dialog di bawah ini.

LAURA : Nasib memang selalu aneh. Di sini, tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!
GONZALO : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.
LAURA : Tuan juga yang tadi mengganggu merpati-merpati saya.
GONZALO : Memang agak kasar saya tadi.
LAURA : Memang kasar. (RAMAH) Tuan datang lagi besok pagi?
GONZALO : Tentu, asal pagi secerah ini. Dan takkan lagi mengganggu merpati-merpati itu, tapi saya akan membawa remah-remah roti besok.
Begitu sebagaimana diungkapkan dalam dialog di atas, tahap peleraian diakhiri dengan kesediaan Gonzalo untuk datang besoknya dan membawakan remah roti untuk merpati-merpati itu. Di sinilah konflik berakhir dan Laura memanggil Petra, begitu pula Gonzalo memanggil Juanito.

3.2.5 Penyelesaian (catasthrope)

Tahap ini dimulai dengan adegan Laura memanggil Petra, begitu pula Gonzalo memanggil Juanito. Mereka beranjak pulang. Pada tahap ini ditampilkan pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan oleh Laura dan Gonzalo saat melambai pulang. Berikut ini dipaparkan dalam dialog di bawah ini.

GONZALO : Sampai besok, nyonya!
LAURA : Sampai besok, tuan!
GONZALO : Agak panas hari ini!
LAURA : Pagi yang cerah. Tuan besok pergi ke bangku tuan?
GONZALO : Tidak, saya akan kemari saja. Itu kalau nyonya tidak berkeberatan.
LAURA : Bangku ini selalu menanti tuan!
GONZALO : Akan saya bawa remah-remah roti!
LAURA : Besok pagi, jadilah!
GONZALO : Besok pagi. (LAURA MELANGKAH KE KANAN BERPEGANG PADA PETRA. GONZALO MEMBUNGKUK SUSAH PAYAH MEMUNGUT BUNGA YANG JATUH TADI, DAN LAURA MENENGOK KETIKA ITU)
LAURA : Apa yang tuan kerjakan?
GONZALO : Juanito, tunggu dong!
LAURA : Tak salah, dialah Gonzalo!
GONZALO : (KE SAMPING) Tak salah, dialah Laura!
(MEREKA MASING-MASING MELAMBAIKAN TANGAN)
LAURA : Mungkinkah dia itu benar orangnya?
GONZALO : Ya Allah, diakah orangnya itu?
(KEDUANYA TERSENYUM)

Begitulah adegan terakhir dari naskah drama Pagi Bening ini. Tahap penyelesaian dituliskan secara halus, dimana petemuan yang diawali pertengkaran kemudian diakhiri dengan saling melambaikan tangan dan mengharap besok dapat bertemu lagi. Walaupun begitu, keduanya masih memertanyakan jati diri lawan bicara masing-masing.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis plot, dapat disimpulkan bahwa naskah drama Pagi Bening ini menganut plot flash-back (alur campuran). Selain itu, subplot yang dimaksud terdiri dari lima tahap, yaitu tahap pemaparan, komplikasi, klimaks, anti klimaks, dan penyelesaian. Naskah drama Pagi Bening masih mengandung plot konvesional. Oleh karena itu, dasar teori yang digunakan adalah teori plot yang dikemukakan oleh Aristoteles.(©12Apr10)

Sinergitas Movies dengan Mentalitas Bangsa Indonesia

Oleh:
Ariny Rahmawati
Universitas Gadjah Mada

Film merupakan salah satu media efektif penyampai pesan karena film dapat dikatakan sebagai salah satu media komunikasi. Dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, hakikat film bukan semata-mata sebagai barang dagangan. Film merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar untuk masyarakat. Film dinilai sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina bangsa dan membangun karakter dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori, yakni sebagai sinema, film, dan movies. Saat ini, kebanyakan film Indonesia menempatkan film hanya sebagai movies. Artinya, mayoritas film di Indonesia hanya sebagai barang dagangan. Pembuatan film hanya dititikberatkan pada permintaan konsumen, bukan atas kepentingan pendidikan atau sinematografinya. Oleh karena itu, muncul film-film Indonesia dalam genre populer. Genre horror bernuansa seks menduduki peringkat tertinggi. Hal ini terlihat dari jumlah produksi film horror yang mencapai angka lebih dari 100 pada kisaran tahun 2006 sampai 2009.

Selintas Perkembangan Industri Perfilman Indonesia
Industri perfilman Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Usianya tidak bisa dikatakan muda. Film pertama kali yang diproduksi di Indonesia adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Film ini disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp, dua orang yang berkebangsaan Belanda. Kendati seperti itu, film ini dimainkan oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Java NV di Bandung. Peluncuran film ini dilakukan pada tanggal 31 Desember 1926 di teater Elite dan Majestic. Setelah itu, sekitar puluhan ribu film diproduksi di Indonesia.
Dunia perfilman Indonesia sempat menjadi raja di negeri sendiri sekitar tahun 1970-an sampai 1980-an. Pada saat itu, film Indonesia sempat merajai bioskop-bioskop lokal. Film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan Si Boy, Blok M, dan sebagainya. Pun beberapa bintang film yang terkenal kala itu adalah Onky Alexander, Meriam Belina, Nike Ardilla, dan Paramitha Rusady. Selain itu, sineas-sineas yang berhasil menghasilkan film-film berkualitas pada masa itu, yakni Arifin C. Noer, Benjamin Sueb, Bing Slamet, Teguh Karya, Eros Djarot, dan lain-lain. Mereka berhasil menyuguhkan karya seni secara total dan tidak hanya aji mumpung belaka.
Setelah masa kejayaan itu, para produser mulai mengeksploitasi para konsumen. Karena satu dan lain hal, kualitas perfilman Indonesia semakin menurun pada tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan dominasi tema-tema khusus orang dewasa pada hampir semua film Indonesia. Film-film horror, seks, atau horror bernuansa seks mulai muncul memenuhi bioskop-bioskop lokal. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Akibatnya, film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi film Indonesia di negeri sendiri.

Setelah masa-masa itu, pada kisaran abad baru, muncul film berjudul Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, bintang cilik berbakat. Drama musikal tersebut diproduksi oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. Pada kenyataannya, film tersebut mampu menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Secara komersil, film ini mampu menguasai bioskop-bioskop lokal Indonesia. Setelah itu, muncul film-film lain dengan genre berbeda namun telah sukses secara komersil, yakni Jelangkung, Ada Apa dengan Cinta, Biarkan Bintang Menari, Di sini Ada Setan, dan sebagainya.

Sementara itu, film-film berkualitas dan nonkomersil juga mampu memenangkan penghargaan nasional dan internasional. Film-film tersebut diproduksi oleh sineas-sineas berkualitas, diantaranya adalah Christine Hakim dan Deddy Mizwar. Film-film nonkomersil tersebut, diantaranya berjudul Pasir Berbisik, Daun di atas Bantal, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Marsinah, dan lain-lain. Selain itu, pada masa ini, Festival Film Indonesia kembali digelar setelah vakum selama 12 tahun.

Sepanjang perjalanan dunia perfilman Indonesia, saat ini, kembali diguncang film-film bernada seks dan horror. Pada tahun 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia mencekal film berjudul Suster Keramas, Hantu Puncak Datang Bulan, dan film-film lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan karena film-film tersebut dianggap mampu mengusik perasaan susila masyarakat. Sayangnya, meskipun telah dicekal, film tersebut tetap tayang dengan judul yang berbeda. Di sinilah dunia perfilman Indonesia kembali mengalami degradasi substansi.

Sejarah penetapan Hari Film Nasional jatuh pada 30 Maret, diambil dari hari pertama proses pengambilan gambar Darah dan Doa, sekaligus film pertama yang diproduseri Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Usmar Ismail, adalah tokoh penting yang diberi kehormatan menyandang semua kebesaran ini. Ia adalah sutradara sekaligus ketua dari badan yang dibentuk di tahun1950 ini. Kelak, Usmar juga menyandang gelar Bapak Film Nasional dengan sebuah gedung film dan pusat data yang dinamai sesuai dengan namanya.

Bukan sebuah kebetulan, ketika seorang Suzanna, legenda hidup dalam sejarah film horor Indonesia ternyata mengawali karirnya dibawah arahan Usmar. Asrama Dara (1958), film yang memberinya peran kecil itu ternyata membawa Suzanna pada jenjang yang terus menanjak hingga 50 tahun kemudian, 2008, sekaligus membuktikan ketajaman intuisi Usmar sebagai maestro.tuisi Usmar sebagai maestro.

Jika pada tahun ini fokus peringatan jatuh pada Suzanna, tentu tak dimaksudkan untuk terjebak pada kultus bintang. Sebagai legenda hidup, tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari dari sosok dan konsistensi seorang Suzanna dalam dunia film. Peringatan Hari Film Nasional kali ini juga berupaya untuk membaca fenomena Suzanna melalui diskusi dan pemutaran beberapa filmnya yang legendaris, mengingat ikonoklastik Suzanna dalam posisi film horor dunia.

Kecenderungan Genre Horror pada Film-film Indonesia
Dalam perkembangannya, ada beberapa jenis film horor. Pada masa awal perkembangannya di Barat, film-film horor mengambil ilham dari tokoh-tokoh dalam sastra klasik Barat seperti Dracula, Wolfman, Frankenstein, Dr. Jekyll & Mr. Hyde, The Mummy, The Phantom of The Opera, dan lain sebagainya. Setelah Perang Dunia II, berkembang tiga jenis (sub genre) film horor yang dominan di Amerika, yaitu horror-of-personality, horror-of-Armageddon, dan horror-of-the-demonic (Derry : 1977).

Wicaksono Adi dan Nurruddin Asyhadie pun turut membahas jenis horror dalam perkembangan film-film Indonesia. Dalam tulisannya berjudul Paramarupa Film Horor Kita (Majalah F, no. 3, Februari-Maret 2006), ada ketegangan film horor berjenis demonic horror dan pyschological horror. Film horor berjenis demonic horror adalah film horor dengan tokoh-tokoh setanwi, atau supernatural. Sedangkan film horor berjenis pyschological horror adalah film horor yang bersumber dari persoalan kejiwaan.

Kedua jenis film horor tersebut turut menyumbangkan warna dalam genre film horor di Indonesia. Film horor pertama di Indonesia yang menggunakan jenis demonic horror adalah film berjudul Tengkorak Hidoep yang diproduksi pada tahun 1941 oleh Tan Tjoei Hok. Sedangkan film horor pertama Indonesia yang menggunakan jenis pyschological horror adalah film berjudul Lisa yang diproduksi oleh M. Shariefudin pada tahun 1971. Kedua film ini menjadi tonggak munculnya genre horor di Indonesia hingga saat ini.

Berdasarkan pemaparan pada poin I dan II di atas, disebutkan bahwa genre horor sempat mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia. Genre horor menjadi yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Kiranya, perlu sebuah telaah sebab mengapa film horor Indonesia kian diproduksi secara terus-menerus. Dalam hal ini, perlu dikaji tujuan mayoritas para sineas Indonesia memperoduksi film-film tersebut.

Sebagaimana disebutkan dalam pengantar, mayoritas film Indonesia diproduksi untuk kepentingan finansial. Hal tersebut mengakibatkan para sutradara dan penulis naskah memproduksi film sejauh permintaan kebanyakan konsumen saja, bukan atas tujuan pendidikan atau kritik sosial. Intinya, film Indonesia diproduksi sebagai hiburan belaka. Terbukti dengan munculnya puluhan film horor di Indonesia. Memang, hal tersebut wajar karena sineas-sineas Indonesia ingin memberikan suasana hiburan bagi masyarakat Indonesia. Namun, dominasi film horor tersebut juga membuat para penikmat film Indonesia menjadi jenuh. Akibatnya, film Indonesia tergeser oleh film Hollywood atau film luar lainnya.

Sejauh pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa kualitas kebanyakan film Indonesia perlu dipertanyakan. Ironisnya, film-film horor yang jelas-jelas tidak punya substansi itu menggunakan stimulan seks dalam menjaring penonton. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Majelis Ulama Indonesia pun berkali-kali mencekal film-film berbau perusak moral. Namun, film-film sejenis kian diproduksi hingga kini.

Film Indonesia dan Bangsa Indonesia
Yudi Prakasa, pengamat film dari Institut Kesenian Jakarta, berpendapat mengenai kualitas dan kuantitas produk dunia perfilman Indonesia. Ia mengatakan bahwa kemunculan film-film Indonesia berkualitas rendah seperti yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari sebuah siklus yang selalu berulang. Dunia perfilman Indonesia senantiasa bergerak naik dan turun, mengalami masa keemasan di satu saat dan terpuruk di saat lainnya.

Yudi bukannya tidak menyadari bahwa penonton sekarang telah menjadi lebih arif dalam menilai sebuah film. Akan tetapi, menurut Yudi, para produser telah mengantisipasi bertambah pintarnya para penonton. Pengamat film ini menggunakan teori psikologi Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs) dalam menjelaskan pandangannya. Teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow ini menyatakan bahwa ketika manusia memenuhi kebutuhan dasarnya, ia akan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang ditunjukkan diagram dibawah ini.



Singkatnya, menurut Yudi, produser pada masa 1990-an memproduksi film-film yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti yang ditunjukkan Hirarki Maslow pada bagian diagram yang berwarna merah, era 1990-an diwarnai film-film bertema seks. Selain itu, saat ini, film Indonesia telah berada satu tingkat di atas merah. Sekarang para produser membuat film-film dengan tema horor yang intinya mengusik rasa keamanan yang diperlukan manusia.

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa dalam hal kualitas, masyarakat Indonesia masih berada dalam taraf rendah. Hal ini tentu saja menyangkut kepribadian bangsa Indonesia. Dalam batasan-batasan yang ketat, film akan berdampak positif bagi para pemirsanya. Namun, film akan menjadi masalah ketika isi yang terkandung atau pesan yang diusung film tersebut keluar dari batas dan norma dan etika.

Keadaan masyarakat pada suatu bangsa sangat tergantung pada jenis tontonan kesehariannya. Ketika meyaksikan film produksi India yang bernilai positif pada muatan budayanya, dapat ditemukan bahwa memang demikianlah keadaan masyarakat India yang begitu mengahargai dan mencintai kebudayaannya. Sementara film keseharian bangsa Indonesia didominasi muatan-muatan yang berbau takhayul dan horor belaka. Hal ini menjadi sebab lemahnya cita menuju kemajuan teknologi dan kemajuan bangsa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa antara film dan kecerdasan para pemirsanya (baca : masyarakat) jelas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Film mempengaruhi kepribadian bangsa.

Akhirnya, baik tidaknya film yang beredar di negeri ini sangat bergantung pada kebijakan badan perfilman Indonesia yang mengatur tentang batasan-batasan norma dan adab film-film di pasaran. Namun, bangsa Indonesia harus tetap berusaha kritis dan memfilterasi berbagai tayangan ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjerembab pada keterpurukan akhlak akibat pengaruh negatif dari berbagai program tersebut, terutama para generasi penerus bangsa Indonesia.

Film sebagai salah satu media komunikasi di Indonesia berperan penting dalam pola pikir dan kepribadian masyarakat Indonesia. Film Indonesia didominasi oleh genre horor sebagai akibat dari pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung dicampuri oleh hal-hal berbau mistis dan takhayul. Oleh karena itu, bangsa Indonesia, terutama para generasi muda, dituntut kritis terhadap berbagai tayangan yang ditawarkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjun pada keterpurukan akhlak yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari berbagai program tersebut.

Maraknya produksi film dokumenter ataupun film indie di kalangan pelajar dan mahasiswa mengindikasikan adanya perhatian terhadap sepak terjang dunia perfilman Indonesia. Meskipun begitu, meningkatnya produksi film-film berkualitas tidak serta-merta meningkatkan taste mentalitas bangsa Indonesia. Hal tersebut hanya salah satu penunjang yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan demokrasi dan monarki yang sedang gembor-gembor dibicarakan. Oleh karena itu, meningkatkan yang kecil tidak menutup kemungkinan akan meningkat pula hal-hal lain yang dianggap vital bukan? Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Semoga.

*) Tulisan ini (katanya) masuk dalam nominasi 99 Tulisan Terbaik pada Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa Bagi Bangsa dan Negara di UGM 20 Desember 2010

Industri Kekaryaan : Industrialisasi Bahasa dan Sastra Indonesia

Industri Kekaryaan : Industrialisasi Bahasa dan Sastra Indonesia
(dalam Seminar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM dan Universitas Nasional (UNAS) di Gedung Purbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, 30 November 2009 )

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM

I. Pendahuluan

Dewasa ini, dalam perkembangannya, bahasa dan sastra telah masuk ke berbagai aspek kehidupan, misalnya, media massa yang kemudian menjadi semacam ketergantungan. Alhasil, aktivitas sehari-hari tak urung dilingkupi oleh hal-hal tersebut.
Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi mengingat salah satu fungsinya yang sangat besar adalah memepengaruhi bahkan memperdaya lawan bicaranya—penutur, dalam ilmu tindak tutur komunikasi. Media massa, baik cetak maupun elektronik yang dalam prakteknya tak terlepas dari penggunaan bahasa dan cara pemilihan diksinya merupakan sarana bahasa dan sastra Indonesia untuk menjadi lebih komersil. Penulis boleh menyebutnya sebagai industrialisasi bahasa yang dumulai pada abad ke-19. Hal ini terlihat jelas pada media massa cetak di Indonesia dan media massa lainnya.
Industrialisasi bahasa dan sastra Indonesia menjadi sebuah kajian penting dalam pokok bahasan kali ini. Industrialisasi di sector manapun agaknya menjadi sejenis fenomena massif yang dapat dirasakan oleh segenap umat manusia di dunia. Oleh karena itu, sudah tak asing lagi ketika topic industrialisasi diangkat ke permukaan mengingat begitu maraknya teknologi industri di setiap penjuru. Industrialisasi menuntut untuk dikaji lebih dalam demi kemajuan berpikir di masa depan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Nasional (UNAS) Jakarta mengadakan sebuah temu jurusan yang membahas seputar industrialisasi bahasa dan semacamnya pada 30 November 2009 di Gedung Purbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta. Seminar ini mengahadirkan dua pemakalah dari UGM yaitu Achmad Fawaid dan Pekik Nursasongko. Keduanya adalah mahasiswa S1 Sastra Indonesia UGM Yogyakarta. Sedangkan dua pemakalah dari UNAS yakni Gema Fajar Rakhmawan dan Mukorobin. Keduanya adalah mahasiswa S1 Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UNAS Jakarta.

II. Mewacanakan Industri(alisasi) Bahasa1

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Mewacanakan Industri(alisasi) Bahasa : Dari Media Massa hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahasan yang disampaikan ini bertujuan melihat bagaimana dua pandangan (modernis dan pomodernis radikal) berdialektika secara inhern dalam persoalan industrialisasi bahasa, sekaligua mencoba melakukan kritik terhadap gagasan industrialisasi bahasa yang dirasa penulisnya cukup meragukan. Mengenai penjelasan dan simpulan terkait sub bahasan ini akan dipaparkan sebagai berikut.

Terkait dengan bahasa sebagai wacana ini, Michel Foucault pernah menyatakan : language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a articular group while excluding other. Foucault berusaha menyadarka dunia bahwa bahasa sebenarnya tak pernah netral, selalu terikat, dikontrol, dan dikonstruksi oleh pihak-pihak tertentu (dalam hal ini penguasa) demi tujuan pribadi dan kelompoknya. Kondisi yang digambarkan Foucault tersebut tampaknya nyaris sama dengan apa yang terjadi dalam bahasa Indonesia saat ini.

Media cetak dan penerbitan—untuk menyebut beberapa saja—menjadi dua “lembaga industri” yang berkuasa dalam mengkonstruksi wacana kekuasaan melalui proses industrialisasi bahasa. Seperti yang nanti akan terlihat, mereka berhasil mengkonstruksi pola-diksi individu melaui strategi marketing-media-nya. Di belakang kedua lembaga ini, ada penguasa-penguasa lain yang turut berkuasa, yakni mencakup para politisi, penguasa, pebisnis, orang kaya, atau pihak-pihak tertentu yang memiliki modal untuk mengontrol lembaga industri bahasa itu. Foucault menyebut golongan penguasa ini sebagai man of desire.

Kerena kedua lembaga ini, sadar atau tidak hanya menguasai bahasa sebagai alat untuk melanggengkan tujuan-tujuan tertentu, tetapi juga telah menjadikan bahasa sebagai komoditas untuk disalurkan dan dijual kepada masyarakat pembaca, maka—seperti kata Benedict Anderson dalam Imagined Community (1983)—kapitalisme percetakan sudah pasti ada.

Namun, industrialisasi bahasa dan sastra yang dimaksud juga mengakibatkan carut-marutnya jagat bahasa dan sastra Indonesia. Dari sini muncul pergeseran pola-komunikasi media massa yang mulai menggunakan bahasa-bahasa bombastis yang berbau asing, bahasa-bahasa emosional, bahasa-bahasa yang tidak logis, bahasa-bahasa metafora-politis, bahasa-bahasa erotis,dsb. Masyarakat pun akhirnya juga turut menggunakan bahasa-bahasa itu sebagai sesuatu yang secara for granted diterima apa adanya. Kemudian, bahasa kesusastraan pun juga turut lebur dalam hangar-bingar industrialisasi. Ada satu kasus yang cukup menarik, yakni “novel latah”. Kasus novel ini memperjelas bahwa selera pasar tetap menjadi pertimbangan utama jika si lembaga penerbitan tidak ingin gulung tikar.

Namun, ada pula dua sisi dari industrialisasi bahasa, yakni antara hegemoni dan anti-hegemoni. Industrialisasi anti-hegemoni jelas ditemui pada surat kabar pergerakan kemerdekaan saat lalu. Sikap independensi ditunjukkan disini. Di sisi lain, indutrialisasi dengan hegemoni kekuasaan yang ermodal kini sudah banyak sekali terjadi sehingga menimbulkan berita yang “dibuat” bukan berita yang “diliput”.
Bahasa buanlah hak prerogative penyusun kamus. Bahasa hidup di tengah-tengah kita. Jika yang diindustrialisasikan adalah bahasa sebagai lambang atau identitas suatu bangsa, gagasan tentang industrialisasi bahasa (Indonesia) sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu, yaitu ketika Purwadarminta untuk pertama kalinya berhasil menyusun dan menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia pada tahun 1952. Penerbitan kamus umum ini tentu saja tidak hanya menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia berusaha dinasionalisasikan dan dibakukan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana industri penerbitan pada waktu itu (Balai Pustaka) turut terlibat dalam mendukung pembakuan tersebut melalui usaha penyebaran sekaligus penjualan “bahasa Indonesia” dalam bentuk kamus.

Namun, terlepas dari ini semua, masih diragukan dengan sebuah kritik ontologis yakni apakah memang industrialisasi bahasa semacam ini yang dimaksudkan.

III. Hedonisme Novel Pop Pesantren2

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Hedonisme Novel Pop Pesantren : Ketika Orang-orag Pesantren Berkutat dengan Sastra sebagai Industri.
Berdasarkan pemaparan pemakalah pada sub bab kali ini, dapat disimpulkan bahwa kelahiran novel pop pesantren sebagai genre baru dalam sastra Indonesia disebabkan juga oleh system industri. Kejelian penerbit dalam membidik selera konsumen merupakan inti dari proses kelahiran tersebut. Akibat pemenuhan selera konsumen tersebut, novel pop pesantren pun sarat akan wacana hedonis yang juga muncul pasca booming novel-novel pop tahun 2000-an.

Pada empat novel pop yang diteliti, yakni Santri Semelekete (karya Marifatun Baroroh, 2005), Santri Tomboy (karya Sachee M. Diroini), Diary Hitam Putih (karya Restu RA,2007), Santri Baru Gedhe (karya Zaki Zarung, 2000), sebagian besar menggunakan karakter tokoh sebagai alat penyampaian budaya hedonis. Pola pikir tokoh dalam novel-novel pop pesantren dikonstruksi telah menyatu dengan hedonisme. Terlepas dari ada tidaknya pengarang novel-novel tersebut meletakkan hedonisme pada novelnya, pada kenyataannya itulah ang diinginkan pasar sebagai hasil dari kejelian penerbit.

IV. Industri Kekaryaan3

Perlu disampaikan bahwa sub judul yang digunakan adalah Industri Kekaryaan;Pengaruh Tampilan dalam Sebuah Karya Sastra : “Semangat Desain Postmodern dalam Sastra Populer pada Segmen Remaja”.

Berdasarkan pemaparan pemakalah, dapat disimpulkan bahwa postmodernisme menggantikan modernisme sebagai gaya internasipnal terkini. Dalam bidang desain, secara formal telah menjelaskan tentang penolakan atas kemurnian modernisme kolot yang menolak cita rasa popular. Seperti juga art deco. Postmodernisme mencampuradukkan sejarah seni dan teknologi baru dengan kecenderungan dekoratif untuk meraih penampilan komersial yang dapat diterima oleh masyarakat.

Selain itu, pengaruh elemen-elemen dan berbagai atribut yang terkandung pada desain
postmodern di atas kiranya memberikan pengaruh yang besar pada perkembangan sastra popular—khususnya pada remaja. Keunikan dan daya tarik visual pada sebuah cover itulah dunia industri mendukung peerbitan novel-novel semacam ini.

V. Produk Bahasa dan Sastra4

Perlu diketahui bahwa sub judul dalam bahasan kali ini adalah Produk Bahasa dan Sastra : Sebuah Telaah Fenomena Iklan pada Media Massa.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak kita sadari bahwa tata permainan bahasa telah memasuki kehidupan kita. Misalnya yang telah diterapkan dalam bahasa media massa untuk mempengaruhi bahkan memerdaya pembacanya. Dalam pihak ini, bahasa dan sastra juga dijunjung tinggi sebagai produk yang mempunyai daya jual di kalangan masyarakat luas, sebuah ‘aturan’ agar para individu mampu mengemas bahasa menjadi komoditas.

Berdasarkan pemaparan pemakalah pada bahasan ini, betapa bahasa dan sastra Indonesia sebenarnya sangat memungkinkan untuk merambah pada bidang-bidang industri kreatif. Selain pada media massa cetak dan iklan, hadirnya media mutakhir seperti internet dapat juga dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjadikan bahasa sebagai produk bernilai jual. Walaupun pada kesehariannya masyarakat telah berbahasa dan mengungkapkannya dengan sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi tidak semua orang berbahasa bahwa ia sedang bermain dengan tata permainan bahasa. Implikasinya, dibalik bahasa ada manajemen, pemilihan, perangkaian dan pemaknaan yang harus diperhtikan oleh penutur agar pembicaranya tetap dalam konteks dan tepat sasaran.


VI. Simpulan

Berdasarkan pemaparan oleh pemakalah yang dituliskan di atas, dapat disimpulkan :

6.1 Ada berbagai pandangan mengenai postmodernisme dengan modernisme terkait masalah selera populis dan industrialisasi bahasa dan sastra Indonesia. Oleh karena itu, pemaparan hanya bersifat deskriptif dan belum menemukan pembenaran-pembenaran hakiki mengenai bahasan ini.

6.2 Ada banyak efek yang ditimbulkan oleh maraknya pandangan postmodernisme mengenai selera populis dalam berbahasa dan bersastra (Indonesia) kaitannya dengan industrialisasi bahasa dan sastra. Diantaranya adalah menuntut pengkajian ontologis secara mendalam mengenai hakikat industrialisasi bahasa dan sastra, pengkajian fenomena iklan media massa, tentang pengaruh tampilan dalam karya sastra popular, dan pengkajian fenomena hedonisme novel pop pesantren akhir-akhir ini. (©10Des09)

-------------------------------------------------------------------------------------
1 Materi yang disampaikan oleh Achmad Fawaid, mahasiswa Sastra Indonesia ’07 UGM Yogyakarta.
2 Materi yang disampaikan oleh Pekik Nursasongko, mahasiswa Sastra Indonesia ’06 UGM Yogyakarta
3 Materi yang disampaikan oleh Gema Fajar Rakhmawan, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Nasional Jakarta.
4 Materi yang disampaikan oleh Mukorobin, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Nasional Jakarta.

Becak Wajib Punya Surat Izin : Melanggar, Tak Boleh Beroperasi

YOGYA (KR) - Akhir tahun 2010 mendatang, semua becak yang ada di seluruh Kota Yogyakarta wajib memiliki Surat Izin Operasional Kendaraan Tak Bermotor (SIOKTB). Sedangkan kuota pemohon surat izin hanya sebanyak 7.500 unit. Sementara itu bagi pengemudi becak yang tak mengindahkan kewajiban ini bakal dikenai sanksi tak boleh beroperasi di kawasan Yogyakarta.

Kepala Bidang (Kabid) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Yogyakarta, Purnomo Rahardjo ketika ditemui KR, Jumat (16/4) menuturkan kebijakan surat izin bagi moda transportasi non-motor ini sesuai dengan Peraturan Walikota Nomor 50 Tahun 2008 tentang kendaraan tidak bermotor.

Dalam perwal ini diatur pengemudi becak wajib memiliki SIOKTB. Dari data Dishub Kota, becak yang ada di Kota Yogyakarta dan memiliki SIOKTB sekitar 5.500 becak. Sementara sisanya diwajibkan untuk mengurus ke Kantor Dishub hingga batas waktu akhir Mei. “Setelah semua becak memiliki SIOKTB, dalam jangka waktu tiga bulan ke depan akan kami lakukan sosialisasi.
Diperkirakan akhir tahun, atau Desember mendatang akan mulai kami terapkan sanksi bagi pengemudi becak yang melanggar aturan. Pengurusan SIOKTB gratis tidak dipungut biaya, hanya mengisi formulir dan fotokopi KTP pemilik,” tegasnya.

Purnomo menjelaskan Dishub juga akan membatasi populasi becak di Kota Yogyakarta. Ditargetkan populasi becak secara keseluruhan tidak lebih dari 7.500 unit.
Secara keseluruhan Dishub menghitung tempat mangkal becak di seluruh Kota Yogyakarta sekitar 40 titik yang tersebar di kawasan Malioboro, Pabringan, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Solo, Jalan C Simanjuntak, Jalan Parangtritis dan daerah perbatasan.
“Latar belakang diberlakukannya SIOKTB ini untuk mengatur keberadaan pengemudi becak. Dalam pengurusan ini juga kami sisipi dengan sosialisasi mengenai peraturan lalu lintas bagi pengemudi becak karena tata tertibnya tidak sama dengan pengendara bermotor. Selain itu dijelaskan pula mengenai etika dan tata krama pengemudi becak. Apabila mereka semua sudah memiliki SIOKTB, penumpang menjadi nyaman karena meminimalisir tindak kejahatan. Kalau ada hal-hal yang tak diinginkan terkait dengan ulah tukang becak, maka penumpang bisa melaporkan ke Dishub,” ujarnya lagi.
Harapannya apabila pengemudi becak sudah memiliki SIOKTB wajib menempelkan plat nomor yang diberikan serta memasang stiker disamping tempat duduk.
(M-1)-f
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Wah.. kalau begitu, sepeda onthel bisa2 diharuskan punya SIM juga donk alias SIOKTB. Walah...Pasalnya,
sepeda kan termasuk juga tak bermotor, trus juga aturanya beda dengan yang lain. Hmm.. Bahkan, kata temenku, sepeda jadi raja jalanan di Jogja.. Haha. Soalnya, saya berkali2 melanggar portal di UGM tapi SKKK malah tak memberi peringatan apapun, dan... sampai saya ngangkat-ngangkat sepeda demi melewati portal juga masih dihalalkan. Hehe... habis saya capek!! bisa patah kaki saya kalau terus2an muter jauh kayak gitu.. :P
Oke laah... yang terpenting, memang keselamatan berkendara.. :D
Tertibkan lalu lintas dan GO GREEN...
Akhirnya, nyambung ke : "Songsong Earthday, 22 April 2010 mendatang..." >.<
Salam reduce, reuse, recycle... :)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Heheee....Nyambung gak nyambung, tuliiisss aja daahh...)
Terima kasih, pembaca.

ANALISIS GAYA BAHASA DAN BAHASA KIASAN PUISI TENTANG LINGKUNGAN ALAM KARYA SITOR SITUMORANG DAN D. ZAMAWI IMRON

ANALISIS GAYA BAHASA DAN BAHASA KIASAN
PUISI TENTANG LINGKUNGAN ALAM
KARYA SITOR SITUMORANG DAN D. ZAMAWI IMRON

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM


I. Pengantar
Sebagaimana pendapat Samuel Taylor Coleridge mengenai definisi puisi, puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah. Serupa dengan pernyataan tersebut, Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo pun berpendapat bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa susunan kata dalam puisi semestinya mengandung beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur kosakata, diksi, denotasi-konotasi, bahasa kiasan, citraan, gaya bahasa, dan faktor kebahasaan. Beberapa unsur tersebut berperan penting dalam penyusunan kata-kata dalam bait-bait sajak sehingga karya sastra yang dihasilkan dapat lebih bernilai dan menimbulkan pengalaman baru bagi penikmatnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai unsur-unsur di atas dalam karya sastra. Dalam hal ini, analisis yang dilakukan mengenai gaya bahasa dan bahasa kiasan dalam puisi. Terdapat tiga puisi yang dianalisis, yakni Topografi Danau Toba dan Tamasya Danau Toba karya Sitor Situmorang serta Tembang Alam karya D. Zamawi Imron.

II. Landasan Teori
2.1 Gaya Bahasa
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo, dijelaskan cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain itu menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca, begitu kata Slametmuljana.
Gaya bahasa meliputi tautologi, pleonasme, enumerasi, paralelisme, retorik retisense, hiperbola, paradoks, dan kiasmus. Berikut ini pemaparannya.
2.1.1 Tautologi
Gaya bahasa yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
2.1.2 Pleonasme (keterangan berulang)
Gaya bahasa yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.
2.1.3 Enumerasi
Gaya bahasa yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar. Dengan demikian, juga menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
2.1.4 Paralelisme (pensejajaran)
Gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
2.1.5 Retorik Retisense
Gaya bahasa yang mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan ayang tak terungkapkan. Penyair romantik banyak mempergunakan gaya bahasa ini.
2.1.6 Hiperbola
Gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.
2.1.7 Paradoks
Gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau rasakan.
2.1.8 Kiasmus
Gaya bahasa yang menyatakan sesuatu diulang, dan alah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.

2.2 Bahasa Kiasan
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo, adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah :
2.2.1 perbandingan (simile)
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding.
2.2.2 metafora
bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya.
2.2.3 perumpamaan epos (epic simile)
perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut.
2.2.4 personifikasi
kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti menusia.
2.2.5 metonimi
bahasa kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970:21)
2.2.6 sinekdoki
bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22)
2.2.7 allegori
cerita kiasan ataupun lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain.

III. Analisis Gaya Bahasa dan Bahasa Kiasan
Berdasarkan landasan teori di atas, terdapat 3 (tiga) buah sajak yang dianalisis, yaitu Topografi Danau Toba dan Tamasya Danau Toba karya Sitor Situmorang serta Tembang Alam karya D. Zamawi Imron. Berikut ini penjabarannya.

3.1 Topografi Danau Toba

Dari pantai Haranggaol
kutatap pulau
danau biru membuai perahu
nelayan Bandar Saribu
dengan lagu kasih
adat Simalungun
di tanah Purba

dari seberang ke seberang
sawang gunung
mendekap teluk
mendekap lembah
hati bunda pertiwi
air biru kedamaian
di tengah riuh dunia
hatiku yang memeluk
langitnya Ayah
di atas sawah ladang
kaumku

hari ini aku sampai di Bakara
bermalam di rumah asal
seketiduran dengan roh batu gunung
mendengarkan silsilah bintang-bintang
di tulang-belulang leluhur
terkujur di tubuh malam
lembah-lembah kecintaan
sarat beban perlambang
air kehidupan
tempat kasih berkecimpung
bersama ikan-ikan
bersama manusia pendatang
dari balik tanjung

(Sumber : Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.1.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata di tengah riuh dunia. Kata ‘riuh’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Terlebih lagi ketika kata tersebut disandingkan dengan kata ‘dunia’, menjadi ‘riuh dunia’. Penggunaan frasa ‘riuh dunia’ mengesankan bahwa dunia benar-benar ramai (dalam konteks suara). Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.
3.1.2 Paralelisme
Gaya bahasa paralelisme terkandung dalam kata-kata mendekap teluk, mendekap lembah. Kata kerja ‘mendekap’ yang dilakukan berulang memberikan kesan tujuan yang sama namun diikuti kata yang berbeda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut mengandung gaya bahasa paralelisme.
3.1.3 Paradoks
Gaya bahasa paradoks terlihat pada kata-kata lembah-lembah kecintaan sarat beban perlambang. Dari sini, dapat diketahui bahwa ada sesuatu yang berlawanan, yakni ‘lembah kecintaan’ dan ‘beban perlambang’. Dalam hal ini, sesuatu yang penuh dengan kecintaan tetapi sarat dengan perlambangan beban-beban. Maka, dapat dikatakan kata-kata tersebut mengandung gaya bahasa paradoks.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.1.4 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata danau biru membuai perahu. Kata kerja ‘membuai’ dilekatkan pada subjek ‘danau biru’. Hal ini mengisyaratkan ada benda mati yang seolah-olah hidup. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni danau biru bisa membuai perahu.
Selain itu, bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata sawang gunung mendekap teluk,mendekap lembah. Kata kerja ‘mendekap’ dilekatkan pada subjek sawang gunung (ruang antara gunung) yang merupakan benda tak bernyawa. Terdapat pula aspek pemanusiaan dalam kata-kata tersebut.
Bahasa kiasan personifikasi juga ditunjukkan dalam baris kata hatiku yang memeluk. Dalam hal ini, kata benda tak bernyawa ‘hatiku’ melekat pada kata kerja ‘memeluk’. Sementara kata kerja tersebut biasa dilakukan oleh manusia, dan hanya manusia yang bisa melakukan pekerjaan ‘memeluk’. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa barisan kata itu mengandung bahasa kiasan personifikasi.
Di samping itu, terdapat pula kata-kata seketiduran dengan roh batu gunung yang mengandung personifikasi pula. Dalam hal ini, menggambarkan bahwa roh batu gunung turut tertidur bersama penulis. Ada kesan penginsanan yang tersirat. Terlepas dari ‘roh batu gunung’ itu bernyawa atau tidak, tetap saja tergambar bahwa ‘roh batu gunung’ sejatinya adalah bukan sesuatu yang bisa melakukan pekerjaan ‘tidur’. Maka, dapat pula dikatakan bahwa larik tersebut mengandung unsur personifikasi.
Personifikasi juga melekat pada kata-kata terkujur di tubuh malam. Dalam hal ini, kata benda ‘tubuh malam’ mengesankan bahwa malam mempunyai tubuh laiknya benda/fisik yang bernyawa. Padahal, sejatinya malam bukanlah benda/fisik. Sejatinya, kata ‘tubuh’ hanya sebagai istilah keseluruhan perwujudan malam. Jadi, dapat juga dikatakan bahwa ‘tubuh malam’ mengandung unsur bahasa kiasan personifikasi.
Disamping itu, personifikasi juga hadir dalam kata-kata hati bunda pertiwi. Dalam hal ini dijelaskan bahwa ‘bunda pertiwi’ yang merupakan metafor dari ‘negeri’ mempunyai ‘hati’ layaknya manusia. Oleh karena itu, ada penginsanan yang terjadi dalam kata-kata tersebut.
3.1.5 Metafora
Bahasa kiasan metafora terdapat pada susunan frasa bunda pertiwi. Dalam hal ini, ada perbandingan ‘bunda pertiwi’ dengan asal maknanya, yakni ‘negeri’. Jadi, ‘bunda pertiwi’ yang dimaksud adalah nusantara atau negara Indonesia.
Selain itu, bahasa kiasan metafora juga tersirat dalam kata-kata air biru kedamaian. ‘Air biru kedamaian’ tersebut bermakna laut yang damai dan tenang.
Metafora juga tampak pada frasa tubuh malam. Dalam hal ini, ‘tubuh malam’ merupakan istilah perumpamaan dari wujud sepanjang malam.
Bahasa kiasan metafora juga tampak pada frasa air kehidupan. Dalam hal ini, ‘air kehidupan’ bermakna sumber kehidupan yang berasal dari air. Ada perbandingan di sana. Oleh karenanya, kata-kata tersebut mengandung metafora.


3.2 Tamasya Danau Toba

seribu gunung
seperti kawanan gajah
menyerbu air danau
lalu beku—
kejadian lapisan bumi
30.000 lalu
—kata ilmu—
ketika perut bumi
memuntahkan ke langit
batu berapi lahar mendidih
jadi gunung-gunung gundul

ribuan tahun lewat
—rumput tumbuh
air menggenang
jadilah danau
di kawah raksasa—
sebelum hutan tumbuh
sebelum puak pengembara
tiba dari benua utara
membuka ladang
kemudian sawah pertama
dilembahlembah subur
menghadap danau
warna hijau biru
seperti pohon hutan
kini kelabu batu
di tengah kuning padang
hutan sisa
terancam punah
(Sumber : Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.2.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata seribu gunung. Kata ‘seribu’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Terlebih lagi ketika kata tersebut disandingkan dengan kata ‘gunung’, menjadi ‘seribu gunung’. Penggunaan frasa ‘seribu gunung’ mengesankan bahwa gunung yang digambarkan benar-benar banyak sekali. Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.
Selain itu, gaya bahasa hiperbola juga melekat pada kata-kata di kawah raksasa. Penggunaan kata ‘raksasa’ mengesankan sesuatu yang sangat besar. Ada aspek yang terkesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan, yakni pada kata ‘raksasa’. Kawah pun sudah menggambarkan sesuatu yang lebar dan besar, terlebih lagi jika deitambah dengan kata ‘raksasa’. Hal ini menjadikan kesan yang dilebih-lebihkan dari kenyataan. Maka, dapat dikatakan kata-kata tersebut mengandung unsur gaya bahasa hiperbola.
Gaya bahasa hiperbola juga melekat pada kata ketika perut bumi memuntahkan ke langit. Penggunaan kata ‘memuntahkan’ tersebut terkesan berlebihan. Terlebih lagi ketika kata ‘memuntahkan’ dilekatkan pada kata keterangan ‘ke langit’. Hal itu mengisyaratkan bahwa ledakan terjadi sangat hebat sampai mencapai langit. Terlihat bahwa pembuatan larik itu disertai dengan pemberian aksen hiperbola.
Disamping itu, gaya bahasa hiperbola juga terkadung dalam kata-kata kawanan gajah menyerbu air danau. Penggunaan kata ‘menyerbu’ mengandung makna yang dilebih-lebihkan dari kenyataan, seakan menyerang air danau dengan sangat terburu-buru dan dahsyat. Jadi, dapat dikatakan, larik tersebut mengandung unsur gaya bahasa hiperbola.
3.2.2 Paradoks
Gaya bahasa paradoks tampak pada kata-kata kini kelabu batu di tengah kuning padang. Ada perlawanan diantara keduanya, yakni kelabu di tengah yang kuning. Hal tersebut bermakna bahwa ada kegersangan diantara yang subur dan sejahtera.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.2.3 Simile
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata seribu gunung seperti kawanan gajah menyerbu air danau. Penggunaan kata ‘seperti’ menunjukkan secara eksplisit mengenai perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, ‘seribu gunung’ dibandingkan dengan ‘kawanan gajah’. Hal itu terjadi karena gunung dianggap laiknya gajah yang berbadan besar daripada binatang-binatang yang lain. Begitu pula dengan gunung yang lebih besar daripada benda-benda alam lainnya. Maka, dapat dikatakan bahwa baris kata-kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile (perbandingan).
Selain itu, bahasa kiasan simile juga terkandung dalam kata-kata warna hijau biru seperti pohon hutan. Lagi-lagi, penggunaan kata ‘seperti’ mengisyaratkan adanya perbandingan, yakni yang ditunjukkan pada danau yang berwarna ‘hijau biru’ dibandingkan dengan ‘pohon hutan’. Dari sini dapat ditangkap bahwa warna hijau biru tersebut disamakan dengan warna pohon-pohon hutan. Jadi, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata dalam larik tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile.
3.2.4 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata ketika perut bumi memuntahkan ke langit. Kata kerja ‘memuntahkan’ dilekatkan pada subjek ‘perut bumi’. Hal ini mengisyaratkan bahwa perut bumi dapat melakukan pekerjaan ‘memuntahkan’ laiknya yang bernyawa. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni perut bumi bisa memuntahkan sesuatu. Memang bisa, namun kata kerja memuntahkan ini kerap kali digunakan dalam subjek yang bernyawa sehingga ada kesan pekerjaan yang sifatnya manusiawi dalam penggunaan kata tersebut.
Di samping itu, ada pula kata-kata lain yang mengandung bahasa kiasan personifikasi, yakni kemudian sawah pertama dilembah-lembah subur menghadap danau. Penggunaan kata kerja ‘menghadap’ yang dilekatkan pada subjek ‘sawah pertama di lembah-lembah subur’ mengisyaratkan bahwa sawah tersebut bisa melakukan pekerjaan yang seringkali dilakukan oleh yang bernyawa, yakni menghadap. Ada sedikit kesan penginsanan di dalamnya. Maka, dapat dikatakan bahwa barisan kata tersebut mengandung personifikasi.

3.3 Tembang Alam

aku ingin menyanyi agar awan itu pun
hinggap di pohon-pohon
sementara burung-burung kutilang
menabur mimpiku ke ladang-ladang

matahari tak perlu dikhawatirkan
seperti apa yang dijanjikan bulan
sehabis geram membakar rerumputan
ia pun pasti tenggelam.

awan hanya lewat, tapi tak hinggap
salamnya saja yang hangat lengkuas
burung-burung kembali beterbangan
sambil menirukan hatiku yang berkicau

1976
(Sumber : Imron, D. Zamawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta : Grasindo)

Analisis Gaya Bahasa :
Sajak di atas mengandung beberapa gaya bahasa. Kata-kata yang mengandung gaya bahasa tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.3.1 Hiperbola
Gaya bahasa tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata sehabis geram membakar rerumputan. Kata ‘membakar’ mengandung kesan dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Sejatinya, kata tersebut diperuntukkan matahari yang dengan panasnya yang mengenai rerumputan. Penggunaan kata ‘membakar’ mengesankan bahwa panas matahari yang digambarkan menyorot pada rerumputan benar-benar panas sekali. Memang benar, namun terkesan dilebih-lebihkan dari kenyataan. Oleh karena itu, bolehlah dikata bahwa barisan kata itu mengandung unsur hiperbola.

Analisis Bahasa Kiasan :
Sajak di atas mengandung beberapa bahasa kiasan. Kata-kata yang mengandung bahasa kiasan tersebut beberapa telah tercetak tebal. Berikut ini penjabarannya.
3.3.2 Simile
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata matahari tak perlu dikhawatirkan seperti apa yang dijanjikan bulan. Penggunaan kata ‘seperti’ menunjukkan secara eksplisit mengenai perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, ‘apa yang dijanjikan bulan’ dibandingkan dengan ‘pengkhawatiran akan matahari’. Maka, dapat dikatakan bahwa baris kata-kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan simile (perbandingan).
3.3.3 Personifikasi
Bahasa kiasan tersebut ditunjukkan pada baris yang mengandung kata-kata awan itu pun hinggap di pohon-pohon. Kata kerja ‘hinggap’ dilekatkan pada subjek ‘awan’. Hal ini mengisyaratkan bahwa awan dapat melakukan pekerjaan ‘hinggap’ laiknya yang bernyawa. Ada aspek penginsanan sesuatu yang tak bernyawa, yakni awan bisa hinggap di pohon-pohon. Kata kerja memuntahkan ini kerap kali digunakan dalam subjek yang bernyawa sehingga ada kesan pekerjaan yang sifatnya manusiawi dalam penggunaan kata tersebut.
Selain itu, ada pula kata-kata apa yang dijanjikan bulan. Dalam hal ini, kata-kata tersebut mengandung makna bahwa bulan dapat berjanji. Ada apek penginsanan di sini. Oleh sebab itu, barisan kata itu mengandung bahasa kiasan personifikasi.
Bahasa kiasan personifikasi juga tampak pada kata-kata burung-burung kutilang menabur mimpiku ke ladang-ladang. Dalam hal ini, burung kutilang digambarkan bisa melakukan hal berikir dan bertindak, yakni ‘menabur mimpi’. Oleh karena itu, barisan kata tersebut mengandung unsur bahasa kiasan personifikasi.
Di samping itu, ada pula kata-kata awan hanya lewat, tapi tak hinggap. Di sini, tersirat bahwa awan dapat melakukan pekerjaan laiknya yang bernyawa. Awan digambarkan dapat lewat dan hinggap layaknya sesuatu yang bernyawa. Maka, kata-kata dalam larik tersebut mengandung personifikasi.
Personifikasi juga muncul dalam kata-kata hatiku yang berkicau. Dalam hal ini, digambarkan bahwa hati yang merupakan benda mati dapat berkicau atau berbicara layaknya benda hidup. Memang bisa, namun bukan hati yang dalam artian fisik, hati yang tergambar dalam sajak ini seolah-olah dalam konteks fisik sehingga dapat dikatakan bahwa kata-kata ini mengandung bahasa kiasan personifikasi.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis mengenai gaya bahasa dan bahasa kiasan, dapat disimpulkan bahwa sajak Sitor Situmorang yang berjudul Topografi Danau Toba mengandung gaya bahasa hiperbola, paralelisme, paradoks, dan bahasa kiasan personifikasi, metafora. Sedangkan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Tamasya Danau Toba mengandung gaya bahasa hiperbola, paradoks, dan bahasa kiasan simile, personifikasi. Selain itu, pada sajak karya D. Zamawi Imron mengandung gaya bahasa hiperbola, dan bahasa kiasan simile, personifikasi. Mengenai data di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga sajak itu didominasi oleh gaya bahasa hiperbola dan bahasa kiasan simile dan personifikasi. Oleh karena itu, ketiga sajak tersebut memang mengandung unsur gaya bahasa dan bahasa kiasan dalam setiap susunan kata-katanya.(©26Apr10)

V. Daftar Pustaka

Imron, D. Zamawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta : Grasindo.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Situmorang, Sitor. 1982. Angin Danau. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Cetakan Pertama.

Seratus Kalimat Indah dalam Lirik Lagu Iwan Fals

Salam Oi,

Lagu-lagu yang dinyanyikan Iwan Fals, baik solo album maupun dinyanyikan bersama format grup, banyak memuat lirik yang istimewa, baik ciptaannya sendiri maupun dari orang lain. Beberapa diantaranya adalah rangkaian kata yang indah dan menjadi kalimat penuh makna. Berikut adalah sedikit yang sempat kami kumpulkan. Simak dan resapilah makna yang terkandung didalamnya. Semoga hari-hari kita menjadi lebih berguna.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1.“Berhentilah jangan salah gunakan, kehebatan ilmu pengetahuan untuk menghancurkan”
(Puing – album Sarjana Muda 1981)

2.“Hei jangan ragu dan jangan malu, tunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu”.
(Bangunlah Putra-Putri Pertiwi – album Sarjana Muda 1981)

3."Cepatlah besar matahariku, menangis yang keras janganlah ragu, hantamlah sombongnya dunia buah hatiku, doa kami dinadimu”.
(Galang Rambu Anarki – album Opini 1982)

4.“Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh”.
(Maaf Cintaku - album Sugali 1984)

5.“Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari, bila luka di kaki belum terobati”.
(Berkacalah Jakarta - album Sugali 1984)

6.“Riak gelombang suatu rintangan, ingat itu pasti kan datang, karang tajam sepintas seram, usah gentar bersatu terjang”.
(Cik - album Sore Tugu Pancoran 1985)

7.“Aku tak sanggup berjanji, hanya mampu katakan aku cinta kau saat ini, entah esok hari, entah lusa nanti, entah”.
(Entah - album Ethiopia 1986)

8.“Mengapa bunga harus layu?, setelah kumbang dapatkan madu, mengapa kumbang harus ingkar?, setelah bunga tak lagi mekar”.
(Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang - album Ethiopia 1986)

9.“Ternyata banyak hal yang tak selesai hanya dengan amarah”.
(Ya Ya Ya Oh Ya - album Aku Sayang Kamu 1986)

10.“Dalam hari selalu ada kemungkinan, dalam hari pasti ada kesempatan”.
(Selamat Tinggal Malam - album Aku Sayang Kamu 1986)
--------------------------------------------------------

11.“Kota adalah hutan belantara akal kuat dan berakar, menjurai didepan mata siap menjerat leher kita”.
(Kota - album Aku Sayang Kamu 1986)

12.“Jangan kita berpangku tangan, teruskan hasil perjuangan dengan jalan apa saja yang pasti kita temukan”.
(Lancar - album Lancar 1987)

13.“Jangan ragu jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam”.
(Surat Buat Wakil Rakyat - album Wakil Rakyat 1987)

14.“Kau anak harapanku yang lahir di zaman gersang, segala sesuatu ada harga karena uang”.
(Nak - album 1910 1988)

15.“Sampai kapan mimpi mimpi itu kita beli?, sampai nanti sampai habis terjual harga diri”.
(Mimpi Yang Terbeli - album 1910 1988)

16.“Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas, Ibu”.
(Ibu - album 1910 1988)

17.“Memang usia kita muda namun cinta soal hati, biar mereka bicara telinga kita terkunci”.
(Buku Ini Aku Pinjam - album 1910 1988)

18.“Dendam ada dimana mana di jantungku, di jantungmu, di jantung hari-hari”.
(Ada Lagi Yang Mati - album 1910 1988)

19.“Hangatkan tubuh di cerah pagi pada matahari, keringkan hati yang penuh tangis walau hanya sesaat”.
(Perempuan Malam - album Mata Dewa 1989)

20.“Kucoba berkaca pada jejak yang ada, ternyata aku sudah tertinggal, bahkan jauh tertinggal”.
(Nona - album Mata Dewa 1989)
--------------------------------------------------------

21.“Oh ya! ya nasib, nasibmu jelas bukan nasibku, oh ya! ya takdir, takdirmu jelas bukan takdirku”.
(Oh Ya! - album Swami 1989)

22.“Wahai kawan hei kawan, bangunlah dari tidurmu, masih ada waktu untuk kita berbuat, luka di bumi ini milik bersama, buanglah mimpi-mimpi”.
(Eseks eseks udug udug (Nyanyian Ujung Gang) - album Swami 1989)

23.“Api revolusi, haruskah padam digantikan figur yang tak pasti?”.
(Condet - album Swami 1989)

24.“Kalau cinta sudah di buang, jangan harap keadilan akan datang”.
(Bongkar - album Swami 1989)
25.“Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperkuda jabatan”.
(Bongkar - album Swami 1989)

26.“Orang tua pandanglah kami sebagai manusia, kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta”.
(Bongkar - album Swami 1989)

27.“Satu luka perasaan, maki puji dan hinaan, tidak merubah sang jagoan menjadi makhluk picisan”.
(Rajawali - album Kantata Takwa 1990)

28.“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata kata”.
(Paman Doblang - album Kantata Takwa 1990)

29.“Mereka yang pernah kalah, belum tentu menyerah”.
(Orang-Orang Kalah - album Kantata Takwa 1990)

30.“Aku rasa hidup tanpa jiwa, orang yang miskin ataupun kaya sama ganasnya terhadap harta”.
(Nocturno - album Kantata Takwa 1990)
--------------------------------------------------------

31.“Orang orang harus dibangunkan, kenyataan harus dikabarkan, aku bernyanyi menjadi saksi”.
(Kesaksian - album Kantata Takwa 1990)

32.“Ingatlah Allah yang menciptakan, Allah tempatku berpegang dan bertawakal, Allah maha tinggi dan maha esa, Allah maha lembut”.
(Kantata Takwa - album Kantata Takwa 1990)

33.“Kebimbangan lahirkan gelisah, jiwa gelisah bagai halilintar”.
(Gelisah - album Kantata Takwa 1990)

34.“Bagaimanapun aku harus kembali, walau berat aku rasa kau mengerti”.
(Air Mata - album Kantata Takwa 1990)

35.“Alam semesta menerima perlakuan sia sia, diracun jalan napasnya diperkosa kesuburannya”.
(Untuk Bram - album Cikal 1991)

36.“Duhai langit, duhai bumi, duhai alam raya, kuserahkan ragaku padamu, duhai ada, duhai tiada, duhai cinta, ku percaya”.
(Pulang Kerja - album Cikal 1991)

37.“Dimana kehidupan disitulah jawaban”.
(Alam Malam - album Cikal 1991)

38.“Ada dan tak ada nyatanya ada”.
(Ada - album Cikal 1991)

39.“Aku sering ditikam cinta, pernah dilemparkan badai, tapi aku tetap berdiri”.
(Nyanyian Jiwa - album Swami Il 1991)

40.“Aku mau jujur jujur saja, bicara apa adanya, aku tak mau mengingkari hati nurani”.
(Hio - album Swami Il 1991)
--------------------------------------------------------

41.“Bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta walau aku tahu tak terdengar, jariku menari tetap tak akan berhenti sampai wajah tak murung lagi”.
(Di Mata Air Tidak Ada Air Mata - album Belum Ada Judul 1992)

42.“Mengapa besar selalu menang?, bebas berbuat sewenang wenang, mengapa kecil selalu tersingkir?, harus mengalah dan menyingkir”.
(Besar Dan Kecil - album Belum Ada Judul 1992)

43.“Angin pagi dan nyanyian sekelompok anak muda mengusik ingatanku, aku ingat mimpiku, aku ingat harapan yang semakin hari semakin panjang tak berujung”.
(Aku Disini - album Belum Ada Judul 1992)

44.“Jalani hidup, tenang tenang tenanglah seperti karang”.
(Lagu Satu - album Hijau 1992)

45.“Sebentar lagi kita akan menjual air mata kita sendiri, karena air mata kita adalah air kehidupan”.
(Lagu Dua - album Hijau 1992)

46.“Kita harus mulai bekerja, persoalan begitu menantang, satu niat satulah darah kita, kamu adalah kamu aku adalah aku”.
(Lagu Tiga - album Hijau 1992)

47.“Kenapa kebenaran tak lagi dicari?, sudah tak pentingkah bagi manusia?”
(Lagu Empat- album Hijau 1992)

48.“Kenapa banyak orang ingin menang?, apakah itu hasil akhir kehidupan?”.
(Lagu Empat- album Hijau 1992)

49.“Anjingku menggonggong protes pada situasi, hatiku melolong protes pada kamu”.
(Lagu Lima - album Hijau 1992)

50.“Biar keadilan sulit terpenuhi, biar kedamaian sulit terpenuhi, kami berdiri menjaga dirimu”.
(Karena Kau Bunda Kami - album Dalbo 1993)
--------------------------------------------------------

51.“Apa jadinya jika mulut dilarang bicara?, apa jadinya jika mata dilarang melihat?, apa jadinya jika telinga dilarang mendengar?, jadilah robot tanpa nyawa yang hanya mengabdi pada perintah”.
(Hura Hura Huru Hara - album Dalbo 1993)

52.“Tertawa itu sehat, menipu itu jahat”.
(Hua Ha Ha - album Dalbo 1993)

53.“Nyanyian duka nyanyian suka, tarian duka tarian suka, apakah ada bedanya?”
(Terminal – single 1994)

54.“Waktu terus bergulir, kita akan pergi dan ditinggal pergi”.
(Satu Satu – album Orang Gila 1994)

55.“Pelan-pelan sayang kalau mulai bosan, jangan marah-marah nanti cepat mati, santai sajalah”.
(Menunggu Ditimbang Malah Muntah – album Orang Gila 1994)

56.“Mau insaf susah, desa sudah menjadi kota”.
(Menunggu Ditimbang Malah Muntah – album Orang Gila 1994)

57.“Pertemuan dan perpisahan, dimana awal akhirnya?, dimana bedanya?”.
(Doa Dalam Sunyi – album Orang Gila 1994)

58.“Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja”.
(Awang Awang – album Orang Gila 1994)

59.“Bagaimana bisa mengerti?, sedang kita belum berpikir, bagaimana bisa dianggap diam?, sedang kita belum bicara”.
(Awang Awang – album Orang Gila 1994)

60.“Aku bukan seperti nyamuk yang menghisap darahmu, aku manusia yang berbuat sesuai aturan dan keinginan”.
(Nasib Nyamuk – album Anak Wayang 1994)
--------------------------------------------------------

61.“Oh susahnya hidup, urusan hati belum selesai, rumah tetangga digusur raksasa, pengusaha zaman merdeka”.
(Oh – single 1995)

62.“Aku disampingmu begitu pasti, yang tak kumengerti masih saja terasa sepi”.
(Mata Hati – album Mata Hati 1995)

63.“Sang jari menari jangan berhenti, kupasrahkan diriku digenggaman-Mu”.
(Lagu Pemanjat – album Lagu Pemanjat 1996)

64.“Lepaslah belenggu ragu yang membelit hati, melangkah dengan pasti menuju gerbang baru”.
(Songsonglah – album Kantata Samsara 1998)

65.“Berani konsekuen pertanda jantan”.
(Nyanyian Preman – album Kantata Samsara 1998)

66.“Dengarlah suara bening dalam hatimu, biarlah nuranimu berbicara”.
(Langgam Lawu – album Kantata Samsara 1998)

67.“Matinya seorang penyaksi bukan matinya kesaksian”.
(Lagu Buat Penyaksi – album Kantata Samsara 1998)

68.“Bertahan hidup harus bisa bersikap lembut, walau hati panas bahkan terbakar sekalipun”.
(Di Ujung Abad - album Suara Hati 2002)

69.“Jangan goyah percayalah teman perang itu melawan diri sendiri, selamat datang kemerdekaan kalau kita mampu menahan diri”.
(Dendam Damai - album Suara Hati 2002)

70.“Berdoalah sambil berusaha, agar hidup jadi tak sia-sia”.
(Doa - album Suara Hati 2002)
--------------------------------------------------------

71.“Harta dunia jadi penggoda, membuat miskin jiwa kita”.
(Seperti Matahari - album Suara Hati 2002)

72.“Memberi itu terangkan hati, seperti matahari yang menyinari bumi”.
(Seperti Matahari - album Suara Hati 2002)

73.“Jangan heran korupsi menjadi jadi, habis itulah yang diajarkan”.
(Politik Uang – album Manusia Setengah Dewa 2004)

74.“Gelombang cinta gelombang kesadaran merobek langit yang mendung, menyongsong hari esok yang lebih baik”.
(Para Tentara – album Manusia Setengah Dewa 2004)

75.“Terhadap yang benar saja sewenang wenang, apalagi yang salah”.
(Mungkin – album Manusia Setengah Dewa 2004)

76.“Begitu mudahnya nyawa melayang, padahal tanpa diundang pun kematian pasti datang”.
(Matahari Bulan Dan Bintang – album Manusia Setengah Dewa 2004)

77.“Dunia kita satu, kenapa kita tidak bersatu?”.
(Matahari Bulan Dan Bintang – album Manusia Setengah Dewa 2004)

78.“Urus saja moralmu urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau”.
(Manusia Setengah Dewa – album Manusia Setengah Dewa 2004)

79.“Di lumbung kita menabung, datang paceklik kita tak bingung”.
(Desa – album Manusia Setengah Dewa 2004)

80.“Tutup lubang gali lubang falsafah hidup jaman sekarang”.
(Dan Orde Paling Baru – album Manusia Setengah Dewa 2004)
--------------------------------------------------------

81.“Buktikan buktikan!, kalau hanya omong burung beo pun bisa”.
(Buktikan – album Manusia Setengah Dewa 2004)

82.“Dunia politik dunia bintang, dunia hura hura para binatang”.
(Asik Nggak Asik – album Manusia Setengah Dewa 2004)

83.“Dewa-dewa kerjanya berpesta, sambil nyogok bangsa manusia”.
(17 Juli 1996 – album Manusia Setengah Dewa 2004)

84.“Tanam-tanam pohon kehidupan, siram siram sirami dengan sayang, tanam tanam tanam masa depan, benalu-benalu kita bersihkan”.
(Tanam-Tanam Siram-Siram – single 2006)

85.“Ada apa gerangan mengapa mesti tergesa gesa, tak bisakah tenang menikmati bulan penuh dan bintang”.
(Haruskah Pergi – 2006)

86.“Persoalan hidup kalau diikuti tak ada habisnya, soal lama pergi soal baru datang”.
(Selancar – 2006)

87.“Jaman berubah perilaku tak berubah, orang berubah tingkah laku tak berubah”.
(Rubah – album 50:50 2007)

88.“Satu hilang seribu terbilang, patah tumbuh hilang berganti”.
(Pulanglah – album 50:50 2007)

89.“Hidup ini indah berdua semua mudah, yakinlah melangkah jangan lagi gelisah”.
(KaSaCiMa – album 50:50 2007)

90.“Tak ada yang lepas dari kematian, tak ada yang bisa sembunyi dari kematian, pasti”.
(Ikan-Ikan – album 50:50 2007)
--------------------------------------------------------

91.“Ada kamu yang mengatur ini semua tapi rasanya percuma, ada juga yang janjikan indahnya surga tapi neraka terasa”.
(Cemburu – album 50:50 2007)

92.“Hukum alam berjalan menggilas ludah, hukum Tuhan katakan “Sabar!”.
(Kemarau – uncassette)

93.“Yang pasti hidup ini keras, tabahlah terimalah”.
(Joned – uncassette)

94.“Oh negeriku sayang bangkit kembali, jangan berkecil hati bangkit kembali”.
(Harapan Tak Boleh Mati – uncassette)

95.“Oh yang ditinggalkan tabahlah sayang, ini rahmat dari Tuhan kita juga pasti pulang”.
(Harapan Tak Boleh Mati – uncassette)

96.“Tuhan ampunilah kami, ampuni dosa-dosa kami, ampuni kesombongan kami, ampuni bangsa kami, terimalah disisi-Mu korban bencana ini”.
(Saat Minggu Masih Pagi – uncassette)

97.“Nyatakan saja apa yang terasa walau pahit biasanya, jangan disimpan jangan dipendam, merdekakan jiwa”.
(Nyatakan Saja – uncassette)

98.“Usiamu tak lagi muda untuk terus terusan terjajah, jangan lagi membungkuk bungkuk agar dunia mengakuimu”.
(Merdeka – uncassette)

99.“Kau paksa kami untuk menahan luka ini, sedangkan kau sendiri telah lupa”.
(Luka Lama – uncassette)

100. “Oh Tuhan tolonglah, lindungi kami dari kekhilafan, oh ya Tuhan tolonglah, Ramadhan mengetuk hati orang orang yang gila perang”.
(Selamat Tinggal Ramadhan – uncassette)
--------------------------------------------------------

Sumber : http//www.iwanfalsmania.blospot.com 17:49 WIB, dengan penambahan dan pengurangan seperlunya.

Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad menurut Teuku Iskandar

Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad menurut Teuku Iskandar

Oleh :
Ariny Rahmawati
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM

I. Pengantar

Pembahasan dalam makalah ini didasarkan pada buku yang berjudul Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad yang ditulis oleh Teuku Iskandar dan telaah pustaka media lain. Penyelidikan naskah-naskah Melayu tersebut berkisar tentang zaman terbaru, Riau antara tahun 1779-1900. Pendekatan ini dipilih oleh sebab lebih mudahnya mengumpul karya-karya yang dianggap sebagai hasil dari zaman ini karena masih banyak tersimpan dan mudah diperoleh.

Dalam pemaparan mengenai perkembangan kesusastraan Melayu Klasik, terdaftar sembilan pusat kebudayaan yang menghasilkan kesusastraan klasik Melayu. Kemudian, secara kronologi dari susunan pusat-pusat kebudayaan tersebut, dapat ditentukan genre atau genre-genre yang dihasilkan pada pusat-pusat tersebut. Setiap pusat kebudayaan dan kesusastraan baru akan memberi nafas baru bagi kesuasatraan Melayu yang telah ada, begitu pula akan berdampak pada genre-genre yang sudah ada. Berikut ini akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai pencetus klasifikasi tersebut beserta dasar pengelompokan tiap periode kesusastraan Melayu klasik.

1. Tentang Teuku Iskandar

Teuku Iskandar yang telah meraih gelar Professor di negeri Belanda lewat kajian Sastra Melayu Klasik “Hikayat Aceh”. Selain itu, Teuku Iskandar juga telah menulis buku “Kesusastraaan Klasik Melayu Sepanjang Abad” serta menyusun kamus dewan bahasa Melayu perdana. Adapun diantara thesis terbaru yang pernah ditulis oleh putera Aceh untuk meraih gelar Master adalah Drs. Nurdin AR, M. Hum dengan judul: ”Mir’atul Muhaqqiqin ; Suntingan Text dan Analis Resepsi” tahun 1999 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, serta Syarifuddin M. Ag dengan judul : “Doktrin Wujudiah dalam Syair Hamzah Fansuri” yang diajukan kepada IAIN Ar-Raniry tahun 2000. Akan tetapi, partisipasi putera Aceh untuk meneliti hasil karya endatu mereka belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dibuat oleh peneliti asing dari dunia barat khususnya. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa, Aceh di mata para ilmuwan dan peneliti asing adalah ibarat sebuah laboratorium yang maha luas untuk dikaji.

2. Dasar Pengelompokan

Penggolongan kesusastraan pada zaman Melayu klasik, oleh Teuku Iskandar, didasarkan pada pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu yang menghasilkan karya-karya klasik tersebut. Disiratkan bahwa suatu karya sastra dengan ciri-ciri atau karakteristik tertentu akan ada pada zaman tertentu dan tersimpan pada pusat kebudayaan dan kesusastraan tertentu pula. Hal ini didasarkan karena pada zaman tertentu, suatu karya mempunyai kekhasan tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, ekonomi, politik, dan sebagainya pada zaman tersebut. Menjadi suatu yang agak absurd ketika ditemukan karya sastra dengan karakteristik zaman baru tetapi berada pada pusat kebudayaan dan kesusatraan pada zaman lama. Tentunya, ada banyak yang membedakan karena kronologi kesusatraan Melayu akan selalu berkembang, termasuk genre-genre dalam karya sastranya.

Melalui dasar penggolongan tersebut, muncullah pusat kebudayaan dan kesusastraan kerajaan Seriwijaya (abad 7-12 M) sebagai pusat kebudayaan dan kesusastraan yang tertua dengan kebudayaan Melayu-Hindu-Budha. Di sinilah orang Melayu berkenalan dengan kesusastraan Hindu-Budha dan mulai menggunakan tulisan untuk bahasa Melayu. Tentang kesusastraan zaman tertua ini, diketahui hanya secara fragmentaris dibandingkan dengan kesusastraan zaman baru. Sebagaimana disebutkan dalam bukunya, Teuku Iskandar menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekurangan data tentang zaman ini. Dengan jalan rekonstruksi, menurut Teuku Iskandar, bisa dicoba menggambarkan kembali kesusastraan pada zaman tersebut.

Setelah kesustraan kerajaan Seriwijaya, terdapat pusat kebudayaan dan kesusastraan pada zaman kerajaan Melayu-Singapura (abad 13-14 M). Pada zaman ini, karya-karya Hindu-Budha diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Melayu. Pada zaman ini pula, diselenggarakan bentuk populer dari Ramayana, Hikayat Seri Rama. Karya Mahabharata diterjemahkan ke dalam bahasa melayu dari bahasa Jawa Kuno.

Pada zaman permulaan Islam, Pasai merupakan pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu (1250-1524 M). Akibat pertembungan dengan kesuastraan Islam, tulisan Jawi mulai digunakan dan karya-karya Melayu zaman Hindu diberi warna atau corak Islam. Kitab-kitab dasar agama Islam, seperti kitab perukunan, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, begitu pula dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.

Setelah bangkitnya kerajaan Melaka sebagai pusat politik dan ekonomi di Selat Melaka, Pasai mulai mundur. Dengan jalan demikian, pusat kesusastraan melayu berpindah ke Melaka (1400-1511 M). Meskipun begitu, Pasai masih lagi memegang peranan penting dalam bidang kesusastraan Islam. Mungkin sekali disebabkan oleh perbedaan suasana kebudayaan antara Pasai dan Melaka.

Setelah Pasai dan Melaka, pusat kesusastraan Johor dan Aceh lahir pada masa yang hampir sama walaupun zaman kesusastraan Johor lebih pendek, yakni tiga abad lamanya. Tetapi, tampaknya ada persaingan antara kedua pusat kesusastraan tersebut. Sesudah Melaka dikalahkan oleh Portugis, pusat kesusastraan Melayu berpindah ke Johor (1511-1798). Johor tidak sanggup mempertahankan kesatuan dari bekas daerah takluk Melaka dahulu, sehingga perkembangan kesusastraan pun tidak hanya berpusat di Johor. Pada masa ini, hikayat klasik Melayu mencapai perkembangan yang pesat dan memperoleh bentuk kemantapannya. Hasil hikayat Melayu klasik teragung yang diciptakan di sini ialah Hikayat Hang Tuah.

Sementara itu, Aceh telah mengalahkan Pasai dan memasukkan kerajaan ini dalam wilayahnya. Akibatnya ialah kaum cerdik, pandai, baik dari Kepulauan Nusantara sendiri maupun dari luar, berkumpul di Aceh. Dengan jalan demikian, pusat kesusastraan Melayu dari Pasai diambil alih oleh Bandar Aceh Darussalam (1524-1900).
Kesusastraan Palembang (1650-1824 M) jika dibandingkan dengan pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan lainyya lebih beraneka ragam lagi. Dalam bidang agama pada mulanya ia merupakan lanjutan dari kesusatraan kitab zaman Aceh dan oleh kesusastraan tasawuf yang diwarnai oleh wujudiyah dari Aceh.

Kesusastraan zaman Riau (1798-1900 M) mulai menampakkan unsur-unsur modern. Kesusastraan di sini berkembang atas usaha raja-raja muda yang berkedudukan di Penyengat. Karya-karya agama dan kitab-kitab panduan untuk mereka yang memerintah tidaklah begitu penting sebagaimana yang dihasilkan di Aceh. Sebaliknya, karya-karya sejarah sudah menampakkan ciri-ciri modern karena pengaruh tradisi bugis dan pertembungan antara pengarang Riau dengan kaum cerdik pandai Eropah. Buku-buku pelajaran sekolah sudah mulai dihasilkan dan dicetak di Riau. Belles-lettres, walaupun dikarang dalam bentuk syair, menampakkan ciri baru.

Selain dari pusat-pusat kesusastraan yang telah disebut di atas, terdapat juga pusat-pusat kesusastraan lain seperti Brunei, Banjar, dan Patani. Tetapi, sebagaimana disebutkan oleh Teuku Iskandar dalam bukunya, penyelidikan tentang pusat kesusastraan ini belum dilakukan dengan seksama. Hanya secara insidentil diketahui tentang hasil kesusastraan pusat-pusat ini sehingga tidak dapat dibicarakan sebagai kesusastraan pada periode tertentu.

Dalam makalah ini, akan dibahas secara khusus lima ke bawah, secara kronologis, dari pusat-pusat kebudayaan dan kesusastraan yang telah ada, meliputi pusat kebudayaan dan kesusastraan Johor, Aceh, Palembang, Riau, dan kesusastraan pusat-pusat lain, yaitu di Brunei, Banjar, dan Patani.(©17Mar10)

Launching Blog dengan Template Baru xD xD xD –cobaseremonial—

Bismillahirrohmanirrahim…

Dengan ini saya luncurkan blog

“KATAKAN!!! : catatan,petualangan,rasa, dan Sastra Indonesia”

di bumi maya, jagat semu, untuk para pembaca&penikmat sedunia.
Semoga bermanfaat dan tidak menjadi tulisan sampah. Nyuwun agungeng pangapunten, terima kasih banyak. Puncak kata, teristimewa kepada pembaca, selamat membaca! :’D
Nuwun.

Kamis, 29 April 2010

Buat Si Radein

Buat yang menyebut dirinya ‘Si Anak Raja’

:’) hm…hmm… saya tidak pernah mengenalmu, kurasa begitu juga dengan kau yang tak pernah mengenal saya… akh, introduksi itu memang tidak pernah ada sampai detik ini. Entah, saya ingin berkenalan denganmu atau tidak. Huuhu, kau mungkin juga tidak pernah ingin mengenal saya.
Saya tahuuu… Saya tidak pernah berkesan bagimu. Tapiii… tahukah kau? Haha, konyol! Kata-katamu ituu, terpatri di benakku..! xD xD xD

Tentu saja, kata-kata yang jelas bukan buat saya… Entah untuk siapa, yang jelas bukan khusus buat saya. Kadang-kadang, saya merutuki diri, kenapa otak saya bisa dengan mudah menangkap dan menjerat barisan fona yang kau ucapkan ituu??! Hoho…

Saya menemukanmu pertama kali—kalau saya tidak lupa—di balik tangga. Yah, tentu, sorotanmu masih tipis-tipis menghujam. Lalu, berpadu dengan goresan khas lapis bilabial. Hmm..dua bola itu bersembunyi di balik kaca baca. Manis. Terpelajar. Elegan. 
Lama saya tidak melihatmu lagi. Kau mulai jadi perbincangan. Ternyata, kau memang sosok yang pantas diperbincangkan. Haha, sempat saya tersenyum getir… Pantaslah, kau memang sedikit hebat, pandai, dan agak cerdas. >_<

Sial..!!! dua minggu yang lalu, saya melihatmu lagi di ruang ber-AC itu. Huah, tetap! Kulihat, otakmu masih hangat dengan sejuta impian. Masih tegas, masih fokus, dan masih sipit. Hehe.. xD Akh, kau selalu penuh keyakinan! Hmmm, kau selalu saja bisa menegakkanku di kawasan agak aneh ini. Tentu, kawasan yang menarik paksa saya. Haha! Tak tahu lah saya… dengan cara apa kau bisa seperti itu. :P

Biarlah,… saya tetap tidak mengenalmu.. begitu juga kau, jangan dulu mengenalku…
Yah, mungkin saja, saya hanya mengagumimu, mengagumi semangatmu… Saya temui Kau, nanti, di altar Jerman atau Belanda…

Djokja;27.04.10;21:21-22:19;
=====================================================================================
entahlah, kenapa saya niat meng-upload catatan kacangan ini. Tidak terlalu penting bagi pembaca bukan??,, hehee, maafkan saya… Tapii, ya sudahlah, izinkan saya sedikit memuaskan diri dengan bualan saya ini…
Terima kasih.

Arin

Jumat, 09 April 2010

Kontribusi Filsafat bagi Kemajuan Berpikir

Sebuah patung termahsyur hasil karya pemahat Aguste Rodin (1840-1917) dikenal sebagai lambang kemanusiaan seorang manusia, mendeskripsikan seorang manusia yang sedang tekun berpikir. Itulah Homo Sapiens, makhuk yang berpikir. Merupakan sebuah refleksi sebagai seorang manusia, sejak dilahirkan sampai masuk ke liang lahat tak pernah sekalipun berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut peri kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikiran manusia, dari soal paling remeh hingga soal paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai persoalan surga dan neraka di akhirat nanti. Oleh karena itu, hakikat seorang manusia dicirikan oleh aktivitas berpikir, karena berpikir seorang manusia dapat menjadi manusia.
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan yang merupakan produk dari kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Akhirnya, muncul masalah-masalah pokok : Apakah yang ingin diketahui? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kehidupan?
Dari sinilah kemudian muncul istilah filsafat. Istilah filsafat mengandung banyak pengertian, namun untuk tujuan pembahasan ini, filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tidak satupun hal, sekecil apapun yang terlepas dari pngamatan kefilsafatan. Tidak ada suatu pernyataaan, bagaimanapun sederhananya yang diterima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama. Filasafat menyatakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir dari awal sampai akhir, seperti yang dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan. Oleh karena itu, kekritisan seorang manusia akan dituntut maju, dalam hal ini, tak terkecuali oleh seorang jurnalis.
Lalu, apa makna kefilsafatan bagi seorang jurnalis? Apa kontribusi filsafat terhadap profesionalitas seorang jurnalis?
Merujuk pada empat kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang jurnalis*, meskipun sudah tentu bahwa kualitas yang diperlukan pada diri seorang jurnalis bersifat implisit dan relatif. Empat kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang jurnalis tersebut meliputi pengalaman, perasaan ingin tahu, daya khayal dan pengetahuan. Perasaan ingin tahu menduduki tempat penting dalam bahasan kali ini. Wapres Indonesia pertama, Moh. Hatta, pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya bahwa ilmu pengetahuan dimulai dari adanya perasaan ingin tahu. Perasaan ingin tahu seorang jurnalis pun memicu timbulnya pertanyaan “Mengapa? Bagaimana? Kata siapa? Benar atau tidak benar?” dalam diri jurnalis ketika menghadapi suatu peristiwa atau keadaan.
Perasaan ingin tahu seorang jurnalis menyebabkan jurnalis Amerika, William Nelson, masuk ke sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh pada tahun 2003, sehingga membuat kalang kabut Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang ingin mengamankan warga negaranya itu dari kesalahpahaman pihak keamanan di daerah itu. Perasaan ingin tahu seorang jurnalis inilah yang akan memicu proses berpikir. Kemerdekaan berpikir seorang jurnalis menjadi sebuah cerminan dari kefilsafatan dalam konteks profesionalismenya. Tentunya, kemerdekaan berpikir yang dimaksud merupakan kebebasan berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir secara radikal dan menyeluruh namun tetap mempertimbangkan etika-etika, norma-norma kehidupan maupun nilai dan tujuan masyarakat sehingga hak-hak individu masih tetap terjaga. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang dipicu oleh perasaan ingin tahunya itu, seorang jurnalis pun akan mendapat lebih banyak informasi tentang sebuah peritiwa tersebut. Seorang jurnalis dianggap selalu dapat membuang hal-hal yang tidak penting dari berita yang ditulis, tetapi seorang jurnalis tidak akan menemukan substansi yang gagal didapatkan jika kurang memiliki rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu menjadi cikal bakal adanya proses berpikir dengan kemerdekaan yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu akan memicu timbulnya aktivitas berpikir manusia yang kemudian melahirkan persoalan-persoalan baru atas apa yang menjadi jawaban sebelumnya. Di sinilah kekritisan dalam berpikir tersebut timbul menjadi akar dari pencapaian berbagai informasi yang secara kualitatif dapat dipertanggung jawabkan demi menjaga hak-hak individu sampai ke hal yang paling asasi. Profesionalisme seorang jurnalis menjadi semakin utuh ketika dalam aktivitas penghimpunan berita disertai dengan aktivitas berpikir radikal dan menyeluruh melalui kekritisan-kekritisan yang muncul yang secara kualitatif dalam dipertanggungjawabkan kedalamannya, keobjektifannya dan keakuratannya. Oleh karena itu, analisis peristiwa, pertanyaan dan jawaban menjadi sangat penting dalam pembangunan pers Indonesia sejati yang bebas namun bertanggung jawab sosial.


*) Hikmat Kusumaningrat, dkk, “Jurnalistik : Teori dan Praktik”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.


Ariny Rahmawati
2009